Ikut Misa Arwah Henricus Supriyanto, Apakah Auto Murtad?
Catatan Ringan Henri Nurcahyo
HARI Rabu, tanggal 19 Juli 2023, dilaksanakan Misa Arwah bagi almarhum Henricus Supriyanto yang meninggal dunia 100 hari sebelumnya, tepatnya 21 April 2023. Acara yang sama dibarengkan dengan misa untuk almarhum istrinya, Bernadeta Suryati, yang meninggal dunia 21 Juli 2022, satu tahun yang lalu. Kebetulan pula, 24 hari sebelum Henricus meninggal dunia, kakak kandungnya sudah mendahuluinya, namanya Gregorius Soeprasno. Misa ini juga sekaligus untuk mengenang 1000 (seribu) hari meninggalnya istri Soeprasno, Maria Juliana Soepadmi.
Saya sengaja ikut hadir acara ini, bukan sekadar menyaksikan tayangan zoom yang sengaja diselenggarakan bagi yang berada di luar kota. Maka sekitar pukul 12.15 saya naik bus dari Bungurasih menuju Malang. Saya sengaja turun di pertigaan menuju terminal Arjosari, biasa disebut Alfamart Kendedes, lantas jalan kaki beberapa puluh meter menuju tempat angkot ngetem. Angkot masih masih kosong menunggu penumpang. Saya malah senang, biar saja angkot tidak segera berangkat dulu, itung-itung sambil membuang waktu. Saya satu-satunya penumpang di situ. Jam masih menunjukkan pukul 13.45, padahal acara misa jam 15.00. Waduh, masih lama. Sejak ada jalan tol perjalanan Surabaya – Malang memang singkat. Hanya satu jam.
Kemudian ada dua ibu-ibu naik dan angkot langsung berangkat. Waduuh. Kok cepat? Betul saja, pintu pagar gereja St. Albertus de Trapani yang persis berada di seberang masjid Sabilillah Blimbing itu masih tutup. Trus ke mana enaknya? Agak di kejauhan terlihat sebuah warung kopi. Tapi kok sepertinya mau tutup? Ibu penjaganya sedang membereskan aneka minuman sachet yang tergantung dimasukkan kardus. Saya terpaksa diladeni karena hanya pesan segelas kopi. Ya sudah, dinikmati saja. Ada seorang lelaki duduk di sebelah saya, yang ternyata kemudian saya ketahui suami ibu penjaga warung. Di sisi lainnya ada tiga lelaki masih asik ngobrol.
Ternyata, baru saja kopi saya habis, pemilik warung bilang “Sampun Pak? Saya mau tutup.” Jam masih menunjukkan pukul 14.05. Trus mau ke mana ini?
Saya membatin, sebenarnya mengapa saya harus datang ke acara ini? Bukankah bisa mengikuti via zoom saja? Kalo mau memberikan buku, toh buku belum selesai dicetak. Kapan hari saya hanya cetak 10 eksemplar untuk uji coba saja, belum ada ISBN-nya. Cetakan kedua masih nunggu selesai. Mau wawancara lagi ke kerabatnya? Buat apa? Atau sekadar setor muka ke anaknya bahwa saya ikut hadir? Entahlah.
Lantas saya berjalan menuju arah lokasi gereja, ada sebuah bangku depan sebuah toko yang tutup. Ya sudah duduk di situ saja, sambil menunggu waktu dan ngetik catatan ini di hape. Tiba-tiba seorang lelaki mendatangi dan berkata entah bilang apa. Kurang jelas perkataannya. Dia lelaki kumal yang saya lihat tadi duduk tidak jauh dariku. Sepertinya dia (maaf) gelandangan. Dugaanku dia akan minta uang. Ya gak papa, aku akan kasi kalau dia minta. Lantaran dia berkata tidak jelas, aku tanya berulang-ulang. Ternyata dia berkata, “kulo bade wangsul” (saya mau pulang). Ya saya jawab saja, “monggo.” Trus dia berlalu.
Aneh, mau pulang mengapa dia pamit? Ketika aku menulis catatan ini terbersit pikiran “ah mungkin dia memang mau minta uang, tapi tidak terus terang.” Waduuh, mengapa aku tidak tanggap?
Ya Tuhaaan, ampuni hambaMu yang tidak peka ini. Aku toleh arah perginya, dia sudah tidak nampak lagi.
Lalu ada seorang lelaki tiba-tiba mendekat dan bertanya sambil menunjuk sebuah gedung di seberang: “Itu kantor Telkomsel ya?”
Aneh, padahal jelas-jelas ada sejumlah kata tertulis di depannya: Grapari, Indihome, Telkomsel. Dia bersama seorang perempuan, naik motor, dan bertanya lagi. “Masih buka gak ya?”
Orang ini gimana sih? Kan tinggal nyebrang saja dan langsung bertanya ke Satpamnya atau siapa saja di situ.
“Langsung ke sana saja Mas,” jawabku.
Jam digital di hape menunjukkan pukul 14.27, masih 23 menit lagi. Mau ngapain lagi ini?
Tiba-tiba datang seorang perempuan, tanpa berkata-kata dia menadahkan tangannya dari jarak 2 meter di depanku. Langsung aku ambil dompet dan memberinya uang 2 ribu rupiah. Itung-itung buat menebus rasa sesalku tadi lantaran tak peka kepada seorang gelandangan. Ahh kenapa kok cuma dua ribu? Sudah terlambat. Dia sudah berlalu.
Tiba-tiba saya jadi ingat seorang teman, yang begitu peka melihat orang gak punya. Dia langsung menyodorkan uang kepada orang yang terlihat tidak mampu, apa itu tukang sampah atau semacamnya. Padahal orang itu tidak minta. Sedangkan aku, jujur saja, aku tidak peka dengan hal-hal semacam ini.
Jam 14.32. Masih lumayan lama menuju jam 15.00. Apakah gereja sudah buka? Ah, aku coba saja berjalan ke sana Ah ternyata sudah buka. Jam menunjukkan pukul 14.38. Persiapan misa sedang dilakukan. Ditunggu saja. Menjelang pintu masuk saya disapa Tyas, putri sulung Henricus. Kemudian di pintu dalam berdiri berjajar beberapa lelaki menyambut tamu, di antaranya Marcus Supranyono (keponakan almarhum) dan Martinus Pribadi (adik almarhum). Saya menyalami keduanya karena memang sudah pernah bertemu beberapa waktu sebelumnya, saat ada acara Tribute to Henricus Supriyanto di gedung MCC (Malang Creative Centre).
Apakah Saya Auto Murtad?
Saya sudah di dalam gereja. Menunggu di bangku belakang sambil meneruskan mengetik catatan ini. Menurut jadwal misa akan dimulai jam 15.00. Masih 7 menit lagi. Kemudian lamat-lamat terdengar suara mengaji dari masjid Sabilillah. Ini memang waktu menjelang salat ashar. Waduh, gimana nanti jalannya misa kalau ada suara mengaji? Tidak lama kemudian misa dimulai, dan suara mengaji tidak terdengar lagi. Mungkin karena suara dari masjid yang tidak begitu keras terdengar dari dalam gereja, atau memang pengeras suara dalam ruang misa lumayan besar sehingga menenggelamkan suara apapun dari luar.
Selama misa berjalan saya beberapa kali mengambil foto sekadar untuk keperluan dokumentasi belaka. Satu demi satu acara berlangsung. Mulai nyanyi-nyanyi yang dilakukan sekelompok orang di sisi kanan depan. Sepertinya itu kelompok paduan suara, lantaran saya lihat ada Tyas, yang memang dikenal sebagai penyanyi.
Di ujung depan nampak seorang pendeta membawakan khotbah. Diselingi oleh seorang perempuan membacakan alkitab. Saya mendengarkan tidak begitu jelas, banyak kalimat yang hilang. Namun saya bisa saya tangkap isinya yang normatif sebagaimana khotbah rohani untuk mengenang dan menghormati arwah. Di latar depan berjajar empat buah foto berbingkai orang-orang yang sedang didoakan dalam misa ini.
Tibalah saatnya pendeta turun dari mimbar, membagikan sesuatu pada pengunjung yang mendatanginya. Saya penasaran, ikut saja maju, menadahkan tangan menerima sebuah bulatan putih entah apa. Saya masukkan saja ke kantong baju. Belakangan, ketika hal ini saya tanyakan kepada teman Katolik yang juga seorang pewarta, jawabnya:
“Itu hosti, makan saja.”
Ya sudah saya makan, saat itu posisi saya sudah berada dalam bus perjalanan pulang. Dan ternyata, benda bulat warna putih itu semacam opak jepit yang tawar rasanya. Saya makan sajalah meski terlambat.
“Yang maju kudunya Katolik. Kamu tadi maju tah? Trus nerimanya pake tangan kiri, diambil pakai tangan kanan dan dimasukin mulut,” katanya lagi.
Waduh saya salah lagi. Tadi memang saya lihat orang menerima dengan tangan kiri. Tapi karena menurutku kurang sopan maka saya menadahkan telapak tangan kanan di atas. Malah salah. Ya sudah, terlanjur.
“Udah makan hosti, nanti jadi Katolik loh,” ujar teman saya tadi melalui WA.
Tanpa makan hosti, bahwasanya saya mengikuti acara misa ini saja sudah terbayang-bayang “apakah saya auto murtad?” Sepanjang hidup ini rasanya ini kali ketiga saya ikut acara di gereja. Pertama ketika adik kandung saya yang pindah agama menjadi Katolik menikah di gereja Madura. Saya ikut masuk ke dalamnya dan mengkuti acara sampai usai. Kemudian saya juga pernah ikut acara misa di gereja Ganjuran Yogyakarta. Ya sekadar pingin merasakan auranya saja. Tetapi waktu itu saya tergerak ke luar ketika pendeta mendatangi pengunjung sambil memercikkan air.
Saya juga pernah ikut ritual sembahyang Hindu di Yogyakarta saat kuliah dulu. Juga di pura Marakrembangan Surabaya. Lagi-lagi, sekadar ikut merasakan auranya belaka. Khusuk rasanya. Bahkan ritual agama Buddha juga saya ikuti setiap pagi selama sepuluh hari berturut-turut ketika saya ikut retret meditasi di Singaraja, Bali. Waktu itu seorang Bhante (guru) sudah mengatakan, “kalau tidak sreg ikut ritual Buddha tidak apa-apa kok. Tidak wajib.”
Tetapi saya ikut saja. Sebagaimana peserta retret lainnya dari berbagai negara dan beragam agama. Ah, cerita soal retret ini sudah pernah saya tulis di blog saya dulu.
Kembali soal misa, ketika teman saya mengatakan bahwa saya sudah makan hosti dan menjadi Katolik, saya membalas WA-nya, “gak papa, ke luar dari gereja saya langsung salat Ashar, sudah jadi Islam lagi.”
Begitulah, seusai misa memang saya langsung menyeberang melalui jembatan penyeberangan menuju masjid. Sempat salah pintu masuk. Ada kelompok pengamen di pintu, saya langsung buka dompet, memasukkannya ke topi yang ditengadahkan. Setidaknya saya berusaha peka untuk beramal, jangan sampai kejadian ketemu lelaki gelandangan tadi terulang kembali.
Sambil membawa bingkisan nasi kotak dan kue dari misa, saya masuk masjid, berwudlu dan menunaikan salat ashar. Setelah itu melafalkan doa selamat yang di dalamnya terkandung permintaan tobat, barangkali keikutsertaan saya pada acara misa tadi memang salah dan auto murtad. Bahkan saya membayangkan, seandainya ada takmir masjid yang tanya, “dari mana? Gereja? Ikut misa? Wah itu sudah murtad namanya. Harus di-Islamkan lagi.”
Tapi itu hanya khayalan saya saja. Toh sendainya betul-betul terjadi, saya malah suka. Saya akan menikmati ritual peng-Islaman terhadap diri saya itu. Bukankah saya beragama Islam sudah menjadi warisan keniscayaan dari orang tua? Tidak ada kesempatan untuk memilih beragama apa.
Ketika hendak meninggalkan masjid, saya dekati kotak amal, saya buka dompet, nampak beberapa lembaran seratusan, lima puluh, sepuluh dan dua ribuan. Saya ambil yang sepuluh ribu, saya masukkan kotak. Waduh, bagaimana ongkos naik angkot nanti. Pakai uang 50-an? Apakah ada kembaliannya? Semoga saja ada.
Ternyata seperti dugaan saya, sopir angkot tidak punya uang kembalian. Ongkos angkot hanya lima ribu. Tidak cukup persediaan uangnya. Saya duduk di bangku depan. Tiba-tiba seorang ibu yang nampak tua menyodorkan uang sepuluh ribu, “sudah, sama saya saja.”
Lhadalah, ini gimana? Kok saya malah dibayari? Duh malunya. Ketika uang 50-an itu saya sodorkan ke kondektur bus patas, tentu saja ada kembaliannya, karena ongkosnya 40-ribu. Dalam perjalanan di atas bus, ketika sudah memasuki jalan tol, saya buka kotakan dan menikmati nasi yang lumayan mewah lauknya. Ada setusuk sate dengan irisan daging berbalur kecap yang lumayan besar. Daging apa ini? Jangan-jangan babi. Masak saya murtad lagi. Sate itu saya makan terakhir ketika semua isi kotak sudah habis. Pelan-pelan saya gigit, ahh ternyata daging ayam. Alhamdulillah.
Sudah ah, itu cuma catatan receh. Tapi lumayan panjang yaa. Maafkan saya.
Malang, 19 Juli 2023.
Catatan Ringan Henri Nurcahyo HARI Rabu, tanggal 19 Juli 2023, dilaksanakan Misa Arwah bagi almarhum Henricus Supriyanto yang meninggal dunia 100 hari sebelumnya, tepatnya 21 April 2023. Acara yang sama dibarengkan dengan misa untuk almarhum istrinya, Bernadeta Suryati, yang meninggal dunia 21 Juli 2022, satu tahun yang lalu. Kebetulan pula, 24 hari sebelum Henricus meninggal…