(23): AMANG RAHMAN MENINGGAL DUNIA 4 KALI

Catatan Henri Nurcahyo

AMANG Rahman memang sudah meninggal dunia tanggal 15 Januari 2001. Sayang sekali Pak Amang tidak dapat menghadiri pameran ulang tahunnya ke-70 yang diselenggarakan pada akhir tahun yang sama di Museum Nasional Jakarta. Juga peluncuran penerbitan bukunya yang saya tulis bersama dengan Mamannoor. Tetapi ternyata sebelumnya dia sudah pernah “meninggal dunia” sebanyak 3 (tiga) kali. Jadi lengkap 4 (empat) kali dengan kematiannya sendiri. Bagaimana ceritanya?

Pelukis surrealis yang akrab dengan dunia kematian itu tidak bisa lagi menghindari kematian yang sesungguhnya. Dalam kanvas-kanvasnya banyak sekali idiom kematian yang diungkapkannya. Baginya, kematian adalah sebuah misteri yang sangat menarik. Karenanya Amang mengagumi sastrawan Danarto yang sering menulis bertema kematian. Beberapa karya Danarto juga divisualkan oleh Amang Rahman. Juga Sutarji Calzoum Bachri dengan idiom dalam puisinya: “….maut menabungKu. segobang-segobang.”

Kematian adalah sumber inspirasi bagi Amang Rahman. Hobinya yang nyeleneh adalah mengunjungi banyak makam tanpa harus kenal siapa yang dimakamkan. Amang punya pengalaman batin yang melimpah perihal berbagai bentuk nisan di berbagai kuburan. Bahkan atas nama Lembaga Pengembangan Seni Rupa (LPSR) “Aksera” Amang Rahman memelopori acara “Surabaya Mengenang Mereka”. Acara ini berupa ziarah ke makam para seniman dan menerbitkan buku profil beberapa seniman dengan judul yang sama.

Suatu ketika (mantan) Walikota Malang Soegiyono berkunjung ke rumah Amang Rahman diantar  oleh Cak Kadaruslan. Sebelumnya, Ebes Soegiyono bertanya kepada Cak Kadar, apakah betul Amang meninggal dunia? Cak Kadar membantahnya. Namun Ebes tidak percaya. Maka berangkatlah mereka langsung ke rumah Amang untuk membuktikan kebenarannya. Maklum waktu itu Amang belum memiliki pesawat telepon.

“Ternyata sampeyan masih sehat,” ujar Ebes begitu ketemu Amang.

Itu adalah “kematian” Amang yang pertama.

Yang kedua, suatu saat Amang sedang periksa ke sebuah klinik kesehatan. Ketika sedang antri, dia mendengar percakapan sesama pasien:

“Barusan saya baca koran katanya ada pelukis yang meninggal ya?”

“Iya, namanya Amang Rahman.”

“Pelukis terkenal ya?”

“Kayaknya iya.”

Mendengar percakapan ini Amang kaget. Mungkin orang itu membaca berita tentang meninggalnya Daryono, dimana Amang sebagai sahabatnya diwawancarai wartawan. Kebetulan sehari sebelumnya Daryono memang meninggal dunia. Orang itu nampaknya salah tangkap ketika membaca, dikira yang meninggal adalah Amang Rahman. Saat itu juga Amang langsung pulang, tidak jadi berobat. Dia kuatir kalau namanya dipanggil nanti dikira ada orang mati sedang berobat.

“Kematian” yang ketiga adalah ketika pelukis Bandung yang juga sahabatnya, A.D. Pirous, tiba-tiba datang naik becak ke rumah Amang di Kali Kepiting.

“Alhamdulillah, Pak Amang masih segar bugar,” ujar Pirous.

“Lho, memangnya kenapa?”

Lantas Pirous cerita, bahwa sebelumnya dia datang ke rumah Amang yang dia tahu ada di Jalan Mojoklanggru Kidul. Ternyata bukan Amang yang tinggal di situ.

“Sekarang Pak Amang dimana?” tanya Pirous kepada orang yang ditemui di rumah lama.

“Pak Amang sudah tidak ada,” jawab seorang ibu di rumah itu.

Tentu saja Pirous sangat kaget. Mengapa berita duka ini tidak diketahuinya?

“Ibu tahu rumah keluarganya?”

Setelah diberi tahu maka meluncurlah Pirous ke Kali Kepiting, dimana ditemuinya sahabatnya itu masih sehat, belum meninggal dunia.

“Tapi kenapa kok ibu tadi bilang Pak Amang sudah tidak ada?” tanya Pirous.

Mungkin maksudnya, memang tidak ada di rumah itu melainkan sudah pindah ke rumahnya yang baru. Rumah sendiri, bukan rumah kontrakan, sehingga saat itu gugurlah sebutan Amang sebagai “kontraktor” alias kontrak rumah satu ke rumah lainnya. Ini karena Amang berhasil meraup banyak rezeki dari pamerannya di jazirah Arab.

“Sekarang lukisanku Realis,” katanya.

“Lho, katanya di Arab pameran kaligrafi.”

“Maksudnya, Realis itu karena mereka membayarnya pake mata uang Reyal,” jawab Amang lantas tertawa.

Oalah Pak. Karepmu.

Hari Senin Legi, 21 Januari 2001, bertepatan dengan tanggal 19 Syawal 1421 Hijriah, pagi hari Amang Rahman sedang tertidur di kamarnya. Sepertinya dia tidur seusai Subuh. Istrinya yang baru pulang dari pasar hendak membangunkan Amang. Ternyata pelukis yang sering menggunakan idiom kematian itu telah pergi untuk selama-lamanya. Salah satu puisinya yang terkenal:

Dalam hidup ini

Hanya satu yang pasti

Mati

(*)

Catatan Henri Nurcahyo AMANG Rahman memang sudah meninggal dunia tanggal 15 Januari 2001. Sayang sekali Pak Amang tidak dapat menghadiri pameran ulang tahunnya ke-70 yang diselenggarakan pada akhir tahun yang sama di Museum Nasional Jakarta. Juga peluncuran penerbitan bukunya yang saya tulis bersama dengan Mamannoor. Tetapi ternyata sebelumnya dia sudah pernah “meninggal dunia” sebanyak 3…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *