Butet Kartaredjasa: Menolak Jadi Penjilat

Catatan Henri Nurcahyo (Bagian 3)

DALAM pusaran politik, putra seniman kondang Bagong Kussudiardjo ini tidak pernah mau hanyut sebagai oportunis.  Ketika pemerintahan berlangsung represif, Butet melihat banyak ide bertaburan. Ketika ada ketidak-adilan, ia merasa harus bersuara. Itu sudah menjadi sikapnya sejak muda. Tidak pernah bisa diam. Sejak awal, ia selalu menyuarakan persoalan sosial-politik sebagai bentuk kontrol sosial, sebuah kewajiban moral yang melekat pada dirinya sebagai warga sekaligus seniman.

Ia memang sempat memuji Jokowi ketika menjabat presiden, tetapi ketika arah kebijakan mulai melenceng dari nuraninya, Butet berubah menjadi salah satu pengritik paling keras. Ia tidak ingin menikmati berada di zona nyaman ketika melihat ada ketidak-benaran. Ia berjuang untuk menegakkan kebenaran yang diyakininya.

Dikatakannya: “Bagaimana Jokowi mempermainkan Mahkamah Konstitusi, itu sebuah kejahatan. Makanya aku berteriak meskipun menjadi orang dekatnya. Tidak peduli. Karena hidup tidak untuk menjadi kaya, tapi untuk bermanfaat. Kalau aku punya niat kaya, oo aku akan menjilat Jokowi. Aku akan membuktikan tesis saya. Daripada aku menjilat namun melanggar prinsip demokrasi, melanggar konstitusi, aku gak mau.”

Pertemuannya terakhir dengan Jokowi tahun 2023 di istana Merdeka. Butet dipanggil terkait dengan persiapan IKN. Ia bicara tentang aspek budaya di IKN. Dikatakannya, sebagai perekat sosial adalah jalan kebudayaan. IKN adalah hutan yang diubah menjadi tempat hunian manusia. Maka harus ada perekat sosialnya, yaitu seni dan budaya. Jokowi setuju dengan pikiran-pikiran Butet. Direncanakan membuat workshop-workshop berbasis budaya. Tapi akhirnya rencana itu tidak berlanjut karena Butet menilai Jokowi sudah tidak bener. Ia kecewa berat karena dulu ia mengidolakan Jokowi karena butuh role model pemimpin. Sayangnya di ujung perjalanan Jokowi mengakali Mahkamah Konstitusi hanya untuk nepotisme. Butet merasa tertipu. Dan terbukti sekarang ini semuanya tertipu. Mas Goen (Goenawan Mohammad) juga tertipu. Orang-orang baik juga tertipu. (sila baca artikel: Ketika Punakawan Menjadi Pinokio: https://brangwetan.com/?p=2340)

Sebagai seniman, ia tidak tinggal di menara gading. Ia jauh lebih memilih menjadi manusia yang utuh sebelum menjadi seniman yang disanjung. Menikah di usia 20 tahun, ia pernah menjalani hidup keras sebagai penjual kain batik di Jakarta—menjajakan dagangan dari kampung ke kampung, naik turun bus dan angkot, hingga hapal denyut nadi dan seluk-beluk kota metropolitan itu. Seolah hidup berkata: sebelum kau naik panggung, kenalilah dulu tanah tempatmu berpijak. Dan Butet, dengan segala liku perjalanan itu, menjadikannya bekal seni sekaligus bekal kemanusiaan.

Butet Kartaredjasa suka disebut dengan initial BK. Kebetulan, ayahnya adalah Bagong Kussudiardjo yang dapat disingkat BK juga. Sementara presiden Indonesia pertama, Ir Sukarno juga sering disebut dengan nama Bung Karno, initialnya juga BK.

Nah, apa pendapat Butet tentang Bung Karno? “Dia proklamator, ujarnya, founding father yang sangat saya hormati. Dan secara historis Pak Bagong juga PNI, segaris dengan Bung Karno. Bagong juga pernah memimpin misi kesenian untuk mendukung diplomasi politik di negara-negara Eropa dan Amerika. Berjuang melalui jalan kesenian untuk kepentingan politik,” tuturnya.

“Saya malah tidak terpikirkan kebetulan ini,” ujarnya. “Moga-moga kesamaan ini membawa berkah, dengan mimpi yang sama tentang Keindonesiaan,” tambahnya.

Dari Aktor ke Manajer

Dari panggung ke ruang rapat, dari lampu sorot ke lampu neon kantor, Butet Kartaredjasa membawa satu keyakinan sederhana yang terdengar subversif di negeri yang gemar membentak: memimpin tidak harus menindas. Di teater, ia belajar sejak awal bahwa sebuah pertunjukan hanya akan hidup jika setiap orang merasa dihargai—bukan ditakuti. Aktor boleh lupa dialog, kru boleh salah pasang lampu, sutradara boleh keliru membaca suasana, tetapi satu hal tak boleh terjadi: kekuasaan dipakai untuk merendahkan. Dari sanalah Butet menurunkan seni memimpin yang jarang diajarkan di sekolah manajemen—kepemimpinan yang mendengar sebelum memerintah, mengarahkan tanpa menghardik, dan membuat orang bekerja bukan karena takut, melainkan karena percaya.

Dibanding banyak seniman pada umumnya, satu hal yang menjadi kelebihannya adalah kemampuan manajemen. Ia tidak hanya mencipta, tetapi juga mengelola. Bersamanya, Teater Gandrik tumbuh bukan sekadar sebagai kelompok seni, tetapi sebagai organisme kreatif yang sehat, yang mampu menghidupi para anggotanya dan tetap konsisten melahirkan karya-karya tajam serta relevan.

Jejaringnya yang luas—menembus berbagai kalangan, dari akademisi hingga aktivis, dari pejabat sampai pedagang kaki lima, dari presiden hingga rakyat jelata—membuka begitu banyak pintu: kesempatan manggung, kolaborasi lintas disiplin, hingga dukungan moral dan material yang menjaga api keseniannya tetap menyala. Ruang pergaulannya unlimited. Ketemu kalangan hukum bisa bicara soal hukum, dengan pebisnis bisa bicara dunia usaha. Butet bisa bergerak di banyak lini.

Tanpa banyak disadari publik, Butet kerap diundang perusahaan-perusahaan besar sebagai narasumber talkshow manajemen. Honorariumnya tinggi, bahasannya gurih. Ia berbicara tentang kepemimpinan, kerja tim, dan manajemen diri—semuanya ditarik dari sumur keaktoran yang ia tekuni puluhan tahun.

Bagi Butet, teater tidak pernah berhenti di panggung. Teater adalah ilmu hidup—laboratorium kepemimpinan yang paling jujur. Sebuah pertunjukan hanya bisa tegak jika timnya solid: ada pemimpin yang mengarahkan tanpa menindas, ada kesetaraan peran, ada kebiasaan berdemokrasi sebelum mengambil keputusan, ada disiplin dan persiapan yang matang. Termasuk di dalamnya: kemampuan berbicara. Sebab cara seseorang berbicara selalu menjadi bayang-bayang pikirannya. Seorang aktor harus artikulatif, jelas, percaya diri—meskipun ilmunya mungkin tak seluas samudra.

Prinsip-prinsip itulah yang ia bawa persis ke dunia manajemen. Menghargai setiap peran sebagaimana menghargai setiap aktor. Menyadari bahwa keberhasilan bukan hanya milik bintang utama, tetapi juga milik kru yang bekerja dalam sunyi. Teater menjadi sumber ilmu yang dapat dipraktikkan di mana saja, termasuk di ruang bisnis yang penuh strategi dan intrik. Semua itu dipertalikan dengan dunianya. Jadi ketika Butet bicara soal keaktoran, ia punya jejak panjang—legacy—sehingga membuat orang percaya.

Menurutnya, seseorang bisa saja brilian secara akademik, Indeks Prestasinya 3,5 s/d 4,  cumlaude, namun tak sanggup mengartikulasikan pikirannya karena gagap atau kaku. Nervous. Ilmu sehebat apa pun jadi percuma jika tak bisa dibagikan. Karena itu Butet mengajak mereka menjadi pribadi yang percaya diri, convidence, mampu menyampaikan gagasan dengan jernih. Sehingga ilmu yang dimilikinya dapat dibagikan kepada sesama manusia. Semua ia ajarkan menggunakan pengetahuan keaktoran yang ia kuasai seperti napasnya sendiri. Dengan itu, ketika seseorang mempresentasikan ide, orang lain dapat memercayainya.

Hasilnya mengejutkan. Para eksekutif yang hadir dalam kelas-kelasnya mulai memahami bahwa teater bukan semata-mata pertunjukan di atas panggung. Mereka mungkin tidak serta-merta menjadi penonton setia pementasan, tetapi mereka menjadi sahabat dialog—berkomunikasi lewat WhatsApp, bertukar gagasan, membuktikan bahwa dunia usaha ternyata bisa bercakap akrab dengan dunia teater. Sebuah jembatan yang dahulu tak pernah mereka bayangkan.

Kemampuan soal manajemen ini, sudah dimiliki Butet sejak lama sekali. Ratna Riatiarno yang selama ini dikenal piawai sebagai manajer pertunjukan Teater Koma, malah memuji dan kagum dengan Butet.  Dikisahkan, tahun 1995, ketika Bagong Kussudiardjo pentas di Art Summit Indonesia. Ratna Riantiarno meminta Butet sebagai koordinator pementasan. Bagong menolak. Namun Ratna menyiasati agar Butet memiliki peran dalam pertunjukan itu. Ternyata, kata Ratna, peran Butet sebagai orang yang mampu mengelola proses produksi dan penyelenggaraan pertunjukan, sangat teruji. “Saya yang juga banyak berkecimpung dalam dunia produksi seni pertunjukan, sangat puas dengan kerja Butet,” tegas Ratna dalam buku “Urip Mung Mampir Ngguyu.”

Bagi saya, tambah Ratna, Butet tak hanya seorang aktor yang baik, tetapi ia memang manajer yang sangat baik. Dia memang suka bercanda, tapi semua itu tak membuatnya jadi asal-asalan kalau mengelola sebuah kegiatan atau pementasan. Semua direncanakannya dengan baik.

“Biarpun (saya) lebih dulu di dunia kesenian, saya banyak belajar dari Butet,” ujar Ratna.

Pengakuan yang sama disampaikan oleh Slamet Rahardjo dalam kesempatan peringatan HUT Butet ke-64 November 2025: “Butet itu usianya lebih muda tapi keahliannya jauh melebihi saya. Harusnya disebut “Romo Butet.” Dia selalu mengajak gembira bersama, bahkan mengajak sehat bersama melalui terapi asap. Saya yang sebelumnya tidak bisa berdiri, sekarang sudah bisa berdiri tanpa dipegangi.”

Sekoci Penyelamat

Dalam dunia yang penuh spekulasi, seorang seniman kerap menjamah apa saja. Hidupnya memang selalu berada di tepi ketidakpastian—tak ada gaji tetap, tak ada jaminan, hanya keberanian untuk terus melangkah. Karena itu Butet menyiapkan sekoci penyelamat andaikata dunia kesenimanannya tak lagi bisa diharapkan buat hidup. Mulai dari dagang batik, buka resto Bu Ageng. Juga memroduksi makanan dalam kaleng, namun dihentikan karena persoalan kerumitan birokrasi perizinan.

Selain itu, nyaris semuanya berhasil. Seolah Butet adalah manusia bertangan emas. “Bukan, itu karena saya melakukan semuanya dengan keuletan yang sungguh-sungguh. Tidak main-main. Banyak sekoci dalam hidup saya.”  

Tak banyak yang tahu bahwa ternyata Butet juga masuk ke ranah yang juga spekulatif: sekuritas dan forex. Ini ranah yang asing dan aneh bagi seniman kebanyakan.

Sekuritas adalah pintu resmi menuju pasar modal. Melalui perusahaan sekuritas, orang bisa membeli saham, obligasi, atau reksa dana dengan aturan yang jelas dan pengawasan negara. Pasarnya naik-turun, tentu, tetapi jalurnya teratur. Ada rambu, ada pagar, ada mekanisme perlindungan. Di sini risiko tetap ada, tapi langkah masih bisa diukur.

Forex lain lagi. Ia bukan perusahaan, melainkan pasar global jual-beli mata uang yang bergerak secepat kedipan dan bisa berubah seruncing badai. Jika sekuritas itu sungai dengan aliran deras tapi terbaca, forex adalah samudra tanpa mercusuar. Banyak yang berhasil, banyak pula yang karam—terutama jika masuk lewat broker tak berizin.

Dan benar saja: di dunia yang baru itu, ia tertipu. Dimangsa oleh orang yang lebih ngerti. Forex membuatnya jatuh. Tapi dari jatuh itu ia belajar banyak—belajar membedakan mana jalur resmi dan mana jalan gelap; mana risiko yang bisa dihitung dan mana yang hanya fatamorgana.

Sejak itu ia kapok dengan forex, namun dunia sekuritas tetap ia jalani. Pelan, konsisten, dan lebih bijak. Sebab hidup seorang seniman memang spekulatif, tapi bukan berarti ia harus terus menari di tengah badai tanpa arah. Kadang yang paling benar adalah memilih perahu yang lebih tenang, agar perjalanan panjang tetap bisa diteruskan.

Dengan tetap menjalankan sekuritas, ini juga menjadi modal pergaulan ketika bertemu dengan pengusaha yang biasanya juga menekuni dunia sekuritas. Dia bisa berdialog. Tidak banyak seniman, bahkan sedikit sekali, seniman yang mampu bicara sekuritas. Butet bisa. (Bersambung)

Catatan Henri Nurcahyo (Bagian 3) DALAM pusaran politik, putra seniman kondang Bagong Kussudiardjo ini tidak pernah mau hanyut sebagai oportunis.  Ketika pemerintahan berlangsung represif, Butet melihat banyak ide bertaburan. Ketika ada ketidak-adilan, ia merasa harus bersuara. Itu sudah menjadi sikapnya sejak muda. Tidak pernah bisa diam. Sejak awal, ia selalu menyuarakan persoalan sosial-politik sebagai bentuk…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • 38,099
  • 13