MISTERI SUSTER ANGGRAINI (02)

Bagian 02

Sepasang Mata Bola

PAGI itu Dokter Panji diantar Dokter Brajanata berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Kepala rumah sakit menceritakan sekilas fasilitas apa saja yang dimiliki, apa yang seharusnya butuh perbaikan dan penggantian alat yang lebih modern. Tidak lupa juga diperkenalkan dengan kepala-kepala bagian dan kepala laboratorium. Meski sekilas mereka sudah bertemu dalam acara ramah tamah kemarin.

Kali ini para suster tidak seberani kemarin untuk mengajak foto-foto. Sepertinya mereka sadar betul bahwa lelaki yang jadi perhatian ini adalah calon kepala rumah sakit yang akan menggantikan Dokter Brajanata yang sudah terlalu lama menjabat. Kalau toh ada yang nekat, paling-paling hanya menyapa basa-basi.

“Selamat Pagi Dokter. Semoga kerasan di rumah sakit ini.”

“Nama kamu siapa?” tanya Dokter Panji.

“Saya Suster Lilis Dok.”

Tanya jawab biasa ini sudah membuat kebanggaan Suster Lilis mengembang. Ada kepuasan tersendiri yang pantas dipamerkan ke teman-temannya. Bahwa Dokter Panji menanyakan namanya.

“Halah, paling nanti dia juga lupa,” sahut temannya kethus.

“Uhh sirik….” Balas Lilis.

Ruangan demi ruangan dimasuki Dokter Panji. Sebagai seorang dokter sebetulnya dia sama sekali tidak asing dengan semua peralatan yang ditunjukkan padanya. Namun Dokter Panji ingin merasakan aura rumah sakit yang bakal dipimpinnya itu. Dia memasuki semua ruangan tanpa sisa, termasuk ruang jenazah. Dia ingin mendapatkan semacam chemistry sebelum dia bertugas nantinya. Dia juga ingin akrab dengan semua tenaga medis di rumah sakit ini. Mulai dari kepalanya, semua dokternya, para perawat dan juga tenaga kebersihan termasuk tenaga sekuriti dan penjaga parkir sekalipun.

Dokter Panji ingin memanfaatkan kesempatan emasnya ini untuk bertatap muka dengan semuanya, tanpa kecuali, sebab dia sadar kalau sudah bertugas nanti pasti tidak ada waktu beramah tamah dengan mereka satu persatu. Meskipun pada dasarnya dia lelaki yang ramah terhadap semua orang dari berbagai kalangan. Tidak memandang status sosialnya. Setidaknya, itulah yang diajarkan di kampusnya di luar negeri saat menempuh pendidikan manajemen rumah sakit. Bahwasanya rumah sakit bukan sebuah institusi yang kaku, dingin, tidak ramah terhadap pasien dan pengunjung. Dan para pegawainya bekerja seperti robot. Dokter Panji mendapatkan pelajaran selama kuliah di luar negeri, bahwa jadikan rumah sakit seperti sebuah hotel dalam hal memberikan pelayanan kepada pasiennya. Lihatlah bagaimana para pegawai hotel itu, mulai dari petugas parkir, bell boy, petugas resepsionis, dan mereka yang melayani makanan di restoran, semuanya ber-sikap ramah terhadap pengunjung.

Barangkali itu sebabnya rumah sakit dalam bahasa Inggris disebut Hospital, yang berasal dari kata Hospitality, artinya keramahan. Jadi keramahan itulah yang seharusnya didapatkan ketika orang berada di rumah sakit. Entah me-ngapa Hospital dalam bahasa Indonesia menjadi “rumah sakit.” Mungkin menyerap dari bahasa Belanda, ziekenhuis. Ziek itu berarti sakit, sama dengan sick dalam bahasa Inggris. Huis itu rumah, house

“Selamat pagi Bapak,” itu sapaan standar petugas kebersihan hotel ketika berpapasan dengan tamu di lorong. Dokter Panji ingin mengetrapkan itu semua. Keramahan dan sopan santun adalah kunci penting pengelolaan rumah sakit Jenggala ini.

Sampai suatu ketika Dokter Panji diajak memasuki sebuah ruangan yang paling ujung. Dokter Brajanata seperti biasa menceritakan ruangan itu, apa saja fasilitasnya, siapa yang mengepalainya, dan juga siapa saja tenaga medis yang bertugas di situ. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung mendekat ke Dokter Panji. Sepertinya mereka ingin setor muka agar dikenal oleh calon kepala rumah sakit ini.

Tetapi ada seorang suster yang berdiri agak jauh. Dia seperti tidak berminat ikut bergerombol dekat Dokter Panji sebagaimana lainnya. Dari jarak yang tidak dekat itulah matanya mengawasi kerumunan tersebut. Matanya, ya matanya, sepasang mata bola yang langsung bertabrakan dengan pandangan Dokter Panji. Dalam waktu beberapa detik mereka saling bertatapan. Dokter Brajanata yang tahu ke arah mana tatapan Dokter Panji langsung merespon.

