(14): KETIKA AMANG MENGGODA PEREMPUAN

Oleh Henri Nurcahyo

SEBAGAIMANA yang sudah saya ceritakan bahwa Amang Rahman sangat menghormati perempuan. Dalam pandangan Amang, perempuan tak ubahnya bagai ibunya sendiri. Sebagai penghormatan dan kekaguman pada almarhumah ibunya maka ia memberikan nama bagi salah seorang cucu perempuannya sama dengan nama sang ibu, yakni Rahma. Tapi siapa sangka bahwa ternyata Amang juga suka “menggoda” perempuan.  

Meski demikian, sesungguhnya pengaruh ayahnya lebih kuat membentuk kepribadiannya. Ayahnyalah guru pertama Amang dalam belajar tentang hidup dan kehidupan. Dari ayahnya pula Amang kecil terbiasa menjadi kutu buku dan belajar apa saja secara otodidak. Bahkan ketika Amang bekerja dalam proyek bangunan pun justru waktunya banyak dihabiskan untuk membaca buku. Lain kali saja saya ceritakan soal ini.

Kali ini tentang perempuan, dimana Amang yang suka merenung dan menghayati keberadaan ibunya, sehingga memengaruhi dalam mengembangkan karir kesenilukisannya. Kehidupan perempuan senantiasa tak habis-habis menjadi sumber inspirasinya. Sumber idenya bisa berasal dari ibunya atau perempuan lain yang memiliki keistimewaan.

Nah suatu ketika seorang perempuan cantik menghampiri Amang dalam sebuah pameran.

“Apa kabar Pak Amang, sehat kan?” sebuah sapaan normatif.

Tapi Amang tidak langsung menjawab, melainkan memandangi wajah perempuan itu beberapa jenak. Tentu saja perempuan cantik itu salah tingkah.

“Ada apa Pak Amang?”

“Ah nggak papa. Saya lihat kok ibu tetap cantik,” ujar Amang dengan mimik serius.

“Ah Pak Amang ini ada saja.”

Perempuan ini sama sekali tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia bingung, Pak Amang ini sedang merayu, bercanda ataukah serius. Kalau bercanda, mengapa mimik wajahnya sangat serius?

“Betul Bu, saya sangat sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kekaguman saya.” Kalimat panjang itu tetap disampaikan dengan wajah yang serius. Tanpa senyum sedikitpun.

Ketika perempuan itu masih tersipu-sipu dan tak bisa berkata apa-apa, Amang melanjutkan:

“Selamat ya, Bapak sudah jadi Dokter. Kalau ibu sakit tidak perlu kemana-mana.”

“Doktor Pak Amang, bukan Dokter.”

“Iya, Doktor itu dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesianya Dokter.”

“Tapi suami saya bukan Dokter.”

“Sama saja. Apalagi saya lihat mobilnya juga baru. Honda Fisik”

“Ah Pak Amang ini, Civic Pak Amang, bukan Fisik.”

“Enggaklah, saya pernah lihat sendiri kok. Warnanya merah, tulisannya Fisic.”

“Pak Amang ini gimana sih. Civic Pak. Civic….. ” Bibirnya digerak-gerakkan sedemikian rupa untuk mempertegas ucapannya.

Sampai di sini Amang masih berwajah sangat serius. Justru perempuan cantik itu yang bingung harus bagaimana. Maunya tertawa karena yang dikatakan Amang memang lucu. Tapi kalau tertawa sendirian kok rasanya aneh, sebab Amang mengatakannya sangat serius. Jadi ini sebuah guyonan ataukah karena Amang yang tidak paham sama sekali?

Ternyata, perempuan itu adalah istri seorang tokoh intelektual terkenal yang memang sangat akrab dengan Amang, termasuk anekdot-anekdotnya. Dia sudah biasa mendengar anekdotnya dan tertawa-tawa, meski Amang menyampaikannya dengan mimik serius.

Perempuan itu lantas bercerita pada suaminya sepulang dari acara pameran dan bertemu Amang Rahman.

“Papa, Pak Amang itu gimana sih? Masak Papa dibilang sudah jadi Dokter. Saya bilang Doktor dia tidak percaya.”

Suaminya masih diam. Istrinya lantas melanjutkan:

“Enak ya, kalau ibu sakit tidak perlu ke dokter. Cukup ditangani suami sendiri. Gitu katanya.”

Suaminya menahan tertawa, dia sudah mulai tersenyum sedikit. Lantas istrinya meneruskan ceritanya.

“Lagian Pa, masak mobil kita dibilang Honda Fisik. Sudah saya jelaskan Honda Civic, tetap aja begitu, Honda Fisik, bukan Honda Civic.”

Tidak bisa menahan lagi, akhirnya sang suami tertawa ngakak.

“Papa itu gimana sih. Ini serius.”

“Hahaa… Mama itu sudah dikerjain Pak Amang.”

“Dikerjain gimana? Wong dia mengatakannya serius kok. Tidak tertawa sama sekali.”

“Haalah. Kayak gak tahu Pak Amang saja. Mukanya memang sangat serius, lukisannya surrealis religius, tapi anekdotnya tidak ada yang bisa mengalahkan.”

Istrinya terbengong-bengong. Kenapa selama ini suaminya tidak pernah cerita soal “kepribadian ganda” Amang Rahman? Sejak dulu dia beranggapan Amang adalah seorang seniman yang sopan, ramah kepada siapa saja, dan selalu serius dalam berbicara. Apalagi lukisan-lukisannya selalu religius bertema filsafat kehidupan yang dalam.

Entah dia harus bagaimana kalau suatu ketika bertemu Pak Amang lagi. (*)

Oleh Henri Nurcahyo SEBAGAIMANA yang sudah saya ceritakan bahwa Amang Rahman sangat menghormati perempuan. Dalam pandangan Amang, perempuan tak ubahnya bagai ibunya sendiri. Sebagai penghormatan dan kekaguman pada almarhumah ibunya maka ia memberikan nama bagi salah seorang cucu perempuannya sama dengan nama sang ibu, yakni Rahma. Tapi siapa sangka bahwa ternyata Amang juga suka “menggoda”…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *