Amang Rahman Hidup Kembali (3): APAKAH AMANG RAHMAN SEORANG SUFI?

SOSOK Amang Rahman bagaikan sekeping mata uang logam dengan dua sisi yang berbeda. Satu sisi menggambarkan alam sufistik yang ngelangut, sepi, khusuk, dan penuh kontemplasi, tetapi di sisi lain dia adalah seorang humoris. Selalu menebarkan lelucon yang membuat orang lain gembira. Padahal penampilan fisiknya sama sekali tidak mengesankan seorang humoris. Penampilannya yang cenderung rapi, berambut putih agak panjang bergelombang, suka mengenakan baju lengan panjang, sehingga orang yang belum mengenalnya pasti menilai Amang adalah orang yang sangat serius.

Kesan tersebut mengemuka dalam diskusi buku “Estetika Sufistik Amang Rahman” karya Hajriansyah di Ada Sarang Gallery, Kasihan, Bantul, DIY, Rabu (5/4/23). Selain penulisnya, acara ini menghadirkan pemantik diskusi yaitu pelukis Nasirun dan Ugo Untoro, yang dipandu oleh Jumaldi Alfi, pelukis dan sekaligus pemilik tempat ini.

Dikatakan oleh Hajriansyah, ketika dia mengklaim bahwa Amang seorang sufi, banyak yang meragukannya. Karena dalam pandangan kita selama ini bahwa yang disebut sufi itu terwakili oleh figur-figur seperti Rumi, Ghazali, dan sebagainya. Apalagi teman-teman Amang tahu persis bagaimana kehidupan Amang di kala muda yang bisa dikatakan tidak alim-alim amat. Tetapi menurut Hajriansyah, gambaran yang sepertinya bertolak belakang pada diri seorang Amang justru menguatkan anggapan bahwa Amang Rahman adalah seorang sufi. Sebagaimana sosok Nasrudin Hoja, Abu Nawas, adalah nama-nama sufi yang dikenal banyak humornya. Termasuk juga Bahlul al-Majnun, Sufi “Gila” yang berani menasehati Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam konteks akademis hal ini tidak masalah karena sufi itu tidak harus serius-serius amat tetapi juga lucu.

Menurut Nasirun, Amang itu orangnya ramai sekali, menghibur orang lain dan sekaligus juga menghibur dirinya sendiri. Tetapi sesungguhnya Amang itu sangat sunyi, sangat introvert, suka merenung, yang tercermin dalam karya-karyanya yang ngelangut. Ketika mengantarkan ziarah ke makam, ketika orang lain sudah pulang, dia masih tinggal dan merasa tertinggal di makam tetapi merasa menemukan dirinya. Ketika hari-hari ini pelukis A.S. Kurnia meninggal dunia, kalau saja Amang dikabari maka dia biasanya akan berkata, “lho yang daftar kan saya duluan.”

Yang menarik dari karya Amang itu adalah kaligrafinya. Keindahannya adalah untuk mengagungkan Tuhan, cinta kasih, dzikrullah, seperti simbol tarekat. Ada kesadaran bahwa teksnya tidak menggurui publik dan tidak terjebak pada aturan atau isme.  Kaligrafi Amang Rahman memiliki gaya sendiri yang sangat Amang Rahman (personal).

Pada lukisannya yang lain Amang menghadirkan figur-figur yang surrealis, misalnya seorang wanita berambut panjang berbadan kuda yang mengingatkan pada sosok Buraq.  Dengan teknik yang tradisional namun menunjukkan kesufiannya. Sebagaimana dikatakan Zawawi Imron, Amang itu sangat ikhlas, tulus, dan ketika dia akan marah misalnya, “ya sudahlah aku akan melukis saja.”

Sedangkan Ugo Untoro memberikan pendapat, bahwa karya-karya Amang mirip dengan rata-rata pelukis Surabaya yang minim teknis namun ekspresinya sangat kelihatan. Baik expresi yang lembut maupun spontan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pergaulan para seniman pada masanya seperti Daryono, Krishna Mustajab, O.H. Supono, Rudi Isbandi, dan sebagainya.  Seperti syair-syairnya lagu Gombloh atau Leo Kristi yang memang puitis namun beda dengan puitisnya karya seniman Jawa Tengah misalnya. Puitisnya tidak melambai-lambai. Amang tidak lepas dari itu. Secara visual estetik Amang memang salah satu tokoh yang sangat mewakili “Kesurabayaan.”

Menurut Ugo, karya-karya Amang memang terasa sekali suasana religius atau spiritualnya namun hal itu tidak terlepas dari zaman itu. Zaman orde baru, di mana semuanya hampir menggunakan bahasa simbol, semuanya diperhalus, surrealisme. Hal senada dikatakan Hajriansyah, bahwa pada masa-masa itu memang kalangan seniman lebih banyak mengedepankan nuansa simbolik, cenderung sufistik sebagaimana yang dilakukan Amang.

Ditambahkan, meski secara materi Amang waktu itu sangat minim tapi mungkin merupakan sebuah kekuatan menghadirkan energi sufistik, di mana dia mencintai sesuatu tanpa mengharap balasan. Dalam hal ini Amang mencintai sepenuh hati Sang Pencipta tanpa berharap apapun. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mengharap, misalnya, berilah kehidupan yang lebih baik. Amang tidak begitu. Kalau kita bicara sufi maka yang namanya cinta memang total, tulus.

Memang kaligrafi Amang tidak menomorsatukan kalimat melainkan menjadi satu dengan visualnya sehingga Amang menyebutnya “Lukisan Kaligrafi” dan bukan sekadar kaligrafi biasa yang lebih mengedepankan tulisan indah. Kadang huruf-hurufnya tidak kentara namun yang nampak seperti gelombang. Hajriansyah menyebut karya-karya kaligrafi Amang memiliki posisi yang khas dalam seni lukis kaligrafi  Indonesia atau dunia kaligrafi pada umumnya.

Lukisan-lukisan Amang yang disebut-sebut surrealis itu bisa dikatakan “lebih banyak ceritanya ketimbang visualnya.” Jadi meskipun yang nampak adalah bulatan kuning di atas gelombang biru misalnya, maka kalau diceritakan bisa semalam suntuk tidak selesai.

Seperti Abu Nawas

Jadi kalau mengacu pada sosok Rumi, maka bisa jadi Amang memang bukan seorang sufi. Tetapi mungkin Amang berada pada satu medan yang sama dengan Abu Nawas atau Abu Nuwas (756-814), meski nama aslinya adalah Abu Ali Al Hasan bin Hani al-Hakami. Dia mendapat gelar Nuwas yang artinya ikal, merujuk pada rambutnya yang ikal. Beliau sosok yang cerdik, bijaksana, sekaligus lucu.  Nah, bukankah secara fisik Amang juga berambut ikal?

Amang sendiri memang mengagumi sosok Abu Nawas. Syair Abu Nawas Al-I’tiraf seringkali diceritakannya: Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa alaa naaril jahiimi. Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil azhiimi. Artinya: Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim. Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.

Syair ini sering dilantunkan sebagai puji-pujian di surau seusai azan sambil menunggu salat berjamaah.

Dikatakan Hajriansyah, pengertian sufisme sendiri ada banyak sekali. Konon ada yang mengatakan jumlahnya sebanyak umat manusia. Demikian pula pengertian tasawuf. Ada yang cukup mengatakan dengan pengertian, berubahnya akhlak dari buruk menjadi baik. Cukup seperti itu. Bagaimana mengubah logam biasa menjadi logam mulia, seperti proses kimianya Al Ghazali atau Ibn Arabi.

Amang nampaknya lebih banyak belajar langsung dari kehidupan itu sendiri. Bukan dari guru karena menurutnya semua orang adalah guru. Amang adalah tipe orang yang suka berteman sekaligus belajar. Bahkan orang yang sudah mati pun dianggapnya sebagai guru. Seperti dikisahkan A.D. Pirous, ketika berziarah, Amang masih berlama-lama di makam ketika semua orang sudah pulang. “Saya masih belajar kepada mereka,” jawab Amang merujuk orang-orang yang sudah meninggal dunia itu.

Bagi Pirous hal itu aneh banget tetapi menurut Amang itu hal yang biasa. Amang juga suka mengunjungi candi-candi kecil yang jarang dikunjungi orang. Dia hanya duduk di situ berlama-lama, merenung, seperti sedang berguru pada sesuatu.

Karena itu Amang Rahman banyak ditulis oleh Abdul Hadi WM, seorang penyair sufistik, yang menganggap bahwa Amang sevisi dengan dengannya dalam konteks jiwa zaman yang seperti itu.

Dalam lukisan-lukisannya yang nonkaligrafi Amang juga menghadirkan simbol-simbol yang sufistik, seperti pohon hayat, rembulan, di mana bulan sering diasosiasikan sebagai al Badar, bulan yang sempurna. Tetapi Amang juga suka melukis bulan sabit yang secara tradisional sudah kita kenal sebagai metafor-metafor para sufi. Tetapi Amang juga memiliki simbol-simbol yang personal miliknya sendiri berdasarkan hasil pengalamannya yang tidak mudah ditafsirkan. Misalnya lubang-lubang hitam yang terhampar di tanah atau malah berderet di sepanjang tubuhnya seperti lobang seruling. Atau menara yang menunjukkan seperti orang yang kesepian.

Hajriansyah lantas membeberkan perbandingan terhadap bentuk-bentuk dalam dunia sufistik yang kelihatannya diambil dari kehidupan sehari-hari namun memiliki makna yang dalam. Bagaimana bentuk-bentuk itu menghadirkan imajinasi, di mana menurut Ibn ‘Arabi, merupakan pertemuan antara alam yang fisik dan rohani. Sebagaimana dekorasi yang nampaknya profan namun manakala dilihat lebih mendalam memiliki pretensi dapat mengantarkan kita kepada suatu yang abstrak dan tak terhingga. Terlihat bentuk-bentuk pengulangan yang akhirnya memusat pada satu titik atau tak terhingga tanpa batas. Seperti harnya orang berdzikir yang selalu berulang dan konstan dan tanpa batas sampai suatu ketika ada kesadaran tersendiri bahwa kita berada di satu wilayah yang terbatas.

Dari situlah para seniman dan sufi mengambil inspirasi untuk kemudian diwujudkan dalam karya-karya mereka melalui simbol-simbol, misalnya anggur, bunga mawar, kuda, burung, pohon hayat, dan sebagainya. Simbol-simbol ini sebenarnya sudah sejak dulu umum di kalangan para sufi. Juga pada karya-karya Amang, di samping simbol-simbolnya sendiri yang personal dan khas Amang Rahman. Tidak sekadar mengambil dari perbendaharaan yang sudah ada, melainkan hasil pergulatan dirinya sendiri. Dalam hal warna misalnya, Amang memilih warna hijau kebiruan atau biru kehijauan sebagai simbol warna sorgawi.

Amang menolak disebut “Islam KTP” karena dia merasa memiliki pergulatan dengan diri sendiri untuk memahami Tuhan. Ketika pameran seni lukis Islam bersama A.D. Pirous, Sadali, dan sebagainya, di Jedah itulah Amang mengalami kilas balik. Ditambah lagi para pengamat yang menyebut-nyebut Amang sebagai sufi malah membuatnya tidak enak dengan dirinya sendiri. Akhinya pelan-pelan Amang mengubah dirinya juga. Salatnya menjadi rajin, termasuk salat malam yang terus menerus. Ketaatannya itu lebih banyak diketahui pihak keluarga ketimbang orang luar dan teman-temannya.

(bersambung)

SOSOK Amang Rahman bagaikan sekeping mata uang logam dengan dua sisi yang berbeda. Satu sisi menggambarkan alam sufistik yang ngelangut, sepi, khusuk, dan penuh kontemplasi, tetapi di sisi lain dia adalah seorang humoris. Selalu menebarkan lelucon yang membuat orang lain gembira. Padahal penampilan fisiknya sama sekali tidak mengesankan seorang humoris. Penampilannya yang cenderung rapi, berambut…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *