Benarkah Wong Jawa Ilang Jawane?
Oleh Henri Nurcahyo*)
Beredar berita bahwa Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, berencana menggunakan aksara Jawa pada nama-nama perkantoran di gedung Pemkot Surabaya. Eri ingin melestarikan dan mengingatkan sejarah Hanacaraka itu. “Wong Jowo ojok lali karo sejarahe (orang Jawa jangan sampai lupa dengan sejarahnya),” katanya.
Sepertinya apa yang akan dilakukan Eri ini untuk menjawab tudingan bahwa “Wong Jawa wis ilang Jawane” (Orang Jawa sudah hilang Jawanya). Benarkah demikian? Apakah yang dimaksud dengan “hilang Jawanya?” Sering kali orang lantas mengartikan “tidak bisa baca tulis hanacaraka.” Menurut saya, ini pemaknaan yang sangat sempit.
Selama ini kalau kita sebut “Orang Jawa” maka selalu merujuk Jawa Tengah atau Mataraman. Maka yang kemudian menjadi parameter adalah tatanilai dan budaya Mataraman, khususnya Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Inilah salah kaprah itu. Bahwasanya “orang Jawa” tidak hanya ada di Jawa Tengah saja. Warga Jawa Timur adalah juga termasuk etnis Jawa yang sama sekali berbeda dengan etnis Jawa Tengah. Jateng dan Jatim memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda. Tidak bisa disamaratakan. Apalagi Jatim bagian timur, seperti kawasan Pandalungan hingga Banyuwangi. Mereka lebih pas disebut kawasan Brang Wetan, sedangkan Mataraman adalah Brang Kulon.
Sebut saja satu contoh dalam hal bahasa. Dalam bahasa Jawa Tengah (Mataraman) dikenal ada tingkatan Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil. Tetapi di Jawa Timur pada umumnya hanya mengenal Ngoko, dan Krama Madya. Tidak ada Krama Inggil. Kata “kamu” dalam bahasa Indonesia, kalau diucapkan oleh warga Jawa Timur menjadi Koen, Riko, Peno. Kalau dihaluskan dalam Kromo Madya menjadi Sampeyan, atau Ndiko. Lantas, apa Krama Inggil-nya? Bukan Panjenengan? Itu sudah menjadi ranah bahasa Mataraman alias Etnis Jawa Tengah.
Etnis Jawa Timur itu (minus wilayah kulonan seperti Madiun dan sekitarnya) memiliki budaya yang egaliter. Tidak feodalistik sebagaimana Mataraman. Tidak ada kraton yang masih berdiri di Jawa Timur. Berbeda dengan Jawa Tengah dan Yogyakarta, di mana kraton menjadi pusat kebudayaan Jawa. Rakyat Jatim tidak perlu mundhuk-mundhuk atau jalan jengkeng dengan lutut kalau hanya sekadar menghadap pimpinannya. Kesopanan hanya sebatas nuwun sewu sambil menyorongkan telapak tangan miring ke arah bawah ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua atau tokoh masyarakat.
Jadi, ungkapan Wong Jawa wis ilang Jawane tidak bisa dinilai dengan penguasaan baca tulis Hanacaraka dan berbicara dalam Krama Inggil sebagaimana warga Mataraman. Jatim iku beda Rek. Suroboyo iku warganya egaliter. Tidak ada strata kebangsawanan yang hirarkis dan feodalistik.
Makna Kata Jawa
Karena itu ungkapan Wong Jawa wis ilang Jawane harus dipahami secara substantif, tidak sesempit baca tulis Hanacaraka dan harus berbicara dalam krama inggil. Yang dimaksud Jawa dalam ungkapan di atas lebih merujuk kepada tata nilai dan identitas budaya. Bukan sebatas aksara. Makanya ada ungkapan wong iku wis gak Jawa, artinya orang itu sudah tidak punya sopan santun, tidak punya tata krama, tidak ramah, dan perilakunya dinilai tidak menghargai orang tua. Wong Jawa wis ilang Jawane berarti orang Jawa yang sudah kehilangan jatidirinya sendiri, berarti sudah tercerabut akar budayanya, sudah kehilangan identitasnya, dan terpolusi oleh budaya luar (tidak hanya Barat, bahkan juga Arab). Bukan lantas hanya dimaknai tidak bisa baca tulis Hanacaraka.
Memang tidak dapat dihindari bahwa pengaruh budaya global sudah sedemikian besar dan kuat merasuk dan menjadi bagian budaya Indonesia dalam banyak hal. Mulai dari bahasa, busana, kuliner, arsitektur, tata nilai, dan sebagainya. Ini memang tidak dapat ditolak. Justru keragaman budaya global itulah yang memperkaya budaya nusantara. Misalnya saja, pernah ada yang gencar menolak dan antipati terhadap busana gamis dan bercadar lantaran dianggap budaya Arab. Padahal tanpa disadari busana yang kita kenakan sehari-hari (rok wanita atau celana panjang lelaki) bukan budaya asli nusantara. Itu bagian dari budaya Barat. Jadi kalau menolak busana Arab, mengapa masih mengenakan budaya dari budaya Barat? Mengapa tidak sekalian berbusana beskap dan klangkon saja untuk menunjukkan identitas orang Jawa? Berani?
“Banyak orang Jawa yang sudah hilang Jawanya,” ujar mereka yang masih mengenakan jeans dan baju model Barat.
Karena itu kalau memang Wong Jawa agar tidak ilang Jawane, mengapa hanya sebatas aksara Hanacaraka belaka? Mengapa tidak sekalian mewajibkan berbusana adat Jawa dalam kegiatan perkantoran? Memang sudah pernah ada kebijakan mengenakan busana adat di sekolah pada hari-hari tertentu, meski tidak harus dilaksanakan setiap hari. Artinya, kita tidak usah antipasti dengan budaya luar namun harus tetap ingat dan menjaga budaya bangsa sendiri. Silakan mengadopsi budaya luar tetapi jangan sekali-sekali merendahkan budaya bangsa sendiri, apalagi minder, dan lantas membencinya.
Jadi, kembali lagi pada kebijakan menuliskan aksara Jawa pada nama-nama perkantoran di Surabaya, rasanya kok terlalu mengada-ada. Kota Surabaya bukan habitat aksara Hanacaraka. Coba saja nanti dilihat, siapa yang masih dapat membaca aksara hanacaraka di kantor-kantor tersebut? Arek Suroboyo gak usah isin gak bisa baca Hanacaraka. Biarlah pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah mempraktekkan menulis aksara Jawa yang disandingkan dengan aksara Latin pada nama-nama jalan dan perkantoran. Tetapi untuk kota Surabaya tidak usahlah berbuat hal yang sama. Suroboyo iku duduk Mataraman Rek. Kita tidak wajib bisa baca tulis Hanacaraka. Juga dan tidak usah malu. Jujur saja, selama ini kita, warga Jatim termasuk Surabaya dihegemoni oleh nilai-nilai budaya Mataraman.
Apalagi kebijakan menuliskan aksara Jawa itu lantas disertai dengan tuduhan bahwa Wong Jawa wis ilang Jawane. Saya kira tidak sesempit itu maknanya. Menuliskan aksara Jawa itu hanyalah permukaan belaka, hanya kulitnya. Tak ubahnya dengan mewajibkan berbusana Jawa pada anak-anak sekolah atau bahkan karyawan perkantoran. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai budaya bangsa sendiri tetap terjaga, tetap menjadi bangsa yang sopan, bangsa yang ramah, suka tolong menolong, berbudi baik. Itulah sesungguhnya maka hakiki kata “Jawa” itu.
Ungkapan Wong Jawa ojo nganti ilang Jawane harus dipahami sebagai ungkapan yang mengandung nilai dan aspirasi untuk mempertahankan identitas budaya yang kaya tetapi juga mengakui dinamika budaya yang selalu berubah. (*)
*) Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan. Pegiat dan Penulis Budaya Panji
Oleh Henri Nurcahyo*) Beredar berita bahwa Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, berencana menggunakan aksara Jawa pada nama-nama perkantoran di gedung Pemkot Surabaya. Eri ingin melestarikan dan mengingatkan sejarah Hanacaraka itu. “Wong Jowo ojok lali karo sejarahe (orang Jawa jangan sampai lupa dengan sejarahnya),” katanya. Sepertinya apa yang akan dilakukan Eri ini untuk menjawab tudingan bahwa…
Manfaat Mantaf full pemikiran sae sanget nderek seneng banget membuka cakrawala berpikir logis dan kreatif ✒️