
BARITO YANG MENELAN MATAHARI
Cerpen Henri Nurcahyo
Sungai Barito berubah menjadi lukisan hidup ketika senja tiba. Matahari yang keemasan perlahan merosot ke dalam air, ditelan oleh riak sungai yang berkilau seperti tembaga cair. Langit di barat menyemburkan ledakan warna—jingga, merah, dan ungu—memantul di permukaan air yang bergerak lamban. Menciptakan ilusi seakan-akan sungai itu terbakar. Seperti cermin retak, bergetar oleh hembusan angin senja. Burung-burung Pecuk Ular (Anhinga melanogaster) melintas rendah, melantunkan suara-suara seperti doa yang lupa ditujukan kepada siapa. Sayapnya menyapu udara lembap sebelum menghilang di balik rimbunnya pepohonan bakau.
Burung ini dikenal dengan kemampuannya menyelam untuk menangkap ikan, serta sering terlihat berjemur dengan sayap terbentang setelah berenang. Lehernya panjang seperti ular (sehingga disebut “pecuk ular”) dan paruh tajam untuk menangkap ikan. Menyaksikannya ketika terbang bagaikan sebuah pertunjukan tari di udara, ketika burung ini burung ini berburu ikan dengan menyelam dan menikam mangsanya menggunakan paruh runcing seperti “anak panah” (dart). Karena itu nama lainnya adalah Oriental Darter.
Sementara itu, di antara akar-akar nipah, serangga malam mulai bersahutan. Tonggeret berdengung mendayu, katak purun bersaut-sautan panggil-memanggil, seakan mengabarkan bahwa hari akan segera berganti malam. Udara berbau tanah basah dan lumut, membawa serta bisik-bisik lama sungai. Tentang segala yang pernah ia beri, dan segala yang ia ambil. Sungai Barito sore itu terasa hidup, tapi juga sunyi. Seperti selalu menyimpan cerita dalam alirannya yang tak pernah berhenti.
Setiap sore, saat matahari mulai condong ke barat, seorang lelaki tua mendayung perahu kecilnya ke tepi Barito. Ia memarkirkan perahu di bawah pohon Layung yang besar, batangnya tegak menjulang tinggi, daun-daunnya yang lebar seperti jari-jari bergerak perlahan diterpa angin. Akar pohon itu menyentuh tanah lembap, berpadu dengan rumput Kumpai yang tumbuh di sepanjang tepian. Di sana, di bawah naungan pohon yang seakan menyembunyikan segala luka, ia duduk diam, memandang langit yang perlahan terbenam dalam pelukan air. Setiap senja, ia menyaksikan Barito menelan matahari, persis seperti dulu menelan anak dan istrinya.Tanpa ampun, tanpa tanda. Keindahan Barito saat senja sungguh memilukan; warna emas di permukaan air terasa seperti luka yang mengilap. Air matanya sudah lama kering, habis bersama musim-musim yang berlalu. Yang tersisa hanya rasa sepi, menancap diam-diam seperti duri di dada.
Sejak tragedi yang memilukan puluhan tahun yang lalu, lelaki itu, Jahri namanya, memutuskan tinggal sendiri, di sebuah gubuk di tengah hutan, tidak jauh dari sungai kecil, anak sungai Barito. Dia meninggalkan kampung, meninggalkan kerumunan, tinggal bersama sunyi.
Seperti pagi itu, kabut masih menggantung di atas sungai ketika Jahri membuka pintu gubuknya. Udara lembap menusuk tulang, tapi dia sudah terbiasa. Tangannya yang keriput memegang tongkat kayu. Langkahnya menuju sepetak sawah yang memberinya cukup beras untuk bertahan, meski tak pernah sebanyak dulu, ketika dia masih punya keluarga. Sawah kecil di samping gubuk itu adalah dunia Pak Jahri. Ia menanam padi sendiri, membajak tanah dengan cangkul tua yang gagangnya hampir lapuk. Ketika panen tiba, ia akan menampung butiran gabah-gabah itu dalam karung-karung kecil, secukupnya untuk hidup. Sisanya ia tukar di sebuah warung dengan garam kasar dan sepotong gula merah yang bertahan berminggu-minggu.
Di sela-sela hari, ia menebar jala ke sungai, atau mengais buah hutan: rambai, kapul, kadang durian hutan yang jatuh tepat di dekat gubuknya. Ada kegembiraan sederhana yang tumbuh di sana. Seperti bunga kecil yang keras kepala tumbuh di celah batu.
Jahri duduk di tepian sungai. Matanya menatap air yang mengalir tenang, seolah-olah sungai itu membawa serta segala kenangan yang ingin ia lupakan, tapi juga tak pernah benar-benar pergi. Di tangannya, sebilah pisau tua mengupas buah rambai (Baccaurea motleyana) yang baru dipetik dari hutan. Buah ini memang bisa dimakan langsung setelah dikupas, atau diolah menjadi rujak, sirup, atau manisan. Rasanya asam manis, seperti campuran mangga muda dan langsat, kadang sedikit sepat jika belum matang sempurna. Rasa ini mengingatkan pada istrinya, yang dulu selalu membawa pulang gula merah dari pasar untuk dijadikan selai. Tapi hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, yang tersisa hanyalah sunyi.
Angin berbisik melalui daun-daun purun, mengusik kesendiriannya. Jahri menghela napas, lalu melemparkan biji buah itu ke sungai. “Mungkin suatu hari nanti, biji ini akan tumbuh di muara,” pikirnya. Sebuah harapan kecil yang ia tanam, seperti ia menanam padi di petak sawahnya. Sekalipun hidupnya terasa mandek, alam terus bergerak.
Di kejauhan, suara burung enggang (rangkong) berbunyi, memecah kesunyian. Jahri menoleh, mengikuti arah suara itu. Dulu, anak lelakinya selalu tertawa setiap kali mendengar suara enggang. “Itu suara hutan, Nak,” ia pernah berkata. “Ia memberitahu kita bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri.”
Pak Jahri tidak selalu tinggal di ujung dunia begini. Dulu, ia tinggal di Kampung Purun, di sebuah rumah kayu beratapkan daun rumbia. Istrinya, Sari, adalah penganyam purun terbaik se-kampung. Topi, tikar, tas kecil, semuanya dari rumput sungai yang ia anyam dengan tangan halusnya. Dulu, Sari selalu duduk di beranda gubuk, tangannya lincah menganyam rumput purun menjadi topi sebelum dijual ke Pasar Marabahan. Jahri masih ingat caranya tertawa. Ringan seperti gemericik sungai kecil di musim kemarau.
Mereka punya seorang anak lelaki, Rafiq, baru tiga tahun, suka berlari-lari membawa potongan purun seperti tombak kecil.
Suatu hari, Jahri sedang tidak enak badan. Istrinya yang menggantikan mengantar anyaman-anyaman purun pesanan orang Marabahan. Kota kecamatan seberang sungai. Anak lelakinya yang semata wayang tak bisa lepas dari ibunya. Dia ikut serta. Setelah selesai urusan, perahu mereka berlayar pulang di bawah langit jingga. Tanpa disadari mereka melewati Ulek Marabahan. Ini adalah titik pertemuan sungai Negara dan Barito yang selalu berpusar airnya. Hingga akhirnya, pusaran air itu memutar-mutar perahu. Makin lama putaran itu makin keras. Sari pucat wajahnya. Anak lelakinya langsung menangis ketakutan. Dalam satu hempasan besar, perahu terbalik. Sari memanggil-manggil Rafiq, lengkingan kecil itu, lalu keheningan. Buaya Barito, besar seperti kisah-kisah nenek tua, tiba-tiba muncul dari sungai keruh itu. Ibu dan anak itu diseretnya ke dasar sungai.
Ketika Jahri duduk di tepi sungai kecil. Jemarinya mengelus sebuah topi purun kusam yang dulu dikerjakan istrinya, sekarang warnanya sudah sepucat kabut. Seekor burung pipit jatuh dari sarangnya di ranting yang patah. Jahri bangkit perlahan, mengambilnya. Burung kecil itu lemah, matanya setengah tertutup.
“Aku pun pernah jatuh,” bisik Jahri, senyum tipis berkelebat di bibirnya yang retak.
Ia merawat burung itu. Membuatkan sarang kecil dari serabut kelapa, memberi makan butiran nasi lembut. Setiap pagi, burung itu berkicau kecil, seolah berkata, “Aku masih hidup. Aku belum selesai.”
Dan Pak Jahri, lelaki tua yang pernah kehilangan segalanya, mendengar suara itu dalam hatinya.
Jahri berdiri, kakinya menginjak tanah basah di tepian. Air sungai kecil itu mengalir pelan, membawa biji rambai yang ia lemparkan tadi. Ia tak lagi marah. Mungkin besok, ia akan memancing lagi. Atau mencari madu hutan di celah-celah pohon tengkawang. Hidup terus berjalan.
Seperti biasa, sore itu dia duduk di atas perahu yang ditambatkan di pohon layung. Memandang matahari merah yang hampir terbenam. Dalam kepalanya terbayang, bahwa matahari itu adalah anak dan istrinya, yang ditelan sungai Barito. Ketika sungai Barito mengambil segalanya, Jahri sempat membenci alam ini. Hutan yang diam, sungai yang kejam. Ia menyalahkan pohon-pohon yang tak menahan perahu, langit yang tak menahan hujan.
Kini, setelah bertahun-tahun, ia mulai memahami sesuatu: alam tidak pernah berjanji akan adil. Sungai yang sama yang merenggut keluarganya, memberinya ikan untuk dimakan. Hutan yang diam ketika ia berteriak kesakitan, memberinya buah dan kayu untuk bertahan hidup.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Jahri merasa ia mulai belajar berdamai. (*)
Cerpen Henri Nurcahyo Sungai Barito berubah menjadi lukisan hidup ketika senja tiba. Matahari yang keemasan perlahan merosot ke dalam air, ditelan oleh riak sungai yang berkilau seperti tembaga cair. Langit di barat menyemburkan ledakan warna—jingga, merah, dan ungu—memantul di permukaan air yang bergerak lamban. Menciptakan ilusi seakan-akan sungai itu terbakar. Seperti cermin retak, bergetar oleh hembusan…