In Memoriam Nirwan Ahmad Arsuka: Nabi yang Membuka Jendela Semesta
Oleh Syaefudin Simon
Innalillahi wainnailaihi rojiun. Sahabat kita, pegiat literasi untuk wong cilik dan terpencil di Nusantara telah pergi meninggalkan kita semua. Nirwan, pendiri perpustakaan bergerak itu, telah membuka jendela dunia untuk anak-anak dan warga yang hidup di daerah terpencil. Pustaka Bergerak yang telah menyalurkan buku-buku bacaan ke seluruh pelosok Nusantara adalah legasi Nirwan yang akan dikenang sepanjang masa.
Perkenalanku dengan Nirwan
Nirwan Ahmad Arsuka, pernah mengirim tulisan ke redaksi majalah UIumul Qur’an (UQ) yg diterbitkan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, tahun 1990-an. Saat itu aku redaktur UQ, setelah resign dari Badan Tenaga Atom Nasional. Artikel Nirwan membahas sains dan filsafat dalam Islam.
Setelah aku baca, aku putuskan dalam rapat redaksi, tulisan Nirwan lolos, layak muat. Mas Dawam Raharjo sebagai Pemred pun setuju.
Tapi karena antriannya panjang — maklum majalah triwulanan — harus menunggu lama untuk muncul di UQ. Sampai kemudian aku “dipinang” Republika tahun 1993 untuk memilih naskah opini dan menulis tajuk rencana di “koran Islam” itu. Aku lupa, apakah tulisan Nirwan yang bagus tadi jadi dimuat atau tidak oleh redaktur UQ sepeninggalku.
Sejak itulah aku terkesan pada sosok Nirwan, sarjana teknik nuklir UGM yang berpikiran luas dang bernas. Lama aku ingin berkenalan dgn anak muda kreatif ini. Saat itu, aku yakin Nirwan akan menjadi some body. Bukan sebagai ahli nuklir yang berkutat di laboratorium fisika radiasi atau reaktor nuklir, tapi dalam dunia filsafat, puisi, dan literasi.
Betul dugaanku. Di tahun 2000-an dan seterusnya, nama Nirwan Ahmad Arsuka sering muncul di berbagai media massa. Baik sebagai penulis kolom maupun nara sumber. Nirwan pun menjelma menjadi “seleb intelektual” di Indonesia. Publik mengenal Nirwan bukan sebagai fisikawan — tapi budayawan.
Kekagumanku yang lain terhadap Nirwan ketika ia dengan serius membedah hikayat sastra fenomenal dari Bugis, La Galigo. Kitab sastra epik kehidupan ini ditulis dari budaya lisan suku Bugis (konon sudah ada sejak abad ke-13) dan merupakan salah satu karya sastra terbesar di dunia. UNESCO menyebut La Galigo sebagai “Memory of the World.”
Karya sastra ini berupa surek (narasi atau serat sastra puitis) yang terdiri dari 6.000 halaman dan 300.000 baris teks. La Galigo menceritakan sebuah kisah asal-usul manusia dan peradabannya. Seperti epik Adam dan Hawa yang kemudian anak cucunya memenuhi bumi dengan dinamika peradabannya.h
Pada awal kelahiran La Galigo, surek ini dipercaya oleh leluhur suku Bugis sebagai pedoman hidup. Karena itu surek La Galigo dianggap sakral. La Galigo ditulis dalam huruf asli Bugis kuno yang konon, saat ini, hanya dipahami oleh ratusan orang suku Bugis. Nirwan adalah salah satu orang Bugis yang berusaha memahaminya.
Surek La Galigo dibaca dengan irama seperti salawat nabi atau dandang gula karena dipercaya sebagai mantra. Mantra in dibaca untuk tolak bala, selamatan rumah baru, menyambut musim tanam, upacara pernikahan dan lain-lain.
Hikayat La Galigo dimulai dari kisah penciptaan dunia dan turunnya anak sulung raja langit yang diutus ke bumi (di kawasan Sulawesi Selatan, Luwu). Putra Langit tersebut bergelar Batara Guru. Batara Guru lalu digantikan Batara Lattu, putranya. Batara Lattu memiliki dua anak kembar yang dibesarkan secara terpisah. Sawerigading dan We Tenriabeng.
Saat dewasa dua anak kembar yang dibesarkan secara terpisah ini kembali ke Luwu. Ternyata Saweri dan Tenri saling jatuh cinta. Eiit, saudara kembar tak bisa dinikahkan. Jika dipersatukan, Langit akan murka.
Pemuda Sawerigading pun sedih. Ia merantau ke Negeri Cina dengan perahu bersama para pengawal kerajaan.
Dalam perjalanannya menuju Cina , ia menghadapi banyak ujian hidup. Semuanya bisa dihadapi Sawerigading. Sampai di Cina, Sawerigading bertemu wanita cantik. Si cantik yang kemudian jadi istrinya itu bernama We Cudai. Dari perkawinan ini, lahirlah La Galigo. Dari hikayat inilah, lahir kisah-kisah lain — semacam serendipity sureq — yang berkaitan dgn kehidupan dan peradaban manusia. Pinjam narasi Nirwan — hikayat La Galigo adalah percakapan manusia dengan semesta. Percakapan ini muncul dalam narasi. Di suku Bugis narasi ini muncul dalam bentuk surek La Galigo.
Menurut Nirwan, dunia jika dikuak intinya, tiada lain adalah narasi. Segala sistem pengetahuan manusia, entah itu filsafat, kosmologi, atau bahkan sastra, dibangun di atas sebuah narasi. Melalui “lidah” manusia, alam semesta mewujudkan dirinya melalui kisah yang tertuang dalam narasi. Dengan kata lain, ujar Nirwan, sepanjang manusia menciptakan narasi tentang hidupnya, maka alam semesta pun mengungkapkan dirinya di hadapan manusia.
Itulah sebabnya, tukas Nirwan, peradaban yang tidak ditopang dengan narasi lambat laun akan punah. Tidak ada peradaban di mana pun tanpa narasi.
Minat baca Nirwan memang luar biasa — ia melalap sastra, filsafat, sains, kosmologi, sosiologi, politik, dan entah apalagi. Itu tercermin dari tulisan2nya yg tersebar di media cetak dan elektronik. Nirwan pun kemuduan lebih dikenal sebagai budayawan, alih-alih fisikawan nuklir. Nirwan seperti halnya fisikawan cum budayawan Fritzof Capra berusaha mengeksplorasi sains, filsafat, dan sastra hingga bertemu di titik yang sama dalam kosmologi kehidupan. Yaitu: manusia sebagai satu kesatuan antara mikro dan mskrokosmos. Jalaludin Rumi menyebutnya, manusia adalah samudra dalam setitik air.
Betul, manusia yang berasal dari setitik nutfah atau air hina (pinjam Rhoma Irama) kemudian menjelma menjadi penguasa jagat raya. Di era artificial intelligent (AI), era manusia sebagai raja di raja di semesta, niscaya terwujud. Pertanyaannya, apakah sang raja di raja kelak akan memelihara bumi atau menghancurkannya?
Inilah yang saat ini menjadi polemik. Tolong, tanyakan kepada Oppenheimer — bagaimana perasaan hatinya setelah bom atom ciptaannya meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Kenapa Oppenheimer tak mau melanjutkan proyek bom hidrogennya? Tampaknya Oppenheimer takut, manusia akan musnah di muka bumi akibat pengetahuannya. Ia akan menyesal sepanjang hidupnya karena menciptakan senjata pemusnah massal yang mengerikan itu. Oppenheimer tampaknya ogah menjadi manusia seperti kisah Frankenstein. Ilmuwan yang menciptakan senjata pemusnah massal yang akhirnya memusnahkan manusia sendiri.
Kembali ke Nirwan. Beruntung, setelah rajin mengikuti pikiran-pikiran Nirwan yang menembus batas, aku berkenalan secara fisik dengannya di perpustakaan Freedom Institute (FI) milik Rizal Mallarangeng di Jalan Proklamasi, Jakarta Saat itu Nirwan adalah direktur perpus tersebut.
Di era Nirwan inilah FI sangat prestisius. Bukan hanya perpusnya yang ramai, tapi kegiatan diskusinya juga sangat berkualitas. Aku selalu datang di acara2 diskusi filsafat, sastra, dan budaya di FI.
Di FI, inilah aku berkenalan dengan sosok unik, Ryu Hasan, seorang ahli bedah saraf yang “sarap”. Dalam sebuah diskusi yg dikomandani Nirwan, Ryu Hasan yang konon berdarah “habib” ini mempertanyakan, bagaimana Tuhan menghukum manusia yang kode genetik ketuhanan di pita DNA-nya telah dipotong? Bagaimana Tuhan menentukan umur manusia bila kode genetik usianya di benang DNA dipotong?
Ya. Semua kepercayaan dan agama muncul sebagai konsekwensi adanya kode-kode genetik yang ada dalam pita DNA di sel-sel tubuh manusia. Aku tak tahu bagaimana respon Nirwan terhadap perspektif Ryu Hasan. Ini artinya, Nietzsche benar — ketika berbicara bahwa manusia bisa “membunuh” Tuhan. Entahlah! Konsep tentang Tuhan memang absurd. Tidak sederhana seperti yang dipaparkan Abdul Somad dan Aa Gym.
Satu hal, kini Nirwan dengan “ruh” nya yang tanpa jasad akan mengeksplor di kehidupan baru yang oleh manusia beragama disebut alam akhirat atau alam malakut. Nirwan, apakah hukum fisika ada di alam sana? Apakah narasi masih diperlukan untuk berkomunikasi di alam tanpa materi itu? Apakah ada sastra dan filsafat di kehidupan bidadari dan malaikat?
Kau pasti akan menjawabnya kelak ketika bereinkarnasi menjadi “Avatar” di kehidupan lain. Kelak di alam yang lain, aku ingin mempertanyakan hal tersebut padamu.
Nirwan, kau sekarang, pasti memahami kenapa Yesus hidup tanpa istri. Maaf, aku yang sering bertanya, kenapa kau lama menjomblo waktu di FI — kini terpaksa mengakui kehebatanmu. Hidup menjomblo telah membuatmu terbang dengan imajinasi yang liar tentang wanita ideal. Dan ternyata wanita ideal itu hanya ada dalam khayal Khalil Gibran melalui surat-surat cintanya kepada May Ziadah, kekasih imajinatifnya. May Ziadah mungkin adalah “titik nol-nol-nol koma sekian” dari relasi manusia dan semesta seperti dinarasikan hikayat La Galigo. Mungkinkah itu Nirwan?
Melalui tulisan ini, aku ucapkan Selamat Jalan, Nirwan. Dunia literasi kelak akan menyebutmu sebagai nabi. Nabi yang berhasil membangun surga di bumi. Kau telah membuka jendela semesta untuk umat manusia.
(dikutip dari tulisan yang tersebar di beberapa grup WA, foto: suara Jogja)
Oleh Syaefudin Simon Innalillahi wainnailaihi rojiun. Sahabat kita, pegiat literasi untuk wong cilik dan terpencil di Nusantara telah pergi meninggalkan kita semua. Nirwan, pendiri perpustakaan bergerak itu, telah membuka jendela dunia untuk anak-anak dan warga yang hidup di daerah terpencil. Pustaka Bergerak yang telah menyalurkan buku-buku bacaan ke seluruh pelosok Nusantara adalah legasi Nirwan yang…