(22): MAKAN DAN BAYAR, APA HUBUNGANNYA?

Catatan Henri Nurcahyo

LAZIMNYA orang makan di warung itu ya harus bayar. Tapi hal ini tidak berlaku bagi seniman yang biasa nongkrong di Balai Pemuda tahun-tahun lampau. Meski mereka suka bicara idealisme sampai nyundhul langit namun ketika perut minta diisi ternyata menjadi persoalan tersendiri. Dasar seniman, ada saja akal mereka agar bisa tetap makan tanpa keluar uang sendiri. Apalagi memang tidak punya uang.

Ketika Balai Pemuda belum seperti sekarang, di sudut barat laut terdapat sebuah area yang cukup luas tempat warung-warung makan. Keberadaan warung-warung ini sangat menguntungkan ketika ada acara kesenian atau acara apa saja. Bahkan tanpa ada acara apa-apa juga masih ramai. Bisa dikatakan di tempat inilah para seniman biasanya bertemu. Jadi kalau ada orang luar kota yang hendak bertemu seniman, di situlah tempatnya. Karena kebetulan sekretariat DKS dan Bengkel Muda Surabaya (BMS) juga ada di dekat situ.

Sebutlah Cak Sokran, penjual soto yang menjadi salah satu pemilik warung di situ. Kalangan seniman sangat akrab dengan lelaki yang suka guyon ini. Dia sendiri tak segan-segan juga kadang mengerjai seniman yang dianggap sudah menjadi temannya. Misalnya saja, ketika sineas Gatut Kusumo (alm) makan di situ, tanpa diminta satu mangkok nasi soto yang sudah habis ditambahi satu mangkok lagi.

“Lho Kran, aku kan gak minta nambah,” ujar mantan Tentara Pelajar yang suka dipanggil “Papa” oleh kalangan seniman ini.

Sampeyan iku nek sak mangkok yo kurang,” ujarnya santai.

Memang perawakan Gatut bertubuh besar. Dialah yang menjadi “perpustakaan berjalan” bagi seniman lantaran pengetahuannya yang sangat luas.

Selang beberapa lama, Gatutpun bertanya ke Sokran:

“He Kran, awakmu ket biyen dodolan soto sing digoleki opo se?” (Yang dicari itu apa?)

Yo nggolek mangan Pak.”

Koen iku aneh, kalau sekadar cari makan ya makan saja sotomu itu.”

“Lha anak istriku?”

“Ya kamu ajak makan barengan. Beres kaan?”

“Wah sampeyan iku…… Gak oleh duit.”

“Lho, duit buat apa? Kan juga buat makan.”

Kisah yang lain lagi. Suatu ketika, Amang Rahman, M. Daryono dan lain-lain sama-sama belum makan siang. Mereka tidak punya uang, bahkan untuk bisa makan bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba dari jauh terlihat M. Roeslan mendatangi sekretariat DKS. Langsung dia digiring ke arah warung.

“Mangan, mangaaan……”

Maka Roeslan, Amang, Daryono dan entah siapa lagi makan siang di sebuah warung. Tidak lupa juga mengambil rokok. Hingga akhirnya:

“Ayo Roes, bayaren.”

“Kok aku?” tanya Roeslan.

“Kan kamu sedang ada uang?”

“Siapa bilang?”

“Kan kamu barusan jadi juri.”

Kemudian Reslan bercerita, bahwa seharusnya pagi tadi dia memang jadi juri Lomba Pidato yang diselenggarakan oleh sebuah partai. Teman-temannya juga tahu itu. Ternyata, begitu Roeslan sampai di lokasi, acaranya batal. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Maklum waktu itu tidak ada hape, sambungan telepon juga masih langka. Akhirnya, dari lokasi acara Roeslan berjalan kaki sampai ke Balai Pemuda.

“Makanya saya senang sekali diajak makan,” ujar Roeslan.

“Terus, yang bayar makanan ini siapa?”

“Lho apa hubungannya makan dengan membayar?” balas Roeslan santai.

Menurut Roeslan, makan itu hubungannya dengan lapar, kalau membayar berhubungan dengan punya uang. Sejak itulah terkenal guyonan “apa hubungannya makan dan membayar.”

Kalangan seniman tahu persis siapa yang bisa dinunuti makan bersama tanpa harus bayar sendiri. Cak Kandar adalah salah satunya. Kalau ada yang tahu dia sedang makan maka ada saja beberapa seniman yang ikut bergabung. Diajak atau tidak diajak. Cak Kandar yang juga dikenal sebagai Pelukis Bulu itu memang dikenal sebagai pelukis yang berhasil. Pameran di hotel-hotel besar dan banyak yang beli. Alhasil, mereka semua bisa makan gratis lantaran Cak Kandar yang membayarnya. Inilah bukti bahwa memang tidak ada hubungannya antara makan dan membayar.

Ada lagi yang namanya Cak Kadaruslan, seorang pegiat seni budaya yang dikenal hidup berkecukupan. Cak Kadar, panggilannya, juga suka nongkrong di warung itu. Seperti juga yang dialami Cak Kandar (namanya memang mirip), beberapa seniman lantas ikut bergabung makan bersama. Kemiripan nama ini pernah jadi olok-olok Hardi, pelukis Jakarta yang pernah kuliah seni rupa di Surabaya.

“Wong Suroboyo iku gak bisa bikin nama ya. Kadar, Kandar, Kadir….. Bikin bingung saja.”

Memang ada juga pelukis bernama Kadir.

Nah ketika acara makan selesai, Cak Kadar kaget:

“Lho, aku kan cuma makan gado-gado, kok sampai dua ratus ribu lebih,” ujarnya pada pemilik warung.

Lha arek-arek itu kan melok mangan, gak sampeyan itung ta?”

Cak Kadar juga tahu, bahwa mereka ikut makan dan dialah yang membayar. Tapi jumlahnya kok besar sekali.

Ternyata, diantara mereka ada yang bilang ke pemilik warung agar disatukan dengan utangnya makan kemarin. Bahkan, ada seniman yang kebetulan tidak ikut makan tapi dia bilang ke pemilik warungnya:

“Ning, aku nasi krengsengan, kopi dan rokok. Itungen ya. Tapi makannya nanti, itung saja, jadikan satu dengan Cak Kadar.”

Olaahh pantesan. Belum makan kok minta dibayari. Memang betul kata Pak Roeslan: Apa hubungannya makan dan mbayar? (*)

Teks foto: (ki-ka) Cak Kandar, Amang Rahman, Cak Kadar

Catatan Henri Nurcahyo LAZIMNYA orang makan di warung itu ya harus bayar. Tapi hal ini tidak berlaku bagi seniman yang biasa nongkrong di Balai Pemuda tahun-tahun lampau. Meski mereka suka bicara idealisme sampai nyundhul langit namun ketika perut minta diisi ternyata menjadi persoalan tersendiri. Dasar seniman, ada saja akal mereka agar bisa tetap makan tanpa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *