Sarip Tambak Oso Versi Ludruk Luntas
Catatan Henri Nurcahyo
SARIP Tambak Oso adalah lakon klasik yang sangat populer bagi kelompok ludruk. Ceritanya juga sudah dihapal oleh para penggemar ludruk. Kisah tentang seorang pemuda yatim yang nakal, berandal, namun sangat mencintai ibunya. Sarip sangat peduli terhadap nasib orang miskin dan menderita, akibat perlakukan penjajah yang menindas. Maka Sarip melawan orang-orang Belanda dan kaki tangannya. Meski berulang kali mati dan bisa hidup kembali karena kesaktian ibunya akhirnya Sarip mati ditembak Belanda.
Tetapi lakon ini jadi berbeda ketika dipentaskan oleh kelompok ludruk yang menamakan Luntas (Ludruk Nom-noman Tjap Arek Suroboyo), Sabtu malam (22/7/23) di rumah budaya rakyat Jalan Karang Menjangan Surabaya. Bagian akhir lakon ini bukan pada kematian Sarip melainkan justru Sarip mampu menyadarkan Ndoro Mantri yang jadi antek penjajah berbalik membela kaum pribumi. Maka hilanglah “Langit Mendung Tambak Oso” sebagaimana judul pergelaran ini.
Satu hal yang harus diingat bahwa “Luntas” adalah satu-satunya grup ludruk yang mampu pentas rutin seminggu sekali di tobong miliknya sendiri. Tidak menggantungkan pada undangan pentas hajatan atau bantuan pemerintah. Di bawah pimpinan Robert Bayonet kelompok ini mencoba menyiasati segala keterbatasan dengan pentas tanpa gamelan hidup, panggung yang sangat kecil, tobong yang fungsi aslinya adalah jajaran meja kursi warung makan. Penonton tidak ditarik tiket namun disediakan kotak kardus “Partisipasi for Ludruk” yang dapat diisi seikhlasnya.
Peranan Robert sangat dominan dalam “Luntas” sebagai sutradara, penulis naskah, pemain utama, pelawak, pengidung, dan juga manajer serta organisator yang menggerakkan roda organisasi. Hal ini memang mengingatkan “Manajemen Juragan” sebagaimana terdapat pada kebanyakan kelompok ludruk. Bedanya, Robert ikut main dan sanggup menggantikan pemain yang tiba-tiba berhalangan hadir sebagaimana pentas Sabtu malam lalu.
Beruntung ada Saipul yang mampu mengimbangi Robert dalam babakan lawak dan berperan menjadi tokoh kedua dalam kelompok ini. Duet Robert dan Saipul sangat kompak, saling lempar bola, dan mampu membuat suasana hidup menyegarkan. Yang menarik, ketidak-hadiran pemeran utama ini malah dijasikan bahan lawakan sepanjang pertunjukan. Beberapa kali ada adegan yang sengaja diulang seolah-olah ini pentas latihan. Robert sendiri yang memang tampil sebagai pelawak nampaknya merasa sungkan ketika terpaksa harus memerankan tokoh Sarip yang serius dan sangar. “Sak iki aku gak mbanyol rek, engkuk diseneni ambek wong-wong ludruk,” ujarnya.
Yang kemudian terjadi, adegan-adegan lucu memang tidak bisa terhindarkan yang bahkan menjadikan pertunjukan ini etrasa menghibur dan jauh dari kesan formal sama sekali. Inilah pentas ludruk yang disampaikan dengan gaya ludrukan (baca: tidak serius namun tidak melepaskan esensinya).
Happy Ending
Lakon Sarip Tambak Oso biasanya berakhir tragis (sad ending) dengan kematian Sarip di tangan Belanda. Ada versi yang mengatakan Sarip ditembak mati dengan peluru emas, atau peluru berlapis lemak babi, mati digantung, bahkan ada yang memercayai tubuh jenasah Sarip harus dimutilasi dan dikubur secara terpisah. Versi terakhir ini malah diperkuat dengan adanya tiga tempat yang dipercayai sebagai kuburan bagian tubuh Sarip di Sidoarjo.
Bisa jadi Sarip harus mati ditembak Belanda ini adalah sebuah pesan politis dari penjajah kepada penduduk pribumi agar jangan berani memberontak kalau tidak mau nasibnya berakhir tragis seperti Sarip. Hal yang sama juga terjadi pada lakon Sakerah dan juga Si Pitung. Ketiga sosok ini dianggap penjahat oleh Belanda namun justru dipahlawankan oleh masyarakat pribumi. Tetapi berbeda dengan lakon Sarip dan Sakerah, ternyata cerita Jaka Sambang justru happy ending, bahwa Joko Sambang berhasil mengusir penjajah. Tentu saja, hal ini harus dimaknai secara kontekstual dan hanya berlaku secara lokal saja.
Karena itu ada yang berpendapat bahwa lakon Sarip Tambak Oso “tidak mendidik” dan kontra produktif dengan pesan nasionalisme yang justru menjadi ruh dalam lakon tersebut. Beberapa tahun yang lalu Disbudpar Jatim mensponsori pergelaran ludruk anak-anak muda untuk mementaskan di Gedung Cak Durasim lakon Sarip dengan happy ending, bukan berakhir dengan kematian Sarip yang tragis. Kalau biasanya tokoh Sarip tewas diterjang peluru serdadu Belanda, maka kali ini justru para serdadu itulah yang tewas ditikam belati Sarip. Sambil menggendong jasad ibunya yang tewas tertembak, maka Sarip berteriak lantang; “Hei bangsa Walanda, jangan bertindak sewenang-wenang terhadap bangsaku. Ini Sarip. Hadapilah….”
Sebagai sebuah cerita rakyat maka Sarip Tambak Oso sebetulnya bebas saja ditafsirkan sesuai dengan kepentingan siapapun. Bahkan bisa jadi Sarip yang mati ditembak Belanda, apalagi dimutilasi, itu justru merupakan penafsiran penjajah Belanda sendiri yang sengaja didramatisasi untuk menakut-nakuti rakyat. Maka seorang Robert Bayonet melalui pergelaran Luntasnya juga berhak menafsirkan sendiri legenda ini sesuai dengan keinginannya. Dia ingin agar lakon ini tidak berakhir tragis dan membuat pesimistis. Bahwasanya banyak orang yang dengan mudahnya diperalat penjajah untuk memusuhi bangsanya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penjajah selalu menerapkan Politik Adu Domba agar sesama anak bangsa saling bermusuhan sendiri. Dan ketika sekarang ini penjajah sudah pergi, toh masih saja ditemukan anak-anak bangsa yang saling bermusuhan. Tidak heran Bung Karno pernah berkata: ““Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Di sinilah relevansi lakon Sarip Tambak Oso yang digelar oleh Ludruk Luntas ini. Robert tidak semata-mata menyeret ke suasana penjajahan Belanda yang kejam, bahkan tidak ada muncul tokoh Belanda sama sekali dalam pentas itu. Padahal biasanya pemain Belanda ini suka dijadikan banyolan dengan dialognya yang khas, “En kamu orang, apakah kamu orang sakit encoken?”
Pesan moral yang disampaikan Robert dalam lakon Sarip ini bahwa sekarang ini masih banyak pengkhianat-pengkhianat bangsa yang dengan bangganya memusuhi bangsanya sendiri demi pangkat dan harta. Tetapi justru Robert tidak mengajak memusuhi para gedibal itu melainkan mengajak bicara baik-baik, dari hati ke hati, agar mereka sadar bahwa sikapnya salah. Bahwasanya langit mendung harus disibakkan agar matahari bisa bersinar cerah memberi kehidupan alam semesta. Kira-kira begitulah. (*)
Catatan Henri Nurcahyo SARIP Tambak Oso adalah lakon klasik yang sangat populer bagi kelompok ludruk. Ceritanya juga sudah dihapal oleh para penggemar ludruk. Kisah tentang seorang pemuda yatim yang nakal, berandal, namun sangat mencintai ibunya. Sarip sangat peduli terhadap nasib orang miskin dan menderita, akibat perlakukan penjajah yang menindas. Maka Sarip melawan orang-orang Belanda dan…