ANTOLOGI PUISI HENRI NURCAHYO

APAKAH yang disebut puisi itu harus berupa rangkaian kata-kata yang sulit dipahami maknanya? Apakah yang namanya puisi itu memang hanya dapat dimengerti oleh kalangan penyair dan seniman saja? Apakah puisi memang tidak perlu dimengerti dan dipahami, melainkan cukup dinikmati saja? Kalau memang jawabannya adalah “ya” maka dengan tegas saya katakan, “Maaf Saya Bukan Penyair”.

Apapun sebutannya, “puisi” yang selama ini saya tulis adalah puisi yang mudah dipahami oleh siapa saja. Kalau toh tidak diakui sebagai puisi juga tidak masalah bagi saya. Tetapi adalah hak bagi saya untuk menyebut karya-karya saya ini adalah puisi, setidaknya menurut kriteria saya sendiri.

Yang jelas, karya-karya yang terkumpul dalam buku ini memang sengaja ditulis dalam bahasa sederhana, mudah dipahami oleh siapa saja dan tidak perlu mengerutkan kening. Kemampuan saya memang seperti itu, menulis puisi (apapun sebutannya) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Kalau bisa dibuat mudah, mengapa dipersulit?

Hampir semua karya dalam buku ini saya tulis lantaran sedang terlibat dalam suatu kegiatan, dan dibacakan dalam kegiatan tersebut. Ini bukan puisi kamar, yang ditulis sambil merenung dan harus menyepi. Banyak puisi yang saya tulis ini justru ketika sebuah seminar sedang berlangsung. Lantaran memang dimaksudkan untuk dibacakan itulah maka jadilah puisi ini puisi yang cair, puisi yang sederhana, dan bukan puisi kamar yang perlu dicermati secara khusus.

Pengumpulan puisi-puisi dalam buku ini tidak disusun menurut waktu dituliskannya melainkan diurutkan sebagaimana topiknya supaya memudahkan membaca secara keseluruhan lantaran tidak meloncat-loncat.

Sidoarjo, 22 Januari 2018

Henri Nurcahyo

NYANYIAN PARA POHON

menyusuri  jalan-jalan sepi

melewati sawah-sawah dan tegalan

aku mendengar nyanyian para pohon

yang mengabarkan kecemasan

para pohon kini malas tumbuh besar

dan berkembang biak

karena mereka tahu

masa depannya tak bisa lagi panjang

kemanakah teman-temanmu

hai pohon jati

kemanakah teman-temanmu

hai pohon mahoni

kemanakah teman-temanmu

hai pohon pinus

kenapa aku makin sulit

menemukan pohon kemiri

kenapa aku makin jarang

bertemu pohon kedawung

kenapa aku tak pernah lagi

bertemu dengan pohon klerek

aku mendengar nyanyian para pohon

yang mengabarkan kecemasan

kemanakah nyanyian merdu

burung-burung di pagi hari

kemanakah akrobat indah

para bajing di ranting-ranting

kemanakah tarian mempesona para kera

yang berlompatan di setiap dahan

kemanakah kalong dan kelelawar

yang bergantungan nyaman di pohon-pohon

kemanakah teriakan burung rangkong

di atas pohon besar dan tinggi

bahkan nyanyian para tokek

kini menjadi makin jarang kudengar lagi

karena sering ditangkap dan dijual ke kota

aku mendengar nyanyian para pohon

yang mengabarkan kecemasan

dalam hutan lindung ada kebun jagung

dalam hutan lindung ada kebun pisang

dalam hutan lindung ada kebun singkong

di tanah-tanah miring yang kritis

justru menjadi hutan produksi

sumber air bersih kini makin langka

lahan-lahan produktif

telah berubah menjadi kebun villa

anak-anak muda desa malas jadi petani karena gengsi

masih bisakah kita menyempatkan diri

mendengar nyanyian kecemasan para pohon?

bukan hanya pidato politik

bukan hanya sibuk berkata-kata

bukankah kita hanya punya satu mulut dan dua telinga?

dengarkan nyanyian kecemasan para pohon

agar kita menjaga bumi

tempat kita hidup

tempat

kita

mati

seloliman, 26 mei 2010

APAKAH yang disebut puisi itu harus berupa rangkaian kata-kata yang sulit dipahami maknanya? Apakah yang namanya puisi itu memang hanya dapat dimengerti oleh kalangan penyair dan seniman saja? Apakah puisi memang tidak perlu dimengerti dan dipahami, melainkan cukup dinikmati saja? Kalau memang jawabannya adalah “ya” maka dengan tegas saya katakan, “Maaf Saya Bukan Penyair”. Apapun…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *