Jaka Tarub Dikejar Macan di Kampung Maspati

Catatan Henri Nurcahyo

MENGAWALI pentas keliling 9 (Sembilan) kampung Surabaya, Ludruk “Luntas” Surabaya menyajikan lakon “Jaka Tarub Gugat” di kampung lawas Maspati, tepatnya di tepi jalan Bubutan sisi barat, Sabtu malam (12/8/23). Bagaimana cerita lengkapnya, semua orang (dianggap) sudah tahu, jadi tidak perlu dilakonkan di atas panggung.

Apa yang dilakukan Robets Bayoned selaku sutradara Luntas adalah bagaimana memberikan penafsiran dan sudut pandang baru atas dongeng yang sudah populer tersebut. Jadi jangan heran kalau ada adegan Jaka Tarub dikejar macan (harimau), juga memesan makanan melalui aplikasi online (yang baru sampai hingga tiga hari karena tersesat di hutan), bahkan tiba-tiba ada Yuyu Kangkang muncul di panggung. Apa hubungannya? Gak perlu dijawab, yang penting lucu.

Menghadirkan Yuyu Kangkang, Ojek, dan juga pemain laki-laki berbusana perempuan (bencong) juga tak lebih sebagai upaya untuk lucu-lucuan yang dapat menghibur penoton.

Pentas ludruk kali ini merupakan bagian dari serangkaian acara Kampung Maspati Lawasan selama dua hari dua malam. Ada pertunjukan musik, jazz, bazaar rakyat di gang lima dan enam, serta berbagai acara keramaian lainnya sebagaimana keramaian saat “tujuh belasan.” Puluhan stand makanan digelar warga setempat di dua gang itu dan juga sepanjang trotoar.

Pertunjukan ini digelar di pinggir jalan, panggungnya dibangun di atas trotoar menghadap jalan raya sehingga penonton berjubel di jalanan dan memakan separuhnya. Mereka toh asyik saja lesehan di atas aspal dijaga petugas kepolisian dan lainnya untuk mengamankannya dari lalu lintas kendaraan. Beberapa  tukang becak nampak asyik menikmati tontonan kesenian rakyat ini.

Selama ini Luntas selalu pentas rutin tiap Sabtu malam di tobongnya yang disebut “Rumah Budaya Rakyat” di Jalan Karang Menjangan 21 Surabaya. Kali ini menyongsong peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Luntas menggelar program bernama “Ludruk Merdeka” dengan pentas di kampung-kampung. “Kalau selama ini masyarakat kesulitan nonton ludruk ke gedung pertunjukan maka ludruklah yang harus mendatangi masyarakat,” kata Robets dari atas panggung.

Berbeda dengan pentas rutin di tobongnya sendiri yang menggunakan iringan rekaman, kali ini Luntas membawa seperangkat gamelan dan penabuhnya untuk mengiringinya. Bukan punya sendiri, melainkan bekerjasama dengan kelompok karawitan Warna Jaya (?).  

Dia sadar bahwa ludruk yang dibawakannya memang melenceng dari gambaran arus utama ludruk pada umumnya. Dia merasa bahwa apa yang dilakukannya bisa jadi “dimarahi” orang-orang ludruk. Tetapi menurutnya ludruk harus digarap sedemikian rupa agar disukai penonton dan (ini yang penting) tampil menggembirakan. Orang nonton ludruk butuh hiburan, jadi ludruk harus lucu, harus menghibur. Menyebut ludruknya adalah “ludruk nom-noman” maka Luntas berusaha tampil dengan gaya milenial sebagaimana penonton yang disasar. Bahwasanya melestarikan ludruk itu memang penting namun yang jauh lebih penting adalah melestarikan, bahkan mengembangkan penonton. Apa artinya ludruk lestari kalau penontonnya terus menyusut.

Apakah betul bahwa masyarakat sudah tidak suka dengan ludruk? Tidak juga. Beberapa kelompok ludruk terbukti tidak pernah sepi tanggapan. Dalam sebulan bisa lebih dari setengahnya pentas di desa-desa. Ya, desa, karena memang di situlah habitat ludruk yang ada sekarang ini. Sementara yang dilakukan Robets dan Luntasnya adalah masyarakat di perkotaan. Tantangannya jelas beda.

Dalam prakteknya bukan hanya 9 kampung yang didatangi Luntas melainkan lebih, yaitu: adalah Kampung Lawas Maspati (12/8), Perum Wisata Semanggi (16/8), Jula Juli Guyonan di Jemur Sari (17/8), Perum Kutisari Indah (18/8), Benowo Sawah (19/8), Kampung Gundih (20/8), Ketintang Baru (21/8), Pagesangan (26/8), Petemon Tiga (27/8), kampung Asem Jajar (2/9), dan Tambak Asri (3/9).

Lantas, apa yang disajikan dalam lakon Joko Tarub Gugat? Apa yang digugat? Biarlah itu menjadi pertanyaan penonton untuk mendapatkan jawabannya nanti. Bahkan kalau toh tidak terjawab juga tidak apa-apa. Kalau dalam “pakem” ludruk babak Lawakan ada tersendiri maka lakon ludruk kali ini hampir sepanjang pertunjukan penuh dengan guyonan. Penonton tertawa senang karena itu yang mereka harapkan. Setidaknya Luntas sudah mengawali pertunjukannya dengan sajian tari remo sebagaimana ludruk pada umumnya. Hanya tari remo, tanpa disertai kidungan, karena bagi Robets keberadaan kidungan dalam tarian remo itu tidak wajib. Menurutnya, itu kesalahan penafsiran para pelaku ludruk itu sendiri. Kidungan tetap ada namun menjadi bagian dari adegan banyolan.

Sebagaimana jalan cerita yang dikenal masyarakat, bahwa Jaka Tarub adalah pemuda desa yang menemukan selendang milik Nawangwulan, bidadari yang kemudian menjadi istrinya. Singkat cerita, setelah sekian lama berlalu mereka dikaruniai dua anak. Hingga suatu ketika (inilah yang sengaja dibuat plesetan) ada paket berisi selendang hijau. Jaka Tarub kaget karena selendang itu milik istrinya yang nantinya bisa digunakan kembali ke kahyangan. Maka Jaka berusaha menyembunyikan selendang itu dan mengajak dua anaknya menjaga rahasia.

Namun akhirnya Nawang Wulan mengetahuinya. Dia marah karena suaminya berbohong. Namun Jaka malah menggugat istrinya agar tidak kembali ke kahyangan dengan selendang tersebut. Dia menghiba, bagaimana mungkin dia akan mampu menjaga dua anaknya yang masih kecil kalau istrinya meninggalkannya. Jaka Tarub menggugat agar Nawang Wulan tidak kembali ke kahyangan sebagaimana yang kemudian diceritakan dalam dongeng.

“Sampeyan jangan salah paham Cak, selendang ini bukan saya pergunakan untuk kembali ke kahyangan tetapi akan saya gunakan untuk belajar tari Remo. Siapa lagi yang mau melestarikannya kalau bukan kita,” ujar Nawang Wulan.

Oalah, ternyata ending ceritanya seperti itu. Ya wislah. (*)

Catatan Henri Nurcahyo MENGAWALI pentas keliling 9 (Sembilan) kampung Surabaya, Ludruk “Luntas” Surabaya menyajikan lakon “Jaka Tarub Gugat” di kampung lawas Maspati, tepatnya di tepi jalan Bubutan sisi barat, Sabtu malam (12/8/23). Bagaimana cerita lengkapnya, semua orang (dianggap) sudah tahu, jadi tidak perlu dilakonkan di atas panggung. Apa yang dilakukan Robets Bayoned selaku sutradara Luntas…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *