MISTERI SUSTER ANGGRAINI (01)
Novel Cerita Panji Henri Nurcahyo
Bagian 01: Rumah Sakit Jenggala
. . . . . . Anggraini kadang gelisah.
Mengapa Tuhan memberi dia kecantikan yang memesona?
Mengapa dia tidak menjadi perempuan yang biasa-biasa saja?
Ibunya pernah berkata:
“Hati-hati dengan kecantikanmu nDhuk. Jangan sampai kamu sombong dan tinggi hati.
Jangan merendahkan orang lain yang tidak mendapat anugerah seperti dirimu.
Apalagi menggunakan kecantikan sebagai senjata untuk menaklukkan orang lain
dan berbuat tidak terpuji.
Naudzubillah min dzalik.” . . . . . .
BANGUNAN kuna bergaya Indisch itu terlihat anggun dan damai. Dominasi warna putih di dindingnya langsung mengingatkan bangunan sebuah rumah sakit. Apalagi terpampang tulisan besar di bagian depannya: “Rumah Sakit Jenggala.”
Berbagai tanaman hias terdapat di taman di halaman depan. Ada beberapa Cemara Udang yang dipangkas rapi. Juga sejumlah pohon Serut yang biasa untuk bonsai. Jenis tanaman lainnya tidak terlalu banyak. Tetapi di sela-selanya berhiaskan rumput tebal bagaikan hamparan permadani yang empuk. Deretan tanaman berduri, euphorbia, berbunga warna merah muda digunakan sebagai pembatas taman dengan jalanan. Sementara di tepian halaman tegak berdiri beberapa pohon besar yang menjadikan suasana sejuk dan menenangkan.
Rumah sakit ini memang bangunan kuna, dibangun sejak zaman penjajahan Belanda dan sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Sebuah yayasan yang mengelola rumah sakit ini nampaknya memiliki komitmen tinggi untuk tetap melestarikan bentuk fisik bangunan utama. Kalau toh ada beberapa tambahan bangunan baru, ha-nya sedikit dan tidak terlalu menonjol. Perubahan yang terjadi lebih banyak di bagian interior yang terkait dengan kebutuhan perkembangan dunia kedokteran.
Selain fisik bangunan yang artistik memang rumah sakit ini memiliki sejarah yang menarik. Bukan hanya dimanfaatkan sebagai tempat pengobatan bagi orang sakit, namun ketika masa revolusi fisik bangunan ini pernah dipergunakan sebagai kamp interniran anak-anak dan kaum wanita, pernah menjadi tempat pengungsian, bahkan juga sebagai bengkel untuk memperbaiki dan menyimpan senjata berat. Di halaman rumah sakit inilah pernah pecah pertempuran hebat antara tentara Sekutu dengan para pemuda pejuang kemerdekaan. Untuk mengenang peristiwa historis itulah maka di halaman rumah sakit ini dibangun sebuah prasasti yang menceritakan pertempuran bersejarah tersebut.
Karena itulah berada di lingkungan rumah sakit ini seolah terlempar ke lorong waktu puluhan tahun yang lalu. Nyaris tidak ada yang berubah. Berjalan melewati gerbang masuk, melintasi lobi yang tidak terlalu luas, langsung terhampar taman luas yang memanjang ke arah dalam dengan aneka tanaman yang indah. Dibandingkan dengan taman di halaman depan maka taman di halaman tengah ini malah lebih asri. Apalagi ada beberapa kolam yang tersebar di beberapa bagian. Deretan pohon Palem Raja tumbuh berbaris berpasangan Sementara di kanan kiri taman ini terdapat deretan kamar-kamar pasien yang otomatis meng-hadap ke arah taman.
Rasanya tidak salah penyanyi troubadour Leo Kristi mengabadikan kesannya terhadap rumah sakit ini dalam sebuah lagunya.
