Misteri Suster Anggraini (05): Cinta yang Terhalang
PADA suatu malam, Anggraini dan Panji sedang berdua duduk di kursi yang berhadapan di sebuah restoran, Panji mengulurkan kedua tangannya. Anggraini melakukan hal yang sama. Tangan mereka saling bertautan. Saling meremas perlahan. Tak ada kata-kata yang terucapkan. Pandangan mereka bertatapan. Seolah lewat cara itulah batin mereka saling berkomunikasi. Dokter Panji tersenyum tipis. Anggraini juga tersenyum manis. Kemudian Panji menarik perlahan tangan Anggraini dan mencium punggung tangan itu. Tiba-tiba Anggraini merasa malu. Dia menarik tangannya. Saat itulah pesanan makanannya datang.
Ini sebuah komunikasi batin yang unik. Panji sama sekali tidak mengungkapkan perasaannya. Namun Anggraini sudah merasakannya. Tidak perlu ada kata-kata verbal sebagaimana para lelaki yang suka merayunya, yang dengan entengnya berucap “Say, Manis,” bahkan ada yang terang-terangan bilang sayang serta cinta.
Anggraini mencintai Dokter Panji sepenuh hati. Bukan semata-mata karena dia tampan dan dokter ternama, putera mahkota yayasan yang akan mewarisi Rumah Sakit Jenggala. Tidak. Ini sebuah perasaan cinta yang tulus keluar dari hatinya.
Hingga suatu ketika, Anggraini dipanggil Dokter Brajanata untuk menghadap ke ruangannya. Entah kenapa, kok kesannya serius banget. Padahal biasanya kepala rumah sakit ini selalu ceria tertawa-tawa di hadapan Anggraini yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Anggraini berusaha menekan kecurigaan apapun. Dia menghadap dengan hikmat. Duduk manis di depan Dokter Brajanata yang hingga beberapa saat malah tidak mengatakan apa-apa. Anggraini melihat sorot mata dokter itu redup, seperti ada kesedihan yang disimpannya.
Anggraini akhirnya memberanikan diri memecahkan kesunyian itu:
“Ada apa Dok?”
Dokter Brajanata menarik nafas panjang lantas menghembuskannya.
Anggraini masih menunggu, ada apa sebenarnya ini.
“Ani…..”
“Ya Dok…”
Diam beberapa saat. Anggraini semakin bingung. Ada apa ini sebenarnya. Waktu yang hanya beberapa detik seakan berjam-jam lamanya.
“Saya mau tanya yaa?” akhirnya Dokter Brajanata bersuara.
“Ya Dok.”
“Apakah benar kamu pacaran dengan Dokter Panji?”
Meledaklah apa yang selama ini dikhawatirkan Anggraini. Bahwa hubungannya dengan Dokter Panji akhirnya terbuka juga meski mereka tidak menampakkan diri secara terang-terangan. Entah dari mana informasi itu berasal dan menyebar. Anggraini tidak mau menyalahkan para suster yang hobi bergosip ria. Ini salahnya juga. Oh, apakah benar dia bersalah?
Apa yang ditanyakan Dokter Brajanata itu bagi Anggraini bukan sebuah pertanyaan. Kepala rumah sakit itu pasti sudah tahu jawabannya. Pertanyaan tersebut bagaikan pisau tajam yang menusuk ulu hatinya. Anggraini hanya menunduk. Tangannya meremas-remas ujung roknya. Dadanya berdegup lebih kencang. Lelaki yang sudah sepuh itu tak sampai hati meneruskan pertanyaannya. Dia jatuh kasihan terhadap suster cantik yang sudah seperti anaknya sendiri itu.
“Ya sudah, kamu istirahat sana. Ini sudah giliranmu.”
“Terimakasih Dok.”
Anggraini beringsut perlahan. Langkah-langkahnya menuju kantin rumah sakit. Kepada Ibu Dewilah akhirnya dia menumpahkan kesedihannya.
Ibu Dewi kaget melihat gadis itu memasuki kantin dengan wajah redup dan matanya berkaca-kaca. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Sebagai perempuan yang sudah kenyang asam garam kehidupan, Ibu Dewi tidak mau bertindak sebagai polisi yang langsung melakukan interogasi. Dia peluk Anggraini bagai anaknya sendiri. Dia arahkan ke kamar pribadinya di belakang kantin setelah sebelumnya dia mengunci pintu kantin agar tak ada orang masuk.
Anggraini duduk bersebelahan dengan Ibu Dewi. Dia memeluk ibu angkatnya itu erat-erat. Tangisnya tak bisa lagi dia tahan. Ibu Dewi masih bersabar untuk menunggu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Biarlah suster cantik ini menghabiskan air matanya dulu. Setidaknya sampai perasaan sedihnya berkurang.
“Aku sedih Ibu……”
Ibu Dewi tak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengelus-elus pundak Anggraini dengan lembut. Anggraini merasakan ketulusan belaian itu. Dia sedikit tenang untuk bisa menguasai perasaannya. Anggraini masih sesenggukan.
“Ibuu… aku sedih.”
“Ya Nak, katakan saja pada ibumu ini.”
Terdengar suara orang hendak membuka pintu kantin. Tidak bisa dibuka karena sudah dikunci. Ada ketukan beberapa kali. Ibu Dewi membiarkan saja biar dikira dia sedang tidak ada.
“Aku mencintai Dokter Panji….”
Sekelebat Ibu Dewi mendapatkan kecerahan. Jadi benar kabar yang dia dengar dari pergunjingan para suster di kantinnya selama ini. Bahwa Anggraini pacaran dengan Dokter Panji. Selama ini Ibu Dewi tak hendak bertanya pada Anggrani soal itu. Sebab biasanya Anggraini sendiri yang bercerita masalah pribadinya. Dan kalau toh soal pacaran itu tidak diceritakannya, jangan-jangan itu hanya gossip belaka. Tapi kali ini Anggraini sendiri mengatakannya meski tidak langsung.
“Oalah Ndhuk, anakku,” kata Ibu Dewi.
“Kenapa selama ini kamu gak bilang sama ibumu ini anakku,” sambungnya.
Anggraini tidak menjawab. Dia kembali sesenggukan.
“Apa kamu tidak tahu kalau Dokter Panji sudah dijodohkan dengan Puteri dari Daha Nak?”
Ibu Dewi tidak menunggu jawaban. Dia menduga Anggraini juga sudah tahu hal itu. Makanya Anggraini sekarang menangis. Bu Dewi yang sudah ditinggal suaminya itu mencoba merangkai cerita berdasarkan instingnya sendiri dengan bahan info-info yang beredar dari para pembeli di kantinnya.
Ibu Dewi mencoba memberikan empati pada gadis malang ini. Bahwa Anggraini sudah jatuh cinta kepada Panji, terus berlanjut dan semakin terjerembab dalam jurang yang tak mungkin dia kembali. Pada saat itulah dia mungkin baru mengetahui bahwa ternyata Dokter Panji sudah dijodohkan oleh orangtuanya. Entah tahu dari mana. Mungkin Panji sendiri yang mengatakannya. Tetapi Anggraini tetap mencintai Panji, begitu pula Panji tak mau melepaskan kekasihnya.
Soal perjodohan Panji dan Puteri dari Daha itu sudah menjadi rahasia umum di lingkungan Rumah Sakit Jenggala. Pada saat itu pula beredar kabar bahwa Suster Anggraini pacaran dengan Dokter Panji. Dua informasi ini bagaikan tabrakan keras. Ibu Dewi beruntung mengelola kantin ini. Sehingga tanpa perlu kemana-mana semua informasi itu datang dengan sendirinya. Para pembelinya seolah tak menganggap pengelola kantin ini ada sehingga semua rahasia dibeber tanpa aling-aling.