“Ayo Suster Ani, ke sini. Kenalkan Dokter Panji. Ngapain berdiri di situ.”

Perempuan yang dipanggil Suster Ani itu melangkah ragu ke arah Dokter Panji.

“Ini Suster Ani Dok, Anggraini nama lengkapnya,” tambah Dokter Brajanata.

Entah mengapa Dokter Panji spontan mengulurkan tangan lebih dulu, disambut dengan tangan Anggraini dengan muka menunduk. Dia tak berani beradu tatap dengan dokter berwajah cerah ini. Justru Dokter Panji yang merasa salah tingkah. Dokter Brajanata sampai berdehem ketika sepasang tangan itu tak juga segera melepaskan diri.

“Ayo Dokter, kita ke ruang lain,” kata Dokter Panji mengalihkan suasana. Terus terang, sejenak dia gugup.

“Sudah semuanya Dok. Sekarang kita ke ruangan saya saja,” sahut kepala rumah sakit itu.

Sebagai jejaka yang normal Dokter Panji tak bisa mengingkari apa yang sedang bergejolak di hatinya. Hanya sesaat. Hanya beberapa detik. Namun pandangan tajam sepasang mata bola itu telah menusuk jantungnya. Genggaman tangan perempuan itu seakan mengalirkan setrum yang menyengat hingga ke ulu hatinya. Apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Ah tahu apa Dokter Panji soal cinta? Selama ini dia hanya rajin kuliah, hanya belajar dan belajar. Baca buku tak pernah berhenti. Dia lelaki pembelajar yang tekun. Kuliahnya di Fakultas Kedokteran dijalaninya dengan lancar. Begitu pula saat kuliah magister di luar negeri.

Mungkin Dokter Panji bisa dibilang lelaki kuper dalam urusan perempuan. Meski dia tahu betul ada banyak teman perempuannya yang berusaha mendekatinya. Sebagai putera sulung yang dikader menjadi kepala rumah sakit milik ayahnya, Dokter Panji adalah putera mahkota dan tidak berani menyia-nyiakan harapan besar orang-tuanya tersebut.

Apalagi, sebagaimana pernah dikatakan ibunya, bahwa sebetulnya Panji sudah dijodohkan dengan putri cantik anak pemilik Rumah Sakit Panjalu. Ini perjanjian antar keluarga, khususnya antara Dokter Luhur dan Dokter Hamijaya Kusuma, ketua Yayasan Rumah Sakit Panjalu yang berada di sebuah kota bernama Daha, ratusan kilometer dari Rumah Sakit Jenggala di kota Kahuripan. Keduanya  adalah sahabat karib, pernah bertugas bersama di pedalaman saat masih muda. Mereka saling berhutang nyawa sehingga pernah berikrar akan menjodohkan putera puteri masing-masing dalam ikatan pernikahan.

Dokter Panji selama ini memang terkesan seperti “anak Mami” yang hanya menuruti apa yang menjadi kehendak orangtuanya. Soal perjodohan itu tidak pernah ditolaknya meski dia juga tidak pernah menyatakan persetujuannya secara terbuka. “Apa kata ayah dan ibu sajalah,” katanya dalam hati.

Tetapi apa yang terjadi hari ini sungguh menggelisahkan hatinya. Panji telah terkena panah asmara dari seorang suster bermata bola bernama Anggraini. Dada Panji berdegup lebih kencang dari biasanya. Darah mudanya bergetar. Lagi-lagi dia bertanya pada diri sendiri. Benarkah dia sedang jatuh cinta? Apakah memang semudah itu? Pertanyaan itu berulang kali bergaung di hatinya. Panji tak bisa menolak perasaan yang muncul secara spontan ini.

Lantas, bagaimana dengan perjodohan yang sudah dirancang orangtuanya? Panji sendiri belum pernah tahu bagaimana wajah perempuan yang dicalonkan menjadi istrinya itu. Dan dia memang cenderung tidak mau tahu. Panji memang anak penurut.

Ibunya pernah berkata, bahwa sebelum Panji nanti secara resmi menjabat kepala Rumah Sakit Jenggala, dia sudah harus menjalin ikatan resmi dengan calon isterinya. Kalau toh belum bisa digelar resepsi pernikahan, minimal sudah ada ritual pertunangan. Ayah dan ibunya akan segera melamar Puteri Panjalu itu.

Kali ini pertarungan sengit berkecamuk di hatinya. Panji ditodong oleh sebuah pertanyaan besar yang tiba-tiba mengemuka. Apakah dia akan terus menerus menjadi anak Mami yang penurut? Apakah dia akan menerima saja rencana orangtuanya yang menjodohkan dengan gadis Panjalu? Lantas bagaimana dengan Anggraini? Apakah Panji berani menolak kehendak orangtuanya, menolak dijodohkan, dan lebih memilih Anggraini sebagai pendam-ping hidupnya?

Kalau betul kata orang bahwa cinta adalah urusan hati dan perasaan, maka sesungguhnya Panji lebih berpihak pada suara hatinya. Dia akan memilih suster itu ketimbang gadis Panjalu yang sama sekali belum dikenalnya. Mungkin, andaikata gadis Panjalu itu sudah pernah bertemu sebelumnya sudah berakrab-akrab ria, persoalannya menjadi lain. Tetapi selama ini Panji tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap gadis calon pewaris Rumah Sakit Panjalu itu.

