Misteri Suster Anggraini (4): BELENGGU KECANTIKAN

BEBERAPA waktu sebelumnya.

Tengah malam sudah terlewati. Anggraini terbangun dari tidur sorenya. Sudah menjadi kebiasaan dia tidak pernah tidur terlalu larut. Sepulang dari rumah sakit sekitar pukul 19.00 dia langsung membersihkan badan, sembah-yang Isya’, lantas tidur. Sekitar pukul 03.00 dini hari dia selalu bangun. Segera ambil wudlu, sholat Tahajud, berdoa hingga azan Subuh terdengar dari pengeras suara masjid di kampung.

Pukul 06.00 pagi hari dia sudah harus berada di rumah sakit manakala mendapat shift pagi. Baru nanti sore pukul 17.00 selesai kerja, menunggu maghrib di musholla, dia beranjak pulang. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Manakala mendapat giliran tugas malam, dia menyem-patkan sholat Tahajud di musholla rumah sakit di sela-sela waktu luangnya.

Anggraini adalah gadis desa yang mendapat karunia memiliki wajah jelita. Perawakannya langsing, sebagaimana yang suka diidealkan para perempuan. Kulitnya kuning langsat. Bersih. Hidungnya tidak terlalu mancung namun lumayan dibanding gadis Jawa pada umumnya. Bentuk bibirnya hampir sama antara atas dan bawah. Konon bentuk bibir seperti itu menandakan sifatnya yang peduli terhadap orang lain.  Orang-orang dengan bentuk bibir seperti ini tergolong altruistis, yakni orang yang cenderung lebih mementingkan orang lain daripada diri mereka sendiri dan merasa senang melakukannya.

Anggraini merasa geli sendiri membaca artikel perihal sifat perempuan berdasarkan fisiknya. Bagaimana mungkin orang bisa dianalisis sifatnya dari bentuk bibirnya. Menurut artikel itu, perempuan dengan bibir yang hampir sama tebal atas dan bawah bersifat keibuan. Orang ini juga ingin dikelilingi dengan teman yang baik dan dia juga punya koneksi yang baik dengan orang lain. Mereka benar-benar menghargai hubungan dengan orang lain.

Ahh sudahlah. Dia tidak ingin terbuai dengan detail-detail fisik yang ada pada dirinya. Kalau toh orang menga-takan dia memiliki mata yang bulat mempesona, seperti “mata bola” katanya, toh itu sudah dari sononya. Juga bulu mata lentik yang sering diragukan keasliannya. Apalagi alisnya bagaikan rembulan sabit tanpa harus dikerok. Payudaranya yang tidak bisa dibilang kecil. Apakah semua itu lantas memiliki arti juga terkait dengan sifat-sifatnya? Anggraini tidak tertarik menelusurinya.

Itu semua anugerah. Anggraini harus bersyukur atas kecantikan yang dimilikinya, tanpa harus bersusah payah menggunakan riasan wajah berlebihan. Dan, apalagi, sampai melakukan operasi plastik segala. Dia juga bukan penggemar salon kecantikan, melakukan perawatan manicure dan pedicure yang entah apalah. Rambutnya dibiarkan hitam legam tanpa ada niatan dibuat pirang. Paling-paling dia mendatangi salon langganannya ketika panjang rambutnya sudah melewati bahu.

Bahwa kecantikan yang dimilikinya lantas dikagumi banyak orang, bukan sebatas lelaki, itupun sudah disadarinya sejak lama. Kedua orangtuanya pernah ber-pesan:

“Hati-hati dengan kecantikanmu nDhuk. Jangan sampai kamu sombong dan tinggi hati. Jangan meren-dahkan orang lain yang tidak mendapat anugerah seperti dirimu. Apalagi, menggunakan kecantikan untuk senjata menaklukkan orang lain dan berbuat kejahatan. Naudzu-billah min dzalik.”

Itulah sebabnya Anggraini tidak pernah terlambat sembahyang lima waktu. Selalu rajin sholat Tahajud. Berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Dia bersyukur atas kecan-tikannya dan sekaligus memohon perlindungan  agar diri-nya dapat terhindar dari malapetaka yang disebabkan justru karena kecantikannya.

Sebagai puteri tunggal keluarga petani yang sederhana, Anggraini harus bisa menjaga diri. Sejak kecil dia sudah dilatih hidup sederhana, jauh dari kemewahan. Dia harus menekan dalam-dalam keinginan berhura-hura seba-gaimana teman-temannya. Sekolah Dasar dijalaninya di desanya sendiri. SMP di kota kecamatan. SMA mulai merambah kota kecil. Setelah itu dia melanjutkan pendidikan di Akademi Perawat di kota besar. Sampai akhirnya dia bekerja di rumah sakit swasta sekarang ini.

Bunga Desa yang sering yang dikerubungi para kumbang itu kini menjadi bunga Rumah Sakit Jenggala. Para dokter berusaha menarik perhatiannya, meski rata-rata mereka sudah berkeluarga. Kalangan perawat laki-laki malu-malu menggodanya lantaran tahu diri bahwa gadis secantik Anggraini mereka anggap bukan level mereka. Sementara para suster tidak bisa menyembunyikan kekagumannya memandang kecantikan Anggraini, meski kadang ada juga yang menolak mengakuinya. Malah ada yang berusaha membencinya tanpa alasan yang jelas.

Demikian pula para pasien rawat inap, khususnya kaum laki-laki, selalu bertanya dimana Suster Anggraini. Kapan dia bertugas? Apakah dia bisa diminta datang merawatnya? Dan ketika Anggraini kebetulan sedang bertugas, ada saja yang diminta oleh pasien laki-laki sebagai sebuah cara agar bisa berlama-lama. Diantaranya ada yang menanyakan alamatnya, nomor hapenya, berjanji akan ketemuan manakala sudah sembuh. Ada juga yang nakal memegang tangannya.

Anggraini sadar betul bahwa tidak semua orang menyukainya. Tidak semua orang senang dengan kerama-hannya. Bahkan dia pernah dilabrak seorang isteri dokter karena dituduh menggoda suaminya. Anggraini juga sempat dimarahi seorang perempuan yang bezuk suaminya ketika dilihatnya dia sedang terkesan berakrab-akrab dengan pasiennya. Ada juga suster yang memusuhinya karena dianggap Anggraini mengalihkan perhatian dokter ganteng yang diincar menjadi pacarnya. Bahkan ada suster yang sedemikian bencinya dengan Anggraini sampai menjulu-kinya “Suster Ngesot.” Ya Allah…. Sampai segitunya.

Lewat tengah malam yang sunyi, Anggraini sholat Tahajud di musholla rumah sakit seperti biasanya. Suster Kepala sudah hapal kebiasaan tersebut sehingga tanpa izin pun dia sudah tahu dimana Anggraini saat tengah malam seperti kali ini. Untunglah tidak pernah ada hal-hal darurat yang terjadi lewat tengah malam. Pernah ada kejadian pasien menghembuskan nafas terakhir, toh itu sudah bisa ditangani dengan mudah oleh para perawat yang jaga saat itu.

Bagi Anggraini, suasana sepi seperti ini mengi-ngatkan pada desanya. Sepi, sunyi, dan gelap gulita ketika malam hari. Hanya lampu-lampu yang tidak seberapa terang menyala di sana sini. Namun sebagian besar suasana desanya memang gelap yang sudah biasa bagi warga setempat. Tidak ada suara apapun, kecuali sesekali suara serangga, kadang suara burung tertentu yang memberikan isyarat bahwa akan terjadi peristiwa penting di desa itu. Manakala terdengar suara burung Dares pada malam hari misalnya, maka hal itu dimaknai bahwa akan ada orang meninggal di sekitar tempat burung tersebut berbunyi. Menurut orang desa bunyinya menyerupai orang menyo-bek kain. 

Juga burung Bence, yang suaranya menandakan ada orang yang berkeliaran pada malam hari. Karena pada zaman dahulu orang yang keluar malam kalau tidak orang ronda pasti maling. Kalau burung ini berbunyi berarti di sekitar rumah menandakan ada orang berkeliaran, sehingga penghuni rumah akan waspada. Biasanya penghuni rumah lantas  batuk-batuk agar diketahui oleh orang yang di luar kalau penghuni tidak tidur.

Ahh itu kenangan di desa yang masih diingat Anggraini. Pengalaman yang sama tidak didapatkannya di rumah sakit ini. Tidak ada kicauan burung Dares yang menandakan ada orang meninggal dunia. Mungkin burung itu bisa capek sendiri berkicau memberi tanda karena hampir setiap hari selalu ada pasien yang meninggal dunia. Demikian pula tidak ada kicauan burung Bence, meski aktivitas di rumah sakit ini berlangsung dua puluh empat jam. Selalu ada orang-orang yang berkeliaran.

Di rumah sakit ini, meski tengah malam suasananya lumayan terang lantaran sinar lampu dimana-mana. Meski tentu saja tidak seterang siang hari. Taman yang terlihat indah pada siang hari tetapi malam itu lebih banyak terlihat bayangan atau silhoutenya saja. Sepi sekali. Nyaris tidak ada suara apapun.

Namun dalam suasana tanpa ada suara apa-apa itulah Anggraini lebih khusuk berdialog dengan Tuhan, berdialog dengan kesunyian, berbicara kepada hatinya sendiri. Dipanjatkannya doa agar dia mendapat kekuatan menghadapi semua godaan. Anggraini seolah mengulang-ulang rekaman pesan kedua orangtuanya agar dia bisa menjaga diri hidup di kota besar.

“Kamu itu cantik nDhuk, banyak perempuan yang iri padamu. Tetapi juga banyak buaya yang siap menerkam-mu,” demikianlah pesan ibunya.

Waktu itu Anggraini menatap lekat wajah ibunya. Masih terlihat gurat-gurat kecantikan seorang perempuan meski sekarang sudah berumur. Entah bagaimana ibunya bisa bersuami ayahnya, lelaki sederhana yang tinggal di desa sebagai petani biasa. Padahal, dengan kecantikannya, ibunya bisa bersuamikan orang kaya atau berpangkat. Anggraini sangat mengagumi ibunya. Meniru kesabaran dan ketabahannya dalam menjalani hidup yang berat ini.

Anggraini kadang gelisah. Mengapa Tuhan memberi dia kecantikan yang memesona? Mengapa dia tidak menjadi perempuan yang biasa-biasa saja? Minimal ada manis-manisnya dikit cukuplah. Ketika banyak perempuan yang gelisah karena berdada kecil misalnya, Anggrani justru sebaliknya. Dia seringkali merasa risih ketika bercakap-cakap dengan lelaki, matanya suka mencuri pandang ke dada Anggraini sambil terlihat menelan ludah.  Pakaian seragam susternya yang agak ketat tidak cukup berhasil menyamarkannya. Andaikata Anggraini dibolehkan mema-kai jilbab, maka bagian dadanya bisa sedikit tertutup. Kecantikan yang dimilikinya justru terasa bagaikan belenggu bagi Anggraini.

Kadang Anggraini mengamati satu demi satu perempuan yang berada di rumah sakit itu. Mulai dari dokter perempuan, suster-suster, bahkan para perempuan yang bezuk. Apakah mereka tidak cantik? Seperti apakah yang dinamakan cantik itu? Siapakah yang menentukan parameter kecantikan? Apakah perempuan cantik itu harus tinggi semampai berkulit putih sehingga mereka yang berkulit kecoklatan sampai perlu memakai krim pemutih? Bagaimana dengan orang Papua dan Ambon? Bagaimana dengan orang Afrika? Apakah rambut yang cantik itu hitam legam dan lurus? Mengapa tidak ada shampoo untuk rambut keriting?  

Masih banyak pertanyaan yang bergejolak dalam benaknya soal parameter kecantikan. Bahwa yang cantik itu harus tinggi, tidak gemuk, berpinggang ramping, berkaki belalang, hidung mancung, dan sebagainya. Jangan-jangan parameter ini sengaja diciptakan kaum industri demi melancarkan dagangan mereka. Konon, pernah dia baca, bahwa kebutuhan itu sengaja diciptakan oleh kaum industrialis. Bahwa kekurangan itu bisa dilecehkan sehingga orang menjadi tidak percaya diri. Dan saat itulah kapi-talisme merasuki dengan berbagai produk yang mengendalikan gaya hidup manusia. Ah, sudahlah. Anggraini tidak paham hal-hal yang rumit seperti itu.

Beruntunglah Dokter Brajanata, kepala rumah sakit yang sudah berumur itu begitu perhatian terhadap Ang-graini. Dia sudah dianggap seperti ayahnya sendiri. Anggraini suka mengadu terhadap hal-hal yang menggelisahkannya, khususnya berkaitan dengan perilaku para pegawai di rumah sakit itu. Bagaimana Anggraini selalu dicemburui, dijadikan sasaran atas kesalahan dan hal-hal yang tidak dia lakukan.

Tentu ada batas-batas persoalan yang tidak bisa diceritakan pada Dokter Brajanata ketika menyangkut uru-san perempuan. Dan untuk urusan seperti ini maka Ibu Dewi yang menjadi tumpuannya. Perempuan bertubuh subur nan ramah itu adalah pengelola kantin rumah sakit. Anggraini merasa nyaman sekali berlama-lama bersama Ibu Dewi ketika jam-jam istirahat. Beruntunglah jam istirahat di antara para suster dilakukan bergiliran sehingga tidak ada jam yang kosong sama sekali. Kepada Ibu Dewi, Anggraini bisa cerita hal-hal paling pribadi sebagai sesama perempuan. Malah ketika Anggraini mendapatkan giliran jaga malam, dia sudah berada di rumah sakit lebih awal supaya punya waktu panjang bercengkerama dengan Ibu Dewi.

Anggraini bahkan tidak segan-segan ikut membantu Ibu Dewi meladeni pembeli. Tentu saja para lelaki senang sekali. Sementara Ibu Dewi hanya pura-pura saja mela-rangnya. Dia malah senang karena keberadaan Anggraini justru menjadi daya tarik kantinnya.

“Wah Suster Ani alih profesi yaa…”

“Jangan-jangan cari ceperan….”

“Bakal laris nih kantin ini kalau dilayani bidadari….”

Ada saja celetukan mereka. Beruntunglah tidak ada yang berani bersikap kurang ajar. Anggraini cuma senyum-senyum saja. Celakanya, justru senyum itulah yang membuat para lelaki salah tingkah. Senyum maut yang sanggup merontokkan iman lelaki.  

Perihal Dokter Brajanata dan Ibu Dewi itu diceritakan kepada orangtuanya ketika Anggrani pulang ke desa. Dia merasa nyaman bekerja di rumah sakit lantaran ada yang berperan sebagai pengganti ayah dan ibunya. Setidaknya dengan adanya mereka membuat Anggraini tidak merasa kesepian di tengah keriuhan kota besar dan rumah sakit yang menjadi tempat kerjanya.

Begitulah, ketika hari itu datang seorang lelaki yang diperkenalkan sebagai calon kepala rumah sakit. Anggraini dengan sengaja tidak mau menampakkan dirinya secara mencolok di tengah kerumunan ruang pertemuan itu. Apalagi sampai ikut foto-foto. Ketika meja prasmanan masih belum banyak disentuh, Anggraini hanya mengambil seiris buah semangka, memakannya, dan langsung keluar ruangan. Baginya, soal makan siang malah lebih menarik di kantin Ibu Dewi ketimbang masakan catering yang biasanya menggunakan bahan kimia. Sementara di kantin rumah sakit yang dikelola Bu Dewi Anggraini bisa menggoreng tempe sendiri, membuat sambal sendiri, menikmati tempe penyet dengan lahap.

Anggraini sadar betul bahwa dia tidak mau lagi dituduh menjadi penghalang para suster yang berusaha menarik perhatian dokter ganteng itu. Dia tahu diri. Dia sadar sebagai perempuan desa, hanya seorang suster rendahan di rumah sakit. Tidak sepantasnya dia ikut berebut menarik perhatian putra mahkota Rumah Sakit Jeng-gala. Dia selalu ingat pesan orangtuanya untuk menghindar menjadi sumber petaka. Nasehat sederhana yang tidak gampang melakukannya.

Tapi siapa sangka ketika siang itu Dokter Panji memasuki ruangannya dan matanya bersitatap dengan lelaki itu. Padahal Anggraini sudah menjauh. Dia juga agak malas ketika Dokter Brajanata memanggilnya supaya mendekat. Hanya karena kepatuhannya sebagai bawahan dan menganggap Dokter Brajanata sudah seperti ayahnya sendiri maka Anggraini mendekat, bersalaman, dan tiba-tiba darahnya terasa mengalir lebih cepat didorong oleh energi kedua telapak tangan yang saling bersetangkup itu. Anggraini hanya menunduk. Tak mau merasa Ge-er, meski dadanya berdebar-debar.

Anggraini hanya menyimpan untuk dirinya sendiri perasaan yang mengguncang itu. Tidak juga diceritakannya kepada Ibu Dewi sebagaimana kalau ada lelaki yang mencoba mendekatinya. Padahal Ibu Dewi selama ini selalu menjadi sasaran curhat dan tempat meminta pertimbangan bagi Anggraini, termasuk urusan laki-laki. Tetapi tidak untuk kali ini. Anggraini hanya menyimpannya rapat-rapat untuk dirinya sendiri.

Sampai suatu ketika dia hendak pulang, menunggu angkutan umum lewat, gerimis semakin rapat, tiba-tiba ada mobil sedan berhenti persis di depannya. Anggraini heran, mengapa dia disapa seperti sudah mengenalnya. Itulah yang menjadi awal kisah kasihnya dengan Dokter Panji Kertapati, lelaki tampan yang jadi rebutan para perempuan.

Benar kata pepatah Jawa, witing tresna jalaran saka kulina. Bahwa cinta tumbuh karena kebiasaan. Anggraini yang sering berinteraksi dengan Panji lama-lama membuat hati mereka terpaut semakin erat. Bagi Anggraini, Dokter Panji adalah lelaki yang sederhana, tidak terkesan buas sebagaimana rata-rata lelaki yang selama ini mengejar-ngejarnya.

(Bersambung)

Sumber foto: https://lifestyle.okezone.com/read/2018/10/26/194/1969099/viral-pesona-perawat-cantik-ini-sukses-bikin-netizen-terhipnotis

BEBERAPA waktu sebelumnya. Tengah malam sudah terlewati. Anggraini terbangun dari tidur sorenya. Sudah menjadi kebiasaan dia tidak pernah tidur terlalu larut. Sepulang dari rumah sakit sekitar pukul 19.00 dia langsung membersihkan badan, sembah-yang Isya’, lantas tidur. Sekitar pukul 03.00 dini hari dia selalu bangun. Segera ambil wudlu, sholat Tahajud, berdoa hingga azan Subuh terdengar dari…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *