Kelana Sepi dan Sunyi Yunus Jubair
Catatan Henri Nurcahyo
YUNUS Jubair pameran lukisan di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (2 – 10 September 2023) dibuka oleh budayawan D. Zawawi Imron. Selama ini orang mengenal Yunus sebagai putra pelukis surealis Amang Rahman Jubair (alm). Gaya lukisannya pun mirip-mirip. Ini memang tak terhindarkan, sebagaimana gaya lukisan Kartika yang terpengaruh Affandi, ayahnya. Tapi Kartika sudah berubah. Demikian pula Yunus. Dia sudah menemukan dirinya.
Dari judul pamerannya saja sudah bisa diduga apa yang hendak disampaikannya melalui pameran ini, yaitu “Mantra-mantra Kontemplasi.” Kata mantra itu sendiri bermakna semacam doa yang diulang-ulang dengan pemusatan pikiran menuju konsentrasi yang tinggi untuk mencapai kondisi spiritual yang khusuk. Sedangkan kata “kontemplasi” bisa jadi bermakna semacam meditasi atau refleksi mendalam pencarian makna, introspeksi, atau pengamatan yang mendalam terhadap aspek-aspek kehidupan atau fenomena.
Karya-karya Yunus dipajang di dua ruangan. Satu ruangan berisi karya-karya yang surrealistis dengan media cat minyak. Sepintas lalu memang masih terlacak jejak-jejak karya Amang Rahman di lukisan-lukisan ini meski sebetulnya jauh berbeda. Ada nuansa spiritualitas yang kental. Hanya Yunus tidak sesederhana ayahnya dalam mengekspresikan bentuk-bentuk dan warna. Kalau Amang lebih mengedepankan warna-warna primer dengan bentuk-bentuk yang minimalis maka Yunus lebih kompleks. Toh orang sulit melepaskan bayang-bayang Amang. Apa boleh buat.
Sedangkan di ruangan satunya khusus karya-karya yang dibuat dengan media bolpoin. Nah inilah yang sangat berbeda dengan ayahnya. Yunus melakukan coretan-coretan berulang-ulang hingga ratusan kali (atau bahkan ribuan) dalam satu bidang tanpa harus membentuk gambar tertentu. Dia lakukan saja secara intuitif dan meditatif, tak ubahnya sedang mendaraskan zikir alias mantra. Meski hasil akhirnya tidak pernah direncanakan namun secara keseluruhan muncul kesan surrealistis yang ngelangut.
Bolpoin pada umumnya digunakan sebagai alat untuk menulis. Tetapi ketika kemudian dieksplorasi sebagai alat melukis dengan memaksimalkan membuat ribuan garis maka menimbulkan efek tertentu. Apalagi tidak semuanya hitam melainkan menggunakan warna-warna sehingga memunculkan efek gradasi yang menarik.
Media bolpoin ini memang bukan barang baru dalam dunia seni rupa. Hampir tujuh tahun yang lalu (Desember 2016) digelar pameran lukisan di Visma Gallery Surabaya menampilkan 16 pelukis yang khusus menggunakan media bolpoin dalam karyanya. Pameran bertajuk “Regh Uregh” tersebut diinisiasi Irawan Hadi Kusumo, Teja P. Lesmana, dan kurator pameran Hendro Wiyanto yang mencermati sedemikian banyak yang menggunakan bolpoin sebagai media dalam karyanya.
Meski demikian, media bolpoin ini memang masih langka. Dibutuhkan keberanian tersendiri untuk mengkhususkan diri melukis dengan media bolpoin. Apalagi, kalau kemudian berkeinginan untuk terjual (memang manusiawi sih). Apa yang dilakukan Yunus ini tak ubahnya sedang berkelana di jalanan sepi (tak ada siapa-siapa) dan juga sunyi (tak ada suara apa-apa). Apalagi nuansanya adalah kontemplasi. Sendiri, sepi, dan sunyi, adalah sebuah kondisi yang memungkinkan untuk menghantar ke alam permenungan menuju alam transcendental. Karena itu menikmati lukisan-lukisan Yunus ibarat berkelana ke alam bawah sadar dalam diri kita sendiri.
Menurut penuturannya, Yunus melakukan prinsip “Tiga Non” dari pelukis legendaris Nashar, yaitu Non Tematis, Non Teknik, dan Non Konsep. Pertanyaannya, apakah memang sepenuhnya Yunus melakukan hal itu? Mungkin tidak usah membahasnya. Hanya saja, apa yang ingin dikatakan Yunus adalah bahwa dia melukis itu mengalir saja. Mencoret-coret dengan bolpoin tanpa berniat melukis apa. Mengganti warna satu dengan lainnya. Mengulang-ulang garis yang sama dengan irama yang konstan tak ubahnya sedang berzikir. Apa jadinya? Tidak penting lagi.
Yunus sedang menghadirkan kesunyian. Mengutip apa yang disampaikan Zawawi Imron dalam sambutan pembukaannya, bahwa “suara-suara sunyi itu penting, bukan yang teriak-teriak. Suara batin nenek moyang, adalah suara-suara yang sunyi. Karena seni berbicara tentang suara terdalam dari manusia. Yunus bicara soal suara batin, bukan masalah sosial. Kalau hati bersih, tidak menyakiti hati orang lain maka kehidupan akan tenteram.”
Lantas apa asyiknya melukis dengan bolpoin? Yunus lantas mengajak anak-anak muda untuk melukis bersama di sebuah kertas lebar dalam sebuah kesempatan pada akhir pameran. Mereka asyik mencoret-coretkan bolpoinnya dengan gambar semaunya. Hanya saja, nampaknya mereka belum terbiasa melukis tanpa bentuk. Yang kemudian terjadi adalah bentuk-bentuk figuratif seperti wajah dan semacamnya.
Yang kemudian perlu dipikirkan adalah, bagaimana mengemas karya-karya itu dengan lapisan fiksatif agar tak mudah luntur, dibingkai yang pantas, juga dilapisi kaca transparan yang tidak memantulkan cahaya. Karena kesederhanaan media bolpoin di atas kertas itu perlu dikondisikan sedemikian rupa agar tidak menjadi barang yang sepele. Bahwa sebuah kesederhanaan itu juga dapat menjadi berharga dan terhormat, bahkan berwibawa. (*)
Catatan Henri Nurcahyo YUNUS Jubair pameran lukisan di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (2 – 10 September 2023) dibuka oleh budayawan D. Zawawi Imron. Selama ini orang mengenal Yunus sebagai putra pelukis surealis Amang Rahman Jubair (alm). Gaya lukisannya pun mirip-mirip. Ini memang tak terhindarkan, sebagaimana gaya lukisan Kartika yang terpengaruh Affandi, ayahnya.…