Lilin putih di tepi taman biru
Gedung putih luar tenang damai
Serasa tak lagi ada kotor dan perang
Karena saat tlah dekat jalan Tuhan
Solus Aegroti Suprema Lex Est
Di lorong pedestrian tunduk melangkah
Lorong pedestrian basah air mata
Ya, ya, Solus Aegroti Suprema Lex Est. Kalimat berbahasa Latin itu bermakna: “Menyelamatkan penderita adalah Kewajiban Utama.” Itulah yang menjadi motto rumah sakit ini, sebagaimana sejarahnya bahwa organisasi yang mendirikannya memiliki misi memberikan bantuan pelayanan kesehatan penduduk dengan mendirikan tempat pelayanan kesehatan lengkap dengan fasilitas dan sarana yang diperlukan. Pelayanan kesehatan tersebut ditujukan bagi orang sakit, tanpa membedakan tingkat sosial, agama, ras dan kebangsaan.
Rumah Sakit Jenggala memang rumah sakit swasta yang dikelola oleh sebuah yayasan. Pimpinan Yayasan itu bernama Amiluhur Setiabudi, seorang dokter yang pernah berdinas di kemiliteran. Meski secara formal Dokter Luhur, panggilannya, bukan anggota aktif tentara namun hubungannya dengan para petinggi militer sangat akrab. Apalagi dia dianggap berjasa banyak menolong para tentara itu dalam hal pengobatan. Tentu saja jasa-jasanya tidak akan terlupakan begitu saja ketika zaman sudah normal. Itulah sebabnya ketika terjadi peralihan status kepemilikan rumah sakit tersebut maka Dokter Luhur yang dipercaya mendirikan yayasan dan sekaligus mengetuainya. Dalam prakteknya dialah sebetulnya pemilik rumah sakit itu.
Dokter Luhur memiliki isteri cantik yang gemar bersolek. Apalagi dia menekuni dunia kecantikan melalui salon kecantikan yang dikelola secara profesional. Soal rias merias dan busana pengantin serta wedding organizer, itulah yang menjadi bidangnya. Nampaknya bakat dan keahliannya ini menurun ke puteri bungsunya, yang senang dengan dunia modeling, jadi foto model, sesekali ikut diajak acara televisi nasional yang syuting di kotanya, dan berkali-kali tampil dalam acara peragaan busana. Sepertinya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Hanya saja, meskipun sudah sibuk dengan urusan salon kecantikan, isteri Dokter Luhur ini masih saja ikut-ikutan ribet urusan rumah sakit sehingga kalangan tenaga medis suka gerah menghadapi sikapnya yang sok mau tahu.
Berbeda dengan putera sulungnya, lelaki yang gemar belajar sebagaimana ayahnya. Dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran dan langsung melanjutkan pendidikan spesialis bidang Hospital Management di perguruan tinggi ternama di luar negeri. Namanya Panji Kertapati. Dialah yang dikader ayahnya untuk memimpin rumah sakit ini. Sementara kepala rumah sakit yang ada sekarang dirasa sudah terlalu lama memimpin rumah sakit Jenggala ini. Harus ada penyegaran. Dan tenaga segar itu adalah Dokter Panji Kertapati, lelaki rupawan berwajah manis yang perawakannya lebih pantas menjadi aktor drama Korea.
Pada suatu hari, Dokter Panji diperkenalkan kepada kepala rumah sakit, juga kepada para dokter dan perawat serta semua tenaga medis dalam sebuah acara ramah tamah di ruang pertemuan. Dokter Luhur menyampaikan biodata sosok Panji yang kebetulan memang anak kandungnya, dilanjutkan dengan kepala rumah sakit yang menceritakan kondisi rumah sakit dan keberadaan para tenaga medis di rumah sakit itu.
Sementara Dokter Panji hanya sedikit bicara. Apa yang dikatakannya adalah hal-hal normatif sebagaimana orang baru yang meminta agar kehadirannya dapat membawa kebaikan bagi semua. Dia lebih banyak mengumbar senyum yang sanggup merontokkan jantung para suster. Wajahnya tak jauh beda dengan ayahnya. Kulitnya bersih, rambut tersisir rapi dengan belahan ke kiri, tubuhnya atletis. Dan parasnya itu lho, bersih tanpa kumis, seperti memancarkan sinar teduh yang tak kenal padam. Dokter Panji seakan lelaki yang terbentuk bak pualam.
Acara perkenalan berlangsung tidak terlalu lama. Meski sudah disediakan makanan secara prasmanan namun kebanyakan malah pingin foto-foto bersama dokter ganteng itu. Pada mulanya foto bersama yang diatur rapi namun setelah itu justru banyak yang pingin foto terbatas beberapa orang saja. Mereka berebut wefie, katanya. Seorang suster nekat pingin foto hanya berdua dengan Dokter Panji, namun beberapa temannya langsung bergabung sehingga dia merasa terusik. Suasana menjadi heboh. Dokter Luhur sampai berkata setengah berteriak:
“Ayo, ayo…. Ini makannya sudah disiapkan. Foto-fotonya nanti lagi.”
Dokter Brajanata, Kepala Rumah Sakit itu, hanya tersenyum simpul. Dia paham betul karakter pegawainya. Khususnya para suster yang seolah-olah tak pernah lihat lelaki tampan. Entah kenapa. Apakah mereka memang penggemar Drakor semua? Sekilas Dokter Panji memang tak ubahnya seperti aktor Drakor. Pantas saja.
“Ini kesempatan Dok, kalau sudah jadi kepala rumah sakit mana bisa foto-foto….” Celetuk seorang suster.
“Lha saya kepala rumah sakit, ayo foto sama saya,” sahut Dokter Brajanata.
“Huuu….” Beberapa suster bersuara serentak.
“Ayo, ayo, kita makan dulu saja,” ujar Dokter Panji berusaha menghentikan antusiasme para penggemar dadakan itu. Dia lantas menuju meja makan, mengambil makanan seperlunya, lantas duduk bergabung dengan Dokter Luhur, Dokter Brajanata dan beberapa dokter kepala bagian di sebuah meja bundar.
Beberapa suster malah sibuk memamerkan hasil fotonya bersama Dokter Panji kepada sesama temannya. Ada yang bangga bisa berdiri berdempetan dengan lelaki tampan itu. Ada lagi yang memamerkan fotonya hanya berdua dengan Dokter Panji.
“Ihh kamu curang, di situ ada aku juga. Kamu kroping yaa….,” temannya langsung komplain.
Tak ada jawaban. Hanya tertawa ngakak saja.
Begitulah kehadiran Dokter Panji menjadi bahan gunjingan baru di kalangan tenaga medis Rumah Sakit Jenggala. Entah mengapa, rata-rata suster suka ngerumpi yang kali ini topiknya, siapa lagi kalau bukan Dokter Panji yang ganteng.
- Bersambung
CATATAN:
- Foto hanya ilustrasi saja, tidak ada hubungannya dengan cerita ini (source: https://www.google.com/search?q=rumah+sakit+darmo&rlz=1C1CHBF_enID1014ID1014&sxsrf=APwXEddrx2nLJKvfZyNCCaft6vqO6Mb_fw:1680757954975&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiP—mv5T-AhX61jgGHR71Bp8Q_AUoAnoECAEQBA&biw=1920&bih=969&dpr=1#imgrc=lHQKiGROKxfQpM)
- Jika berminat memiliki langsung novelnya dalam bentuk cetak, silakan kontak saya ya: 0812 3100 832
Postingan seri sebelumnya sila klik:
Novel Cerita Panji Henri Nurcahyo Bagian 01: Rumah Sakit Jenggala . . . . . . Anggraini kadang gelisah. Mengapa Tuhan memberi dia kecantikan yang memesona? Mengapa dia tidak menjadi perempuan yang biasa-biasa saja? Ibunya pernah berkata: “Hati-hati dengan kecantikanmu nDhuk. Jangan sampai kamu sombong dan tinggi hati. Jangan merendahkan orang lain yang tidak mendapat…