Terdorong oleh energi dari perasaannya sendiri, Panji cenderung menuruti kata hatinya. Dia seperti terbangun dari sebuah tidur yang amat panjang. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa sebagai seorang lelaki, bahkan sebagai manusia biasa, tentunya punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Mengapa sepanjang hidupnya dia hanya menuruti apa kata kedua orangtuanya saja? Ke manakah keceriaan masa-masa remajanya yang seharusnya berhura-hura bersama teman-teman sebayanya? Mengapa dia hanya berkutat dari buku ke buku, dari bangku kuliah ke bangku laboratorium, dari penelitian dan urusan kuliah belaka?

Kali ini Panji seperti terbentur kepalanya oleh tembok kenyataan, bahwa sesungguhnya dia adalah manusia biasa yang punya perasaan. Bukan sebuah robot yang harus menurut apa kata orangtua. Diam-diam Panji ingin berontak. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Padahal, Panji sendiri juga belum mengenal siapa Anggraini sebenarnya.

* * *

AZAN maghrib sudah lama berlalu. Azan Isya’ baru saja bergema dari masjid tak jauh dari rumah sakit. Dokter Panji bergerak lesu keluar ruangan. Dia berjalan menuju tempat parkir. Dadanya terasa sesak. Panji ingin menangis, setidaknya ingin menumpahkan air matanya agar dadanya terasa lega. Gerimis turun. Panji malah senang, seakan bisa menyamarkan air matanya yang tak kuasa dia tahan meleleh di pipi.

Panji memasuki mobilnya. Bergerak perlahan meninggalkan halaman rumah sakit. Baru beberapa meter keluar pintu gerbang dia melihat seseorang berdiri tepi jalan. Sepertinya sedang menunggu angkutan umum. Panji langsung menebak bahwa dia adalah salah satu suster melihat pakaian putihnya. Panji menghentikan mobilnya di depan perempuan itu. Panji membuka kaca jendela.

“Ayo naik, saya antar, hujan lho.”

Perempuan itu sejenak ragu. Gerimis sudah mulai lebat.  Dia tidak mungkin berdiri lebih lama di tepi jalan. Semula dia tidak menyadari siapa yang berada dalam mobil, tetapi begitu kepalanya mendekat ke arah jendela. Dia sangat terkejut.

“Gusti Allah Pangeran, ini Dokter Panji……” ujarnya dalam hati.

Tak ada pilihan lain. Dia langsung membuka pintu depan sedan itu. Dan kali ini Panji giliran yang juga kaget setengah mati. Astaga, dia gadis bermata bola itu?

“Kok kamu sampai malam?” ujarnya membuka percakapan untuk menetralisasi perasaannya yang berke-camuk.

“Iya Dok,” jawab Anggraini sekenanya.

“Rumahmu di mana?”

Anggraini tak sanggup menjawab lantaran hatinya juga sedang bergejolak.

“Di mana?” ulang Panji.

“Oh, daerah Pucang Dok. Masuk gang. Nanti saya turun depan gang saja.”

“Itu rumah kamu?”

“Saya kos Dok.”

Selanjutnya perjalanan berlangsung dalam diam. Masing-masing sibuk dengan gejolak hatinya. Namun Panji merasa senang sekali mengalami peristiwa yang sama sekali di luar dugaan ini. Barangkali inilah jawaban atas pertanyaan besar yang menggodanya. Sepertinya alam semesta sudah menggariskan bahwa dia harus bertemu Anggraini, harus menjalin ikatan hati, harus memadu asmara hingga nantinya dapat bersanding di pelaminan. Ah, tidak, Panji sudah berkhayal terlalu jauh.

“Sudah sampai Dok. Itu gang yang ada gardunya.”

“Lho, masih hujan.”

“Gak papa Dok, sudah agak reda kok.”

Panji terdiam. Dia memandangi tubuh perempuan itu bergerak perlahan membuka pintu mobil. Perempuan itu menoleh kepadanya, mata bola itu bertatapan, membuat jantung Panji kembali berdegup kencang. 

“Terima kasih banyak Dokter.”

Lagi-lagi Panji terdiam. Dia hanya mengangguk, tersenyum tipis dan melambaikan tangan. (*)

  • Bersambung –
  • Jika berminat memiliki versi cetak novel ini silakan kontak 0812 3100 832

Cerita sebelumnya:

MISTERI SUSTER ANGGRAINI (01)

Bagian 02 Sepasang Mata Bola PAGI itu Dokter Panji diantar Dokter Brajanata berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Kepala rumah sakit menceritakan sekilas fasilitas apa saja yang dimiliki, apa yang seharusnya butuh perbaikan dan penggantian alat yang lebih modern. Tidak lupa juga diperkenalkan dengan kepala-kepala bagian dan kepala laboratorium. Meski sekilas mereka sudah bertemu…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *