Misteri Suster Anggraini (06): GEGER DAHA

Novel Berbasis Cerita Panji Henri Nurcahyo

RUMAH Sakit Panjalu di Kota Daha memiliki sejarah yang sama dengan Rumah Sakit Jenggala. Keduanya merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda, kemudian dikelola oleh militer sekian lama dan akhirnya diserahkan kepada pihak swasta dengan mendirikan sebuah yayasan. Orang yang dipercaya memimpin yayasan itu adalah Dokter Hamijaya Kusuma, sahabat seperjuangan Dokter Amiluhur Setiabudi yang memimpin Rumah Sakit Jenggala.

Sebagai bangunan kuna maka RS Panjalu juga sudah ditetapkan menjadi bangunan Cagar Budaya. Malah di kota ini keberadaan cagar budaya lebih diperhatikan lantaran banyak candi dan peninggalan purbakala lainnya yang menjadi andalan dalam pariwisata budaya dan sejarah. Daha adalah kota yang bersejarah lantaran pernah berdiri di sini kerajaan besar yang berjaya pada masanya. 

Pagi itu, Dokter Hamijaya Kusuma sedang duduk santai di teras rumahnya sambil menikmati kehangatan sinar matahari. Posisi rumah yang menghadap ke arah timur sangat menguntungkan bisa mendapatkan pancaran sinar matahari pagi yang melimpah. Di situlah Hamijaya suka berlama-lama duduk di kursi setelah melakukan senam ringan di halaman dan merawat bonsai kegemarannya.

Beberapa hari ini dia menanti dengan cemas kabar dari Kahuripan perihal rencana pertunangan puterinya yang akan dijodohkan dengan putera sulung Dokter Amiluhur Setiabudi. Mustinya dalam minggu-minggu ini sudah ada pembicaraan kapan pertunangan itu akan dilangsungkan, tetapi ternyata sampai dengan hari ini tidak ada berita sama sekali.

Tiba-tiba Dokter Hamijaya  dihampiri isterinya yang menampakkan wajah tegang.

“Ada berita buruk Pa,” ujar isterinya.

Dokter Hamijaya tidak bereaksi sedikitpun meski agak kaget. Dia hanya menunggu apa yang akan dikatakan isterinya selanjutnya. Begitulah kebiasaannya, isterinya paling tidak suka pembicaraannya dipotong sebelum selesai mengatakan sesuatu hingga tuntas.

“Kabar buruk Pa,” ulangnya.

“Rencana pertunangan anak kita terancam batal,” sambungnya.

Hamijaya masih diam. Isterinya lantas bicara lagi.

“Dokter Panji, itu calon menantu kita, ternyata sekarang minggat bersama pacarnya.” Napasnya agak ngos-ngosan seperti menahan emosi kemarahan yang terpendam. Beberapa saat kemudian dia melanjutkan lagi.

“Ternyata diam-diam Dokter Panji pacaran dengan suster di Rumah Sakit Jenggala. Semua orang tahu itu. Ini sudah jadi rahasia umum di sana. Padahal mereka juga tahu bahwa Dokter Panji akan dijodohkan dengan anak kita. Tetapi Dokter Panji lebih memilih suster itu ketimbang menjadi calon menantu kita. Entah seperti apa pacarnya itu. Apakah kecantikannya bisa melebihi Sekar Jelita? Anak kita itu sudah terkenal kecantikannya di seluruh Kota Daha. Semua orang tahu. Banyak dokter yang mendekati Mama, minta jadi menantu. Oh no….! Sekar Jelita adalah primadona kota Daha. Jodohnya sudah digariskan oleh alam semesta, yaitu Dokter Panji Kertapati. Keahlian anak kita dalam obat-obatan sebagai sarjana farmasi tentunya bisa menyempurnakan pelayanan di rumah sakit Jenggala maupun Panjalu. Dialah yang akan meneruskan kepemimpinan di rumah sakit Panjalu. Meski dia bukan dokter. Toh seorang apoteker juga bisa memimpin rumah sakit. Mengapa tidak? Kalau perlu dua rumah sakit ini disatukan sajalah dalam satu yayasan. Kenapa sih dulu pakai dipisah segala? Toh sejarahnya sama, asalnya sama, bangunan gedungnya juga hampir sama. Mustinya Rumah Sakit Panjalu dan Jenggala dikelola dalam satu yayasan yang sama saja. Kok pakai dipisah-pisah segala. Kita musti menyatukan Pa. Pertunangan anak kita tidak boleh gagal. Itu juga langkah awal untuk menyatukan kedua rumah sakit ini.”

Hamijaya tidak betah hanya berdiam diri terus mendengar isterinya nyerocos tanpa titik koma.

 “Sebentar, Mama ini cerita apa sih.”

 “Ya cerita Dokter Panji Pa. Kan sudah Mama bilang dari tadi. Dokter Panji minggat dengan pacarnya. Pertunangan dengan anak kita terancam batal. Padahal kita sudah memberitahukan pada Sekar bahwa dia akan dijodohkan dengan Dokter Panji, putera mahkota dari Jenggala. Sepertinya Sekar akan menuruti apa rencana kita. Sekar bukan anak yang aneh-aneh kok. Dari dulu dia selalu patuh terhadap orangtua.”

Hamijaya menghembuskan nafas panjang. Begitulah isterinya kalau bicara. Hanya ditanya satu kalimat, jawabannya bisa panjang banget.

“Papa kok diam saja sih.”

“Gini lho Ma, Mama tahu berita ini dari mana?”

“Ya dari Kahuripan lah, dari rumah sakit Jenggala. Kabar ini sudah jadi rahasia umum Pa. Ini informasi valid Pa, bukan hoax, ini A-satu. Sudah ada beberapa orang yang bilang ke Mama soal ini. Keterangan mereka saling melengkapi. Fixed sudah. Panji minggat bersama pacarnya.”

“Mama sudah tanya langsung ke Dokter Luhur atau isterinya?”

“Coba Papa telepon sekarang,” jawab isterinya tak mau kalah.

Hamijaya meraih telepon genggamnya. Ternyata nomor hape Dokter Luhur tidak aktif. Hamijaya mencoba kontak dengan Dokter Brajanata, kepala rumah sakit Jenggala. Juga tidak bisa dihubungi.

“Coba sekarang Mama telepon Bu Liku, isteri Dokter Luhur.”

Hasilnya juga sama. Calon besannya itu juga tidak dapat dihubungi.

Mereka terdiam sejenak. Sesekali terdengar bunyi mesin beberapa kendaraan lewat di depan rumah. Tidak terlalu ramai, karena rumah ini bukan di jalan besar.

“Sini teleponnya Ma.”

“Mau telepon siapa? Kan hape mereka mati semua.”

“Kita langsung hubungi rumah sakitnya saja,” jawab Hamijaya.

Dokter Hamijaya lantas menelepon nomor kantor Rumah Sakit Jenggala. Terdengar suara perempuan menjawab panggilan.

“Hallo, saya Dokter Hamijaya dari Rumah Sakit Panjalu. Ini saya bicara dengan siapa ya?”

“Oh Dokter Hamijaya, saya suster kepala Dok.”

“Suster kepala, kebetulan. Kamu tahu saya kan?”

“Pernah dengar saja Dok. Belum pernah ketemu.”

“Okay gak papa. Namamu siapa?”

“Saya Werdiningsih Dok.”

“Siapa? Sumiasih?”

“Wer, Werdiningsih Dokter.”

“Oh Wer Di Ning Sih. Betul ya”

“Ya Dokter. Panggil saja Ningsih atau Asih”

“Begini….. “

Tiba isteri Hamijaya menyalak.

“Papa ini omong apa sih? Itu perempuan ya. Pantes. Sini hapenya.”

Hamijaya tak bisa menolak. Lantas diberikanlah telepon genggam kepada isterinya.

“Haloo.. saya isterinya Dokter Hamijaya, kamu tahu dimana Dokter Braja”

“Maaf ibu. Saya tidak tahu.”

“Masak gak tahu. Dia ada di kantor gak?”

“Sudah beberapa hari ini tidak masuk Ibu.”

“Ya sudah.”

Telepon ditutup. Dokter Hamijaya tersenyum kecut melihat cara isterinya menelepon. Padahal tadi Hamijaya mencoba berakrab-akrab dulu dengan Suster Kepala sehingga berharap mendapatkan informasi soal Dokter Panji yang katanya menghilang itu.

Raut muka isterinya terlihat kusam. Kini malah menyerang Hamijaya.

“Papa itu ya, kalau sudah telepon dengan perempuan,  duuh kayak anak muda saja. Bicaranya digaya-gaya. Ingat Pa, sudah tua….”

Hamijaya menelan ludah. Percuma dibantah.

“Kita harus kirim utusan ke Jenggala Pa. Kita harus selidiki apa yang sebenarnya terjadi.”

Hamijaya menurut saja. Itu memang cara terbaik untuk menjawab kesimpangsiuran informasi ini.

“Oke, Papa setuju, kita akan suruh Sandi berangkat.” Hamijaya menyebut nama lelaki yang biasa disuruh-suruh membantu kalau ada apa-apa di rumahnya. Sandi memang lelaki yang tangkas. Apa saja bisa dikerjakannya. Mulai urusan listrik, genteng bocor, pipa rusak, sampai dengan mencari bangkai tikus yang mengganggu. Tanpa Sandi maka Hamijaya tak bisa berbuat apa-apa terhadap banyak hal teknis terkait urusan rumah.

Bagi Hamijaya, Sandi seperti lakon Mc Gyver dalam film serial televisi yang menggambarkan sosok lelaki serba bisa. Alat apa saja dimilikinya untuk memperbaiki sesuatu. Bahkan tanpa alat yang memadai dia sanggup mengatasi kendala dengan alat apa saja yang ditemuinya.

Begitu pula urusan pertamanan. Hamijaya suka dibantu Sandi dalam hal membuat rak tanaman, menata bonsai-bonsai koleksinya. Kadang juga melakukan pruning terhadap daun-daun bonsai yang sudah merimbun.

Sandi adalah lelaki yang memang layak dipercaya untuk urusan apapun. Karena itu Hamijaya langsung menyebut namanya ketika ada keperluan mencari informasi soal kabar dari Jenggala. Tetapi ternyata isterinya tidak setuju.

“Tidak Pa, harus perempuan. Bisa  mengorek cerita dari para suster. Sebab perempuanlah yang bisa diandalkan untuk mendapatkan informasi. Mama akan suruh si Woro. Dia ahli kalau ditugaskan melacak informasi.”

“Terserah Mama lah.” Hamijaya pasrah. Dia tahu si Woro itu, teman ngerumpi isterinya yang kalau telepon saja bisa berjam-jam lamanya. Padahal Woro muda, masih usia dua puluhan. 

Yang diherankan oleh Hamijaya, mengapa isterinya justru akan menggali informasi dari para suster yang dianggap sebagai sumber informasi? Apa karena suster-suster itu tukang gossip? Sehingga dianggap punya banyak info? Lha kalau berita didapatkan hanya dari gossip ya dapatnya pasti gak bisa dipercaya. Tapi itulah kemauan isterinya. Mana bisa dibantah?

Ya sudahlah, informasi apa yang akan didapatkan janda beranak satu itu ditunggu saja. Isteri Hamijaya yang akan mengatur semuanya. Bagaimana Woro berangkat besok, bagaimana cara mendapatkan informasi itu, dan tentu saja semua kebutuhan transportasi serta akomodasi akan dipenuhi oleh isterinya.

Yang kemudian digelisahkan oleh Dokter Hamijaya, khususnya isterinya, adalah bagaimana tanggapan puteri sulungnya. Gadis cantik bernama Sekar Jelita. Nama yang sangat sesuai dengan parasnya. Perempuan yang satu ini sebetulnya diharapkan dapat meneruskan kepemimpinan di rumah sakit Panjalu. Orangtuanya meminta Sekar kuliah di Fakultas Kedokteran sehingga dapat berkarier sebagai dokter sebagaimana ayahnya. Tetapi Sekar mengaku lebih suka dunia obat-obatan ketimbang langsung menjadi dokter.  Sekar memilih Fakutas Farmasi. Ya sudah, ibunya menerima, ayahnya juga, toh masih berhubungan dengan dunia rumah sakit.

Lulus dari Fakultas Farmasi, orangtuanya mengira Sekar akan mendirikan apotek. Karena itu Sekar disarankan kuliah lagi untuk mendalami farmakologi. Namun Sekar menolak. Dia lebih suka berasyik di laboratorium farmakologi di rumah sakit Panjalu dan bergaul dengan para petugas farmasi. Meski secara formal dia bukan menjadi apoteker di situ namun keberadaannya sudah menjadi bagian yang menyatu dengan semua karyawan yang ada di sana. Mereka mengenal dengan baik siapa Sekar Jelita, puteri kesayangan Dokter Hamijaya, pemilik Rumah Sakit Panjalu.

Tidak sedikit dokter-dokter bujang yang berusaha merebut hatinya. Bahkan dokter yang sudah berumah-tangga pun tak kuasa menahan hasratnya untuk bisa dekat-dekat dengan puteri mahkota Rumah Sakit Panjalu ini. Namun Sekar Jelita sepertinya tidak tertarik menanggapinya serius. Gadis cantik yang berperawakan bak peragawati ini akrab dengan siapapun, ramah, meski cenderung pendiam. Keramahan inilah yang sering disalah-diartikan oleh para lelaki yang dekat dengannya.

Bersambung

Novel Berbasis Cerita Panji Henri Nurcahyo RUMAH Sakit Panjalu di Kota Daha memiliki sejarah yang sama dengan Rumah Sakit Jenggala. Keduanya merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda, kemudian dikelola oleh militer sekian lama dan akhirnya diserahkan kepada pihak swasta dengan mendirikan sebuah yayasan. Orang yang dipercaya memimpin yayasan itu adalah Dokter Hamijaya Kusuma, sahabat seperjuangan Dokter…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *