Ruang Teduh Bulan Desember: Kisah Pameran Harjaba

Catatan Henri Nurcahyo

PAMERAN Lukisan Hari Jadi Banyuwangi  (Harjaba) digelar lagi. Kali ini temanya: Lereme Roso, sebuah pilihan yang secara singkat dapat dimaknai “keteduhan hati”. Ini memang agenda tahunan, yang kalau tak salah diadakan sejak tahun 1991 (baca: 34 tahun yang lalu). Pada mulanya memang tidak selalu terjadi setiap tahun, namun belakangan ini nampaknya rutin dilangsungkan setiap tahun.

Adapun pilihan waktunya, sebagaimana namanya, disesuaikan Hari Jadi Banyuwangi yang jatuh pada tanggal 18 Desember setiap tahun, berdasarkan peristiwa sejarah perlawanan rakyat Blambangan melawan VOC pada 18 Desember 1771 yang dikenal dengan nama Perang Puputan Bayu.  Boleh dikatakan bahwa pameran ini merupakan ajang silaturrahmi pelukis dan perupa Banyuwangi. Baik yang masih berdiam di Kota Gandrung ini, atau yang sudah tinggal di kota lain. Bahkan dalam beberapa kesempatan juga melibatkan perupa-perupa nasional sehingga menambah semarak pameran.

Digelar pada momentum Hari Jadi Banyuwangi, pameran ini menjadi jembatan antara memori Perang Puputan Bayu yang terjadi 254 tahun  yang lalu dengan kehidupan hari ini. Para perupa yang tampil seolah ditantang untuk menghadirkan ada gema keberanian, keteguhan, dan daya juang. Bukan sekadar lukisan sebagai elemen dekorasi dinding belaka. Dalam hal ini, seni  bekerja sebagai penyimpan ingatan kolektif, lebih halus dari prasasti, tetapi lebih dalam dari catatan sejarah.

Tidak banyak kota besar yang punya pameran ikonik tahunan. Bahkan bisa dikatakan langka. Namun Pameran Seni Rupa Harjaba adalah versi Banyuwangi, wadah untuk menampilkan karakter estetik setempat: warna tanah Blambangan, mitologi Using, lanskap Pegunungan Ijen, ritme Gandrung, aura pantai, dan denyut pasar rakyat. Dari masa ke masa, pameran ini merekam perjalanan seni rupa Banyuwangi, layaknya album keluarga raksasa.

Pameran ini sesungguhnya jauh lebih luas daripada sekadar perayaan tahunan. Ia adalah semacam jantung estetika yang berdetak setiap Desember, mengalirkan ingatan, harapan, dan jalinan batin para perupa. Tema seperti “Lereme Roso” menunjukkan bahwa Harjaba bukan sekadar memamerkan karya, tetapi mengajak masyarakat menengok ke dalam, meredakan rasa, menjernihkan jiwa. Seni dijadikan medium untuk membersihkan kabut batin yang kadang menutup pandangan hidup. Pameran ini seolah berkata: setiap Desember, mari kita hening sejenak.

Banyak orang yang mungkin tidak pernah masuk galeri atau museum, tetapi selalu menyempatkan datang ke Pameran Seni Rupa  Harjaba tiap tahun. Pameran ini membuka pintu bagi publik, membuat seni terasa dekat. Seperti tetangga yang baik hati.

Inilah panggung reuni batin para seniman Banyuwangi: yang tinggal, yang merantau, bahkan yang sudah menjadi nama besar di tingkat nasional. Pertukaran ide, pertemuan kembali, saling menyapa lewat warna dan goresan; semua itu menjadikan Harjaba semacam ritus kebudayaan, bukan sekadar kegiatan seni.

Dalam pameran tahunan inilah kita dapat menyaksikan denyut pertumbuhan seni rupa Banyuwangi: apakah para perupanya masih bertahan pada pola dan bahasa visual yang “itu-itu saja”, mengulang tema-tema lama yang telah akrab. Atau justru menampakkan keberanian baru: eksperimen bentuk, pengayaan warna, pendalaman gagasan, serta lompatan-lompatan estetika yang menunjukkan bahwa kreativitas di kota ini terus bergerak. Pameran Seni Rupa Harjaba menjadi semacam barometer yang menyingkap arah angin: apakah seni rupa Banyuwangi tengah merawat tradisinya, sedang menempuh jalur pembaruan, atau mencoba menjahit keduanya dalam satu tarikan napas yang sama.

Ruang Teduh

Bagaimanapun Pameran Seni Rupa Harjaba adalah perayaan rasa, penjaga ingatan, titian persaudaraan, dan cermin jiwa Banyuwangi. Ia tidak hanya menampilkan lukisan-lukisan; ia memanggil orang untuk sejenak berhenti, menarik napas, dan merasakan bahwa di balik hiruk-pikuk hidup masih ada ruang teduh—Lereme Roso—yang bisa kita kunjungi.

Lereme Roso dalam bahasa Jawa adalah ungkapan yang bersifat puitis, jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari, tetapi maknanya dapat dipahami dari dua kata penyusunnya: Lerem = teduh, reda, mereda, tenang kembali. Roso (harusnya ditulis: rasa) adalah perasaan, batin, inti pengalaman jiwa. Lereme Roso berarti keadaan ketika perasaan kembali teduh, saat gejolak batin yang sempat mengguncang akhirnya menemukan dermaga ketenangan. Seperti angin sore yang mengelus permukaan sungai hingga riaknya berhenti berlari.

Menyebut Pameran Seni Rupa Harjaba tentu tak bisa melepaskan peran S. Yadi K, pelukis ternama yang meninggal dunia 12 September 2024. (Al Fatihah buat almarhum). Meski bukan tercatat sebagai pelopor namun gagasan S. Yadi K kala itu didukung oleh para pelukis senior Banyuwangi, seperti Bani Amora, Mozes Misdi, Huang Fong, Awiki, dll. Salah satu perupa “generasi nasional” yang berasal dari Banyuwangi ini menjadi semacam mentor simbolis: ia mewakili akar tradisi seni, sekaligus membuka ruang bagi perupa muda dari Banyuwangi untuk berkembang. Ia tidak hanya sebagai peserta, tetapi juga pemimpin inisiatif dalam pameran-pameran seni rupa Harjaba. Dalam beberapa kali kesempatan S. Yadi K malah menjadi ketua panitianya. Bahkan sempat memboyong para perupa Banyuwangi pameran di Surabaya dengan tagline: Salam dari Tanah Using.

Ketika Banyuwangi dipimpin oleh Azwar Anas, kalangan perupa dan budayawan Banyuwangi mencoba mengetuk hati bupati yang energik ini agar menjadikan Pameran Seni Rupa Harjaba menjadi agenda tahunan. Bahkan, mengutip situs Pemkab Banyuwangi tahun 2012, “Kalau bisa, pameran jangan hanya sekali atau di luar daerah. Tapi diorganisir bisa sebulan sekali digelar pameran di tingkat kecamatan-kecamatan biar masyarakat tahu tentang seni lukis,” kata Bupati.

Bukan hanya seniman, S. Yadi K adalah juga fasilitator institusional: pemikir, mediator, dan penjaga tradisi sekaligus agen pembaharuan. Dengan memimpin pameran sekaligus menyediakan ruang berkesenian, dia membantu mengakar dan melanggengkan Pameran Seni Rupa Harjaba sebagai acara budaya penting di Banyuwangi. Keberadaannya meneguhkan hubungan antara warisan seni lokal (perupa Banyuwangi) dan pengakuan nasional/internasional, yang pada gilirannya menaikkan nilai strategis Pameran Seni Rupa Harjaba dalam lanskap seni rupa Jawa Timur.

Pada akhirnya, Pameran Seni Rupa Harjaba bukan sekadar ruang untuk memamerkan karya, melainkan cermin tempat Banyuwangi menatap dirinya sendiri. Setiap goresan kuas para perupa seolah menjadi bisikan halus yang mengajak kita mengingat siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana budaya ini ingin dibawa. Di tengah era yang kian riuh oleh layar dan arus informasi, Pameran Seni Rupa Harjaba berdiri sebagai ruang hening yang menjaga wangi masa lalu sekaligus menyalakan lilin kecil harapan masa depan.

Pameran Seni Rupa Harjaba juga menjadi cara Banyuwangi merayakan keberaniannya. Keberanian mempertahankan identitas, merawat tradisi, dan memberi tempat terhormat bagi seni rupa di tengah denyut pembangunan. Bahwa kota ini tidak sekadar tumbuh menjadi destinasi wisata, tetapi juga menjadi taman subur bagi kreativitas warganya. Karya-karya di dalamnya adalah doa yang dilukiskan, kegelisahan yang disublimkan, sekaligus syukur yang dirayakan bersama.

Dan ketika kita berbicara tentang keteduhan hati—Lereme Roso—pameran ini seolah merangkum makna itu dalam bentuk yang paling indah: mempertemukan manusia dengan batinnya sendiri. Publik datang, melihat, dan pulang membawa sesuatu yang tak selalu bisa disebutkan, tetapi mampu dirasakan: semacam kelegaan, kejernihan, mungkin juga keberanian untuk memulai langkah baru. Seni, dalam segala kebijaksanaannya, memang kerap bekerja seperti itu.

Maka selama Pameran Seni Rupa Harjaba masih digelar setiap Desember, kita tahu bahwa ada denyut budaya yang terus bergetar di Banyuwangi. Ada para perupa yang setia menjaga api kecil estetika. Ada ruang yang selalu terbuka bagi siapa saja untuk kembali, menengok sebentar ke dalam diri, lalu pulang dengan hati yang sedikit lebih teduh. Di sanalah makna terdalam pameran ini bersemayam, sebagai rumah rasa yang menyambut siapa pun yang mengetuk.

  • Penulis adalah Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan
  • Artikel ini sudah dimuat di katalog pameran lukisan Harjaba: Lereme Roso

Catatan Henri Nurcahyo PAMERAN Lukisan Hari Jadi Banyuwangi  (Harjaba) digelar lagi. Kali ini temanya: Lereme Roso, sebuah pilihan yang secara singkat dapat dimaknai “keteduhan hati”. Ini memang agenda tahunan, yang kalau tak salah diadakan sejak tahun 1991 (baca: 34 tahun yang lalu). Pada mulanya memang tidak selalu terjadi setiap tahun, namun belakangan ini nampaknya rutin…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • 38,034
  • 4