Seri 02: Humor Seniman: Amang Rahman Naik Haji

Oleh HENRI NURCAHYO

SETIAP muslim pasti merindukan menunaikan ibadah haji. Tidak terkecuali Amang Rahman. Tapi kalau tidak ada biaya, mana mungkin bisa berangkat? Bahkan kalau toh sudah punya uang pun belum tentu “terpanggil” berangkat haji.

Kisah ini, tentu saja, terjadi beberapa tahun sebelum pelukis surealis religius asal Surabaya itu meninggal dunia 15 Januari 2001.

Waktu itu Amang baru saja sukses berpameran di negara-negara Arab. Maka suatu ketika Arifin Hidayat (alm), pelukis yang sudah sukses sebagai pengusaha pertamanan itu, bertamu ke rumahnya.

“Ayo Pak, naik haji,” ajak Arifin. “Bareng Pak Sochieb juga,” tambahnya, menyebut nama seorang pelukis.

Amang tercenung. Tidak mampu menjawab. Ada sorot sedih yang terpancar dari matanya.

“Kenapa? Kan sampeyan banyak duit,” sambung seniman bonsai itu.

“Sudah saya belikan tanah di sebelah,” jawab Amang pelan.

Arifin menyayangkannya. Menurutnya Amang lebih mementingkan urusan dunia ketimbang akhirat. Arifin tidak menyangka bahwa seorang Amang Rahman yang religius itu tidak memikirkan keinginan berangkat haji ketika sedang berlebih harta.

Ya sudah, akhirnya Arifin, istrinya dan Sochieb berangkat haji, sementara Amang Rahman hanya bisa termenung menyesali dirinya sendiri.

Namun siapa sangka beberapa hari kemudian datanglah surat dari Menteri Agama bahwa Amang Rahman mendapat undangan untuk naik haji dengan biaya dari pemerintah. Berbinar-binarlah wajahnya. Dia ceritakan pada seluruh saudaranya. Mereka semua ikut gembira karena memang hanya Amang sendiri yang belum menunaikan ibadah haji. Apalagi Amang memang keturunan Arab.

Namun justru istrinya yang protes:

“He Mang, Menteri Agama itu gak ngerti tah nek kamu punya istri?” Dia memang suka memanggil suaminya dengan menyebut namanya langsung.

“Lho, apa hubungannya?”

“Kenapa yang diundang cuma kamu sendiri, kok aku tidak?” protes Wasi Kasiyati, perempuan asal Jombang, Jawa Timur, itu.

Amang tidak mampu menjawab. Anak keempat dari 13 bersaudara ini hanya diam saja. Dia teringat janjinya pada diri sendiri, sekian tahun yang lalu, kalau suatu ketika sudah mampu akan mengajak istrinya naik haji.

Seperti biasa, sebelum keberangkatan haji ada tradisi bertemu dengan seluruh keluarga dan handai tolan, tasyakuran, memohon doa agar perjalanan haji lancar.

“Ayo Mang, kamu tanya saja apa yang masih belum mengerti. Jangan malu,” ujar saudaranya.

“Sudah, saya sudah paham kok,” jawab Amang seperti kurang yakin.

“Lho, gak usah malu bertanya. Nanti malah ngisin-isini (malu-maluin). Dulurmu kabeh (saudaramu semua) sudah pernah naik haji.”

Akhirnya Amang berterus terang:

“Begini,” kata Amang pelan. “Saya sudah baca semua peraturan ibadah haji. Sudah hapal semua doa-doanya. Tapi hanya ada satu kata yang saya tidak paham artinya.”

Mereka semua terdiam menunggu Amang melanjutkannya.

“Kata apa itu Mang?”

“Lha ya itu, saya pikir-pikir kata itu bukan bahasa Inggris, bahasa Arab juga bukan, apalagi bahasa Indonesia,” kata Amang pelan.

“Lha iya, kata apa yang gak ngerti artinya?”

Setelah diam beberapa jenak, Amang bertanya: “Kloter itu apa?”

Kontan meledaklah tawa semua saudaranya. Mereka sama sekali tidak mengira Amang tidak mengerti akronim dari “Kelompok Terbang” itu.

Begitulah, ketika akhirnya Amang Rahman berangkat haji, diam-diam dia membawa misi tertentu. Dia akan mengejutkan Arifin saat bertemu di tanah suci nanti. Amang akan sengaja menggoda Arifin dengan berpura-pura tidak mengenalnya.

Di tanah suci, Amang diam-diam mendekati tenda jamaah Indonesia, sengaja mencari tenda dimana Arifin berada. Amang sengaja tidak mendekat, namun diperkirakan Arifin dapat melihatnya keberadaannya.

“Pa, itu kok seperti Pak Amang ya,” ujar istri Arifin kepada suaminya, sambil menunjuk seorang lelaki di kejauhan. Tahu sedang diperhatikan, Amang sengaja memalingkan wajah agar tidak dikenali.

“Ah gak mungkin, Pak Amang kan gak naik haji,” kilah Arifin.

“Iya Pak, itu Pak Amang kok.” 

Mereka lantas mendekat, berusaha dapat melihat wajah lelaki itu dengan cermat. Amang berpaling lagi. Menghadapkan punggungnya. Arifin semakin penasaran karena postur tubuh orang itu memang sangat mirip dengan Amang Rahman. Jarak mereka semakin dekat sampai akhirnya Amang Rahman tidak bisa menghindar lagi.

“Janc……, Pak Amang!” Arifin berkata spontan dengan makian khas Surabaya.

“He Pa, ini di tanah suci, gak boleh memaki begitu,” ujar istri Arifin.

Amang Rahman lantas tersenyum lebar misinya berhasil mengejutkan Arifin dan istrinya.

Lantaran Arifin termasuk kloter awal maka dia pulang lebih dulu. Saya yang sudah tahu rencana Pak Amang sebelum berangkat, saya tanya ke Arifin. Maka dia tertawa ngakak mengisahkan peristiwa itu.

“Pak Amang belum pulang, masih nagih pembayaran lukisannya yang belum lunas,” ujar Arifin bercanda.

Maklum, Amang memang baru saja sukses menggelar pameran di Arab Saudi.  (*)

  • bersambung

Kisah sebelumnya sila klik:

Oleh HENRI NURCAHYO SETIAP muslim pasti merindukan menunaikan ibadah haji. Tidak terkecuali Amang Rahman. Tapi kalau tidak ada biaya, mana mungkin bisa berangkat? Bahkan kalau toh sudah punya uang pun belum tentu “terpanggil” berangkat haji. Kisah ini, tentu saja, terjadi beberapa tahun sebelum pelukis surealis religius asal Surabaya itu meninggal dunia 15 Januari 2001. Waktu…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *