Amang Rahman “Hidup Kembali” (2): Dari Diskusi Buku “Estetika Sufistik”
Catatan Henri Nurcahyo
Diskusi Buku “Estetika Sufistik” menampilkan penulisnya, yaitu Hajriansyah, dengan penanggap Nasirun dan Ugo Untoro. Sementara Jumaldi Alfi yang menjadi pemilik lokasi diskusi bertindak sebagai moderator. Sedangkan Hairus Salim dari Penerbit Gading, Yogyakarta yang menerbitkan buku ini memberikan pengantar. Hajriansyah sendiri pada saat yang sama sedang menggelar pameran lukisan berdua dengan pelukis sedaerahnya, Robert Nasrullah, di Greenhost Boutique Hotel, Jl. Prawirotaman II No.629 Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta (1 – 28 April 2023) yang dibuka oleh Hairus Salim, seorang budayawan yang juga berdarah Banjar, Direktur YLKIS Yogyakarta.
Hajriansyah (44 tahun), lahir dan tinggal di Banjarmasin, pernah kuliah formal Seni Lukis Modern School of Design (MSD) Yogyakarta, lantas pindah ke ISI Yogyakarta hingga semester akhir namun tidak selesai, melanjutkan kuliah ke Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta jurusan Prodi Pendidikan Seni Rupa hingga lulus sebagai Sarjana Pendidikan (SPd). Ketika kemudian pulang kampung, melanjutkan kuliah pascasarjana justru memilih Fakultas Ushuluddin jurusan tasawuf di UIN Antasari Banjarmasin. Staf pengajar di STKIP Banjarmasin ini juga aktif dalam kegiatan seni budaya di Banjarmasin, mengelola Kampung Buku dan menjabat Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin (2021 – 2026), di samping masih menyelesaikan program Doktoralnya di kampus almamaternya, yaitu UIN Antasari Banjarmasin.
Karena merasa memiliki dan tertarik dengan dunia seni rupa maka Hajriansyah mengajukan diri menulis dengan topik seni rupa untuk tesisnya. Dosennya membolehkan dengan catatan menggunakan dasar-dasar teori tasawuf untuk memasuki objek penelitiannya. Hanya saja, Hajriansyah lantas bingung, siapa pelukis yang bisa menjadi objek penelitiannya. Ada seorang sastrawan sufistik di Banjarmasin, namanya Ajamuddin Tiffani, dia juga melukis. Dia sezaman dengan Zawawi Imron, Sutadji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan sebagainya. Persoalannya, lukisannya tidak terlalu banyak, atau mungkin banyak namun karena sudah meninggal sulit melacak di mana keberadaannya.
Maka ketemulah sosok Amang Rahman, pelukis yang juga sudah almarhum, pernah tinggal di Surabaya. Rasanya tidak jauh dari Banjarmasin. Lagi pula sejak kecil Hajriansyah sering main ke Surabaya, sebagian keluarganya juga di Surabaya. Beruntunglah ketika berkunjung di rumah Amang Rahman ternyata banyak ditemukan dokumentasi almarhum yang cukup lengkap, termasuk lukisan-lukisannya yang masih banyak tersimpan. Selain itu Amang Rahman memiliki banyak teman sehingga siapa saja yang ditemui Hajriansyah bisa bercerita panjang lebar perihal Amang Rahman. Lantas Hajri pergi ke Bandung menemui A.D. Pirous, ke Bekasi bertemu dengan Abdul Hadi WM, berkomunikasi dengan Danarto, yang sayangnya tidak berhasil bertemu dengan Sutardji Calzoum Bachri. Termasuk juga Agus Burhan di Yogyakarya yang tugas akhir S-1nya menulis tentang Amang Rahman.
Setelah melakukan penelitian selama satu tahun akhirnya selesailah tugas akhir pascasarjana tersebut dengan judul: “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Seni Lukis Amang Rahman Jubair: Tinjauan Estetika Sufi” yang diselesaikan tahun 2017. Di kalangan UIN Antasari apa yang dilakukan Hajriansyah ini dianggap aneh. Belum pernah ada orang tasawuf meneliti seni rupa. Tesis ini kemudian dibukukan dan diterbitkan terbatas oleh UIN Antasari Press.
Lantas, apakah yang disebut Estetika Sufi? Hajri lantas merujuk Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya tentang spiritualitas Islam. Karena kalau bicara soal seni dalam Islam maka biasanya berkutat masalah fikih halal dan haram, dilarang melukis wujud manusia, haram membuat patung manusia, dan sebagainya. Sedangkan sufisme melampaui semuanya itu, yang dapat menjadi alat untuk melihat yang leluasa. Bagaimana Tuhan itu dapat diaplikasikan ke dalam semua pandangan kita, atau bisa dilihat dari semua yang bisa kita lihat. Jadi Estetika Sufi itu adalah cara pandang tentang keindahan yang didasari oleh satu pikiran bahwa semuanya ini adanya karena Tuhan. Tidak ada semuanya ini hadir kecuali bersamanya ada Tuhan. Semuanya ini ujung-ujungnya karena Tuhan. Dengan kata lain, Estetika Sufi adalah kaidah menilai keindahan atau karya seni berdasarkan pandangan yang bersifat sufistik.
Konsep itulah yang dimiliki oleh Amang Rahman, yang kemudian disebut Jamal (segala yang indah), Kamal (segala yang sempurna), dan Jalal (segala yang hebat). Amang lantas membahasakan sendiri dengan istilah; keringat, darah, dan air mata, yang berarti pengorbanan, pengabdian, dan kecintaan yang dalam terhadap Sang Khalik dan segenap makhluk-makhluk-Nya. Sebagaimana tanggapan pengamat dan publik seni rupa Indonesia, yang menyatakan bahwa Amang Rahman adalah pelukis Surealis-sufistik, dan karya-karyanya mencerminkan kesadaran spiritualitas yang dapat membawa pemirsanya ke tingkat yang lebih tinggi.
Yang dilakukan Amang, kata Hajri, juga seerti itu. Dia menata dirinya sebelum melukis, harus membersihkan pikirannya, semacam ritual namun bukan ritual keagamaan. Sehingga sampai pada pikiran yang hening dan bening, kemudian mulai melukis karena melukis itu juga bernilai ibadah dalam konteks Jamal, Kamal, dan Jalal. Bagaimana semuanya itu dapat teraplikasikan dalam karya-karyanya, bisa dilihat sendiri.
- Bersambung.
- Postingan sebelumnya, sila klik:
Catatan Henri Nurcahyo Diskusi Buku “Estetika Sufistik” menampilkan penulisnya, yaitu Hajriansyah, dengan penanggap Nasirun dan Ugo Untoro. Sementara Jumaldi Alfi yang menjadi pemilik lokasi diskusi bertindak sebagai moderator. Sedangkan Hairus Salim dari Penerbit Gading, Yogyakarta yang menerbitkan buku ini memberikan pengantar. Hajriansyah sendiri pada saat yang sama sedang menggelar pameran lukisan berdua dengan pelukis sedaerahnya,…