Dialog Hati Roman Oi dan Ridwan

Catatan Henri Nurcahyo

DUA pelukis pameran bersama, Roman Chuza atau Roman Oi dan Ridwan SS di Galeri Dewan Kesenian Surabaya. Dibuka Sabtu (9/9) oleh sesepuh Aksera yang masih tersisa, Nuzurlis Koto, dengan titel “Ilustrasi Idiom,” berlangsung hingga 15 September. Tapi saya lebih suka menyebut titel pameran ini dengan istilah “Dialog Hati”.  

Kedua pelukis ini memiliki gaya yang berbeda. Roman menyajikan karya-karya yang minim warna, sementara Ridwan menghadirkan warna-warna cemerlang. Ketika Roman mencoba berbicara dalam bahasa kesunyian, maka Ridwan justru bicara dalam keriuhan. Padahal yang disebut sepi bisa jadi merupakan keramaian yang terpendam. Sementara keramaian sesungguhnya adalah kesunyian yang tersamarkan. Pada titik inilah dialog itu tercipta. Sebuah dialog hati yang saling mengisi.  

Orang bijak berkata, “cobalah untuk melihat karya seni lukis dengan pikiran yang terbuka. Jangan terlalu cepat membuat kesimpulan atau mencoba untuk memahami pesan di balik lukisan. Biarkan diri kita terbawa oleh warna, garis, dan bentuk yang ada. Saat melihat karya seni, biarkan imajinasi mengembara bebas. Cobalah untuk merenung tentang cerita yang mungkin tersembunyi di balik lukisan tersebut atau bagaimana kita merasa jika sedang berada dalam situasi yang digambarkan dalam lukisan.”

Karena karya Roman minim warna, maka ketika ada bagian yang berwarna lantas menjadi pusat perhatian yang pertama kali menyentak. Mengapa bagian itu yang berwarna? Mengapa sebagian besar justru tanpa warna? Apakah yang hanya hitam putih itu mengantarkan keberadaan warna, ataukah justru karena ada yang berwarna itulah maka eksistensi hitam putih menjadi berarti. Lagi-lagi, inilah dialog itu.

Roman adalah putra pelukis jebolan Aksera, namanya Chusnan. Perlu dicatat, bahwa Aksera mengajarkan semacam kredo, yaitu “jadilah dirimu sendiri”. Maka karya-karya Chusnan memiliki ciri khasnya sendiri. Karya-karya yang hitam putih, mengedepankan garis-garis arsir yang rapi sehingga membentuk bidang yang detail. Gaya lukisan inilah yang sangat berbeda dengan semua jebolan Aksera lainnya.

Kurang lebih seperti itulah yang dilakukan oleh Roman. Namun hal itu justru baru disadari ketika ayahnya sudah tiada. Menurutnya, tidak ada niatan menjadi pelukis, hanya menjalani sebagai kegemaran belaka. Roman malah asyik dengan dunia musik khas anak muda. Akrab dengan gaya Iwan Fals yang memiliki penggemar terorganisasi bernama OI (Orang Indonesia). Roman menganggap ayahnya sebagai inspirator bagi tapak langkahnya dalam berkarya. Ada kesan surealistis dalam karyanya. 

Sementara Ridwan adalah pelukis yang menggunakan media cat minyak dalam menuangkan ekspresinya. Dia punya kemampuan melukis realis yang digunakannya untuk melayani pesanan. Sedangkan ketika dia menuangkan ekspresi kreatifnya lebih banyak pada tampilan yang nonfiguratif. Tidak perlu menebak-nebak “ini gambar apa” sebagaimana pertanyaan  orang pada  umumnya. Juga tidak perlu memaksakan penafsiran. Bahwa seni adalah subjektif, dan setiap orang sangat mungkin memiliki penafsiran yang berbeda tentang suatu karya. Tidak ada “jawaban yang benar” dalam menilai seni. Jika ada yang merasa terhubung atau tertarik dengan suatu lukisan, itu sudah cukup.

Lukisan nonfiguratif, yang seringkali disebut abstrak, memang sekilas nampak terlihat ada bentuk-bentuk yang sudah dikenali. Barangkali ini bisa dijadikan pintu masuk untuk menjelajah dunia dalam lukisan tersebut. Kalau nampak seperti ada batang bambu misalnya, bisa jadi itu bukan lukisan tentang bambu namun seperti daun pintu yang terbuka untuk memberikan kesempatan apresian memasukinya. Memahami lukisan abstrak bisa menjadi pengalaman yang sangat subjektif, karena seni abstrak seringkali tidak memiliki representasi gambaran yang jelas seperti dalam seni realis atau seni figuratif.

Dengan kata lain, yang lebih penting adalah bukan apa yang nampak di atas kanvas melainkan perasaan atau kesan apa yang dirasakan oleh orang yang mencoba membuka ruang komunikasi dengannya. Salah satu aspek menarik dari seni abstrak adalah kebebasannya dalam menafsirkan. Biarkan imajinasi mengembara saat memandang lukisan tersebut.  Dan tentunya, tiap orang bisa punya pengalaman yang berbeda satu sama lain. Itu sah-sah saja. Tidak perlu ada keseragaman dalam penafsiran. Bahwasanya karya seni itu bersifat multiinterpretatif. Itulah yang membedakannya dengan rambu lalulintas.

Dan akhirnya, marilah berselancar dalam ruang imajinasi yang telah dibuka lebar-lebar oleh dua pelukis yang berpameran kali ini. Karya seni adalah sebuah teks, tinggal kita bagaimana menempatkannya dalam konteks yang terbangun dari pengalaman kita sendiri. Arus perjalanan dari teks dan konteks, lantas berbalik dari konteks ke teks, itulah yang menjadi dialog yang menarik. Itu saja. (*)

Catatan Henri Nurcahyo DUA pelukis pameran bersama, Roman Chuza atau Roman Oi dan Ridwan SS di Galeri Dewan Kesenian Surabaya. Dibuka Sabtu (9/9) oleh sesepuh Aksera yang masih tersisa, Nuzurlis Koto, dengan titel “Ilustrasi Idiom,” berlangsung hingga 15 September. Tapi saya lebih suka menyebut titel pameran ini dengan istilah “Dialog Hati”.   Kedua pelukis ini…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *