
Timun Emas, Generasi yang Dikejar Raksasa Zaman
Catatan Henri Nurcahyo
KETIKA naskah-naskah cerita Panji ditetapkan sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World) oleh UNESCO pada 31 Oktober 2017, dunia seolah diingatkan kembali akan kekayaan narasi lokal Nusantara yang tidak sekadar dongeng cinta dan peperangan, tetapi juga peta nilai, ekologi, dan imajinasi masa depan.
Raff Dance Company Indonesia membaca sinyal itu dengan jeli. Dalam tiga karya terakhirnya, kelompok ini menelusuri ulang jejak cerita rakyat yang akarnya bersambung dengan dunia Panji: Ande-ande Lumut, Keong Emas, dan kini Timun Emas. Ketiganya diterjemahkan ulang ke dalam pertunjukan kontemporer yang dekat dengan dunia anak dan remaja. Bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai perenungan tentang siapa kita dan ke mana kita menuju.

“Petualangan Timun Emas” disajikan di Gedung Cak Durasim Surabaya, Minggu sore (13/7/25), sebagai pertunjukan yang mengakomodasi murid-murid sanggarnya. Tidak heran pergelaran itu mayoritas pemainnya adalah anak-anak kecil yang menjadi pemeran pelengkap dengan tarian dan nyanyian riang gembira. Para orangtuanya pun gembira, anak-anak bersuka cita bisa meluapkan energi positifnya pada hari terakhir masa liburan panjang.
Dongeng Timun Mas yang terkenal itu memang selalu disebut-sebut sebagai salah satu varian Cerita Panji. Namun yang tak banyak diketahui, ada banyak versi dongeng Timun Mas, sementara versi mainstream yang dikenal selama ini sebetulnya bukan termasuk Cerita Panji. Dongeng versi Panji, tidak dikenal ada lautan lumpur yang menenggelamkan raksasa. Nama Timun Mas itu bukan bayi yang lahir dari buah timun, melainkan Dewi Sekartaji yang menyamar. Dalam versi Panji, raksasa (Buto Ijo) tidak tenggelam di lautan lumpur yang tercipta dari lemparan terasi, melainkan dikalahkan oleh seorang pemuda petani, yang ternyata samaran dari Raden Panji Asmarabangun.
Sebagai sutradara, Arif Rofiq nampaknya tidak mau terjebak dalam perbedaan varian itu. Mantan pejabat di lingkungan Disbudpar Jatim ini hanya mengambil intisarinya. Raff Dance Company Indonesia menyuguhkan tafsir segar yang menggairahkan. Benang merah dari beragam versi dongeng Timun Mas itu adalah adanya adegan seorang gadis remaja bernama Timun Mas dikejar oleh raksasa yang hendak memangsanya. Kali ini Rofiq menyajikannya bukan sebagai kisah klasik biasa tentang seorang anak perempuan pemberani yang menghindari kejaran raksasa. Di atas panggung, Timun Emas adalah simbol generasi emas, anak-anak yang lahir dengan potensi besar, namun hidup di tengah bayang-bayang Buto Ijo, figur rakus yang hendak menelan masa depan.
Sebagaimana lagu pengantar dalam pertunjukan ini: Seiring waktu yang makin tak menentu, dunia dihadapkan pada kenyataan baru yang sering kali membingungkan, kita menyebutnya era post-truth, ketika kebenaran dibengkokkan, ketika batas antara fakta dan opini kabur. Di tengah arus yang deras itu, anak-anak menjadi penonton sekaligus korban dari narasi yang tidak selalu berpihak pada masa depan mereka.
Melalui pertunjukan ini, ingin dihadirkan suara yang berbeda. Suara dari generasi muda yang tak ingin sekadar diam, tapi tampil ke depan. Anak-anak yang tidak hanya pandai menari atau bernyanyi, tapi juga berani bersuara: “Hai, aku anak jagoan, penerus masa depan!”
Mereka ingin didengar. Mereka ingin dihargai bukan karena kelucuan masa kecilnya, tapi karena harapan besar yang mereka bawa. Mereka berdiri, menantang siapa pun yang meremehkan keberanian mereka. Dalam pertunjukan ini, anak-anak tidak lagi berada di belakang. Mereka tampil terdepan, melawan segala bentuk ancaman terhadap kehidupan: perusak alam, penyebar hoaks, dan siapa saja yang mencoba merusak dunia yang seharusnya menjadi milik bersama.
Melalui lagu, gerak, dan cerita, mereka mengajak kita semua: ayo, ayo lawan! Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keberanian berpikir jernih, dengan solidaritas, dan dengan kerja keras yang tekun. Mereka adalah generasi emas, anak-anak yang percaya bahwa masa depan tidak diwariskan begitu saja, tetapi dibentuk dari semangat hari ini.
Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah pernyataan bahwa setiap anak punya potensi untuk memimpin, untuk menjaga dunia, untuk mengubah cerita. Di tengah zaman yang penuh kabut, anak-anak perlu dibekali dengan keyakinan: bahwa mereka bisa percaya pada dirinya sendiri, pada keluarganya, pada negerinya, dan pada dunia ini. Karena merekalah pemilik masa depan. Dan masa depan itu dimulai sekarang.

Bukan Sekadar Timun
Memaknai Timun Mas sebagai generasi emas adalah tafsiran yang cerdas. Timun adalah simbol sesuatu yang rapuh, lemah, mudah hancur, sebagaimana peribahasa “ibarat timun melawan durian.” Sedemikian tidak berharganya timun sehingga ada ungkapan Jawa Timun wungkuk jaga imbuh (hanya diberikan gratis). Sedemikian lemahnya sampai-sampai bisa dibor (dilubangi) dengan jari tangan (timun jinara). Namun dari sesuatu yang lemah dan mudah hancur itu menjelma menjadi seorang gadis yang mengalahkan raksasa. Padahal perempuan sering dicitrakan sebagai makhluk lemah.
Dalam pertunjukan ini, timun bukan sekadar properti atau senjata ajaib. Ia adalah simbol yang kaya tafsir. Di tangan Raff Dance Company, mentimun menjadi lambang kesejahteraan pangan, buah yang tumbuh dari tanah, menyegarkan tubuh, dan menyambung hidup.
Secara botani, timun (mentimun) adalah buah. Ia tumbuh dari bunga dan menyimpan biji di dalamnya. Tapi dalam dapur dan ingatan kita sehari-hari, timun kerap disebut sayur. Ia ikut dalam lalapan, acar, atau teman nasi goreng. Timun adalah buah yang menyamar jadi sayuran, seperti halnya cerita lama yang menyamar menjadi dongeng anak-anak, padahal diam-diam menyimpan kode tentang masa depan. Barangkali karena itu pula Timun Emas tidak datang dengan pedang atau api, melainkan buah, bambu, dan air, tiga hal yang justru dibutuhkan zaman untuk bertahan dari rakusnya Buto Ijo yang kini menjelma dalam banyak wujud.
Begitulah, dongeng adalah dunia simbol. Sangat naïf kalau memahami dongeng secara wantah saja. Timun sebagai timun, Mbak Randa sebagai janda. Ini juga menarik, mengapa seringkali muncul sosok janda? Mengapa namanya Dadapan? “Dadap” adalah nama sejenis pohon yang cukup dikenal di wilayah tropis. Nama ilmiahnya adalah Erythrina variegata (juga dikenal sebagai coral tree dalam bahasa Inggris). Daunnya lebar, biasa digunakan untuk pakan ternak. Bunganya merah menyala. Kayunya ringan dan tidak awet, sering dipakai untuk tiang sementara atau pagar hidup. Banyak ditanam sebagai pohon pelindung atau pembatas lahan.
Randa Dadapan adalah janda dari pinggiran, janda dari tempat yang rapuh atau sementara, atau sosok yang tidak lagi memiliki tempat utama di tatanan sosial. Dia adalah penjaga gerbang cerita. Sosok yang menyimpan rahasia atau memberi nasihat. Kadang sebagai penyihir, kadang sebagai ibu angkat. Ia adalah sosok perempuan tua yang bijak, marginal, tapi memiliki pengetahuan magis atau peran kunci dalam alur cerita.

Pertanyaan dasar yang melandasi pertunjukan ini begitu tajam: “Mengapa selalu ada Buto Ijo yang mengejar anak untuk dimakan? Mengapa cerita berhenti hanya pada pembekalan senjata dan pelarian?”
Dari kegelisahan itu, pertunjukan ini menjelma menjadi kritik dan harapan. Dalam versi ini, Buto Ijo bukan sekadar makhluk jahat, tapi cerminan dari keserakahan manusia yang ingin menguasai hutan, gunung, bahkan kehidupan itu sendiri. Ia tak ingin ada generasi baru yang tumbuh, yang bisa mengganggu status quo.
Timun Emas hadir bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi untuk merebut kembali hak hidup yang lestari. Dibantu seorang nenek yang merupakan jelmaan bidadari yang turun dari langit, ia mendapatkan bukan hanya senjata, tapi lambang-lambang keberlanjutan: buah mentimun (kesejahteraan pangan), pohon bambu (kelestarian alam), dan air (sumber kehidupan).
Panggung menjadi ruang tafsir. Koreografi menari di antara gerak tradisi dan tarikan kontemporer. Cahaya, musik, dan kostum menyatu dalam bahasa tubuh yang mengajak penonton, khususnya anak-anak, untuk memahami bahwa dunia ini bukan sekadar arena dongeng, melainkan medan keberanian dan pilihan.
Menariknya, pertunjukan ini tetap bersetia pada akar cerita Panji. Negeri Daha dan Jenggala bukan sekadar latar imajiner, melainkan benang merah yang menautkan masa lalu dengan tafsir masa kini. Di akhir cerita, pemuda dari Jenggala menjemput Timun Emas dan nenek untuk kembali ke Daha, menyatukan kembali yang tercerai oleh kekuasaan dan kerakusan.
Sosok Raden Panji dimunculkan sebagai seorang pemuda yang mengajarkan Timun Mas bela diri, tanpa diketahui bahwa dia adalah bayi kecil yang dijadikan sayembara ketika diculik raksasa. Dan sebagaimana akhir cerita Panji, maka kemenyatuan Timun Mas dan Raden Panji menjadi simbol perdamaian. Mereka kembali ke kerajaan Daha, membangun masa depan baru.
Raff Dance Company Indonesia bukan sekadar mementaskan cerita lama. Mereka menghidupkan kembali ingatan kolektif, lalu memutar cermin ke arah kita: masih adakah Timun Emas yang kita lindungi hari ini? Atau justru kita sendiri yang perlahan berubah menjadi Buto Ijo?
Dongeng tak akan punah, selama ada seniman yang terus menafsirkan. Dan Timun Emas kali ini bukan hanya bertahan. Ia melawan, bertumbuh, dan menanam harapan. (*)
Foto-foto Herman (dok. Raff Dance Company Indonesia)
Catatan Henri Nurcahyo KETIKA naskah-naskah cerita Panji ditetapkan sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World) oleh UNESCO pada 31 Oktober 2017, dunia seolah diingatkan kembali akan kekayaan narasi lokal Nusantara yang tidak sekadar dongeng cinta dan peperangan, tetapi juga peta nilai, ekologi, dan imajinasi masa depan. Raff Dance Company Indonesia membaca sinyal itu dengan…