Beberapa jenak kemudian Anggraini sudah tenang. Tidak sesenggukan lagi. Ibu Dewi lantas membimbingnya tidur di ranjangnya. Anggraini menurut saja. Dia ingin tidur meski kepalanya masih berkecamuk dengan kesedihan yang mengoyak-ngoyak hatinya.
Ibu Dewi memandang wajah gadis ayu bernasib malang ini. Sudah banyak lelaki yang menginginkan menjadi pendampingnya. Tetapi agaknya dia hanya jatuh cinta pada Dokter Panji, putera mahkota Rumah Sakit Jenggala yang celakanya sudah dijodohkan dengan puteri mahkota Rumah Sakit Panjalu di kota Daha.
“Nasibmu ternyata tidak secantik wajahmu nDhuk..” batin Ibu Dewi.
Beberapa hari kemudian Ibu Dewi mendengar berita mengejutkan. Bahwa isteri Dokter Luhur tiba-tiba datang ke rumah sakit dengan muka bersungut-sungut. Dia langsung memasuki ruangan Dokter Brajanata. Terdengar pembicaraan keras yang bisa dikuping dari balik pintu. Ada suara marah-marah. Bunyi meja digebrak. Hingga kemudian tak terdengar suara apa-apa. Dua orang yang semula mencuri dengar di balik pintu segera beringsut pergi.
Kemudian, suatu hari Anggraini tidak masuk kerja. Dia izin beristirahat di rumah dengan alasan tidak enak badan. Sambil berbaring di ranjang kamar kosnya, Anggraini memandangi plafon triplek yang berhiaskan gambar pulau-pulau akibat rembesan air dari atap. Pikirannya menerawang. Dia ingin sendirian hari ini. Betul-betul sendiri. Bahkan untuk menghubungi kekasihnya pun dia enggan. Hapenya sengaja dimatikan.
Anggraini mencoba melakukan introspeksi atas perilakunya selama ini. Bahwa dia betul-betul mencintai Panji itu sudah pasti. Bahwa Panji juga membalas cintanya itu juga tak diragukan. Anggraini yakin betul bahwa kekasihnya menolak dijodohkan dan lebih memilih dirinya. Apakah dalam hal ini Anggraini dapat disebut sebagai perempuan perebut kekasih orang lain? Apakah dia bisa dikatakan sebagai Pelakor? Bukankah kisah ini bermula dari pandangan pertama, menumpang mobil tak sengaja, dan berlanjut dalam rangkaian kencan? Toh pada mulanya Anggraini tidak tahu bahwa Panji sudah dijodohkan oleh orangtuanya.
Gadis cantik yang menjadi primadona Rumah Sakit Jenggala itu mencoba bertanya pada diri sendiri, apa sebetulnya kesalahannya? Atau lebih tepatnya, mengapa dia sampai melakukan kesalahan? Terlepas dari siapa yang salah, kasus ini sudah menjadi bahan pembicaraan ramai di rumah sakit tempatnya bekerja. Anggraini merasa semua mata tertuju padanya, bagaikan tombak-tombak tajam yang menghunjam tubuhnya. Dia menjadi tertuduh tanpa sempat membela diri. Vonis sudah dijatuhkan. Soal eksekusi hanya masalah waktu saja.
Mengapa nasib malang ini menimpa padanya? Baru kali ini dia jatuh cinta namun malah menjadi masalah. Mengapa? Anggraini tak bisa menjawab. Dia tertidur entah berapa lama. Sampai akhirnya terbangun lantaran mendengar suara azan yang kali ini rasanya lebih keras dari biasanya. Entah ini azan sholat apa? Dzuhur kah? Ataukah sudah Ashar. Anggaini tersentak kaget.
“Ya Allah Gusti…. Ampuni hambaMU.”
Dia langsung tersadar bahwa belakangan ini sholatnya bolong-bolong. Sholat Tahajud tak pernah dilakukan lagi. Apalagi sepulang kerja dia asyik masyuk dengan kekasihnya hingga larut malam. Akibatnya tidak bisa bangun dini hari seperti biasanya. Apakah kesalahan ini yang menjadikan kemalangan baginya? Apakah kemalangan ini adalah hukuman baginya?
Terngiang nasehat ibunya ketika Anggraini dulu pamit hendak bekerja di rumah sakit.
“Jangan tinggalkan sholatmu ya nDhuk. Sering-seringlah sholat malam. Kalau perlu puasa Senin Kamis.”
Anggraini mengaku bersalah. Dia telah abai dengan kewajiban ibadahnya akibat terbakar api asmara. Dia melupakan pesan ibunya. Lupa nasehat ayahnya. Lupa puasa. Lupa semuanya. Semua gara-gara Dokter Panji. Ah tidak, itu salah dia sendiri. Lelaki baik hati itu tidak bersalah. Dia terlalu baik bahkan. Anggrainilah yang bersalah.
Anggraini bangun perlahan menuju kamar mandi. Dia ambil wudlu, lantas masuk lagi, menggelar sajadah, mengenakan mukena, sembahyang. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun dia tidak sembahyang. Kali ini dia khusuk sekali melakukannya. Air matanya membasahi sajadah.
Keesokan harinya Anggraini sudah agak tenang hatinya. Namun dia malas masuk kerja. Dia masih ingin merasakan kesendirian di kamar kosnya. Entah sampai kapan. Mungkin besok saja masuk lagi.
Sementara itu, Ibu Dewi merasa sangat cemas tidak melihat Anggraini beberapa hari terakhir ini. Kabar tentang isteri Dokter Luhur marah-marah kepada kepala Rumah Sakit sangat menggelisahkan hatinya. Dia kenal karakter perempuan itu. Seorang isteri yang suka mengatur sua-minya, suka mengatur anak-anaknya agar menuruti apa maunya. Dan satu hal lagi, dia temperamental. Maunya menang sendiri. Tak bisa disalahkan. Bahkan seluruh isi rumah sakit ini hendak diaturnya.
Ibu Dewi sangat khawatir sesuatu yang menyedihkan menimpa anak angkatnya. Oalahh Anggraini…. Kemana dirimu anakku……
Maka pada suatu hari, bagaikan disambar petir ketika Ibu Dewi mendengar kabar bahwa Anggraini sudah tidak ada? Hah? Apa maksudnya tidak ada? Sudah meninggalkah? Ibu Dewi tidak bisa menghubungi dimana Anggraini berada. Kabar yang berhembus kemudian, Anggraini sudah “dihabisi” oleh Ibu Permaisuri, julukan kepada isteri Dokter Luhur. Apakah ini sebuah eksekusi dari kema-rahannya di depan Dokter Brajanata?
Belum lagi reda soal kabar hilangnya Anggraini, beredar kabar baru yang tak kalah mengejutkan. Dokter Panji juga menghilang. Mau tak mau hal ini membuat semua rencana bubrah. Rencana regenerasi kepemimpinan rumah sakit Jenggala. Juga rencana perjodohan dengan Puteri Daha.
Ibu Permaisuri yang semula agak lega karena Anggraini sudah dilenyapkan, kini mukanya kusut lagi. Bedak tebalnya tak bisa menutupi kerut-kerut wajahnya yang semakin terlihat.
Anggraini hilang. Panji juga menyusul hilang. Entah dimana mereka.
(Bersambung)
PADA suatu malam, Anggraini dan Panji sedang berdua duduk di kursi yang berhadapan di sebuah restoran, Panji mengulurkan kedua tangannya. Anggraini melakukan hal yang sama. Tangan mereka saling bertautan. Saling meremas perlahan. Tak ada kata-kata yang terucapkan. Pandangan mereka bertatapan. Seolah lewat cara itulah batin mereka saling berkomunikasi. Dokter Panji tersenyum tipis. Anggraini juga tersenyum…