
Omah Petroek, Oasis Rohani di Kaki Merapi
Catatan Henri Nurcahyo
BERADA di sebuah kawasan pedesaan yang tersembunyi, sekitar 23 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, ternyata ada sebuah destinasi wisata yang istimewa. Ini bukan destinasi yang mainstream yang hanya memanjakan mata (apalagi sekadar instagramable), melainkan ruang perjumpaan antara alam, seni, spiritualitas, dan keberagaman. Namanya “Omah Petroek Karang Klethak.” Sebuah oasis rohani di Yogyakarta yang mengajak siapa saja, dari rakyat biasa hingga pemimpin bangsa, untuk datang, menepi, dan merenung.
Omah Petroek dibangun dengan semangat ekologis. Berada di atas kebun tua dan menempel di jurang Kali Boyong, tempat ini tidak menebang pohon demi bangunan. Justru, pembangunan dilakukan menyesuaikan alam. Akar tanaman kadang harus “dimenangkan”, bukan dilawan. Penginapan-penginapan semi permanen berdiri teduh di antara rimbun pohon, menyatu dalam kesunyian yang menyejukkan. Suhunya rendah, cocok untuk healing dan perenungan diri.
Keberadaan tempat ini sangat erat dengan nama Sindhunata. Seorang wartawan senior, penulis spiritual, budayawan, dan pemikir humanistik. Maka apa yang tersaji di hamparan lahan yang entah berapa hektar luasnya ini adalah visualisasi dari dunia Romo Sindhu sebagai pendirinya. Ia memadukan seni, filsafat, literasi, dan cinta tanah air dalam bentuk yang bisa disentuh dan dirasakan. Omah Petroek adalah manifestasi cinta itu, bagi manusia, bagi bumi, bagi Indonesia. Dan itulah istimewanya. Sebuah museum yang sangat lengkap tentang seorang tokoh dan dunianya, justru ketika yang bersangkutan masih hidup, dan dibangun oleh dirinya sendiri. Hal ini mengingatkan pada sosok Ciputra, yang namanya digunakan untuk bank, perguruan tinggi, properti, dan sebagainya, ketika dia masih hidup. Biasanya, museum semacam ini dibangun untuk mengenang tokoh yang sudah tiada.

R.P. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J, nama lengkapnya, terlahir dengan nama Liem Tiong Sien, namun lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata. Lahir 12 Mei 1952, juga dikenal dengan panggilan populernya Rama Sindhu (atau dibaca “Romo Sindhu” dalam bahasa Jawa) adalah seorang Imam Katolik ordo Serikat Yes (Yesuit) dan, redaktur majalah kebudayaan “BASIS”. Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampung kelahirannya di kaki Gunung Panderman, Kota Batu.
Mengapa bernama Omah Petruk? Petroek, salah satu Pandawa Lima dalam jagad pewayangan; sosok pintar, cerdas dan gagah; lambang kawruh (belajar) pengetahuan, lambang kebahagiaan ‘senang bergurau”. Petruk, punakawan jenaka yang lahir dari rakyat. Petroek adalah keaslian dari dalang sebagai vox populi, suara rakyat. Petroek memiliki gelar “Ki Lurah Kantong Bolong”. Artinya, tidak menyimpan, selalu memberi; sugih ora nyimpen, kaya tanpa harus menyimpan harta. Dia murah hati, memberi dalam arti apapun lebih-lebih dalam hal pengetahuan, dan suka menolong. Petroek juga disebut ronggung-jirang (loro nanggung siji kurang). Petruk adalah tokoh yang bisa hadir sebagai siapa saja: rakyat jelata, abdi dalem, bahkan raja. Ia adalah simbol kesetaraan, keterbukaan, dan kelenturan identitas. Di sinilah nilai Omah Petroek berpijak: menerima siapa pun, dari mana pun, tanpa memandang status.
Maka spot yang bernama “Kompleks Omah Petruk” terdiri dari ruang pertemuan, pendopo Zoetmulder, Café Petroek, toko suvenir, dan tempat beristirahat, semuanya 11 bangunan.

Anak Bajang
Sebagai penulis, Sindhunata dikenal dengan karyanya yang sudah dicetak berulangkali, yaitu “Anak Bajang Menggiring Angin” yang merupakan antologi tulisan tentang Mahabarata. Belakangan muncul lagi karya dengan judul “Anak Bajang Mengayuh Bulan.” Novel tersebut menceritakan kisah lanjutan dari Sukrosono dan Sumantri dalam dunia pewayangan.
Mengapa memilih sosok Anak Bajang? Anak Bajang atau Bocah Bajang adalah figur dalam cerita wayang, yang digambarkan sebagai raksasa kecil. Namun figur ini tidak jelas menunjuk pada seorang pribadi. Figur itu lebih mengesankan sebuah gambaran atau bayang-bayang. Sebutan Anak Bajang biasanya ada dalam tuturan dalang wayang, menjelang berakhirnya tuturan goro-goro, yang menggambarkan alam sedang berada dalam kegoncangan dan ketidakseimbangan. Setelah itu sinden, penyanyi perempuan, menyambutnya dengan lagu yang merdu dan indah tentang Anak Bajang, yang menggiring angin dan menguras samodra. Dengan nyanyian Anak Bajang ini, goro-goro pun menjadi reda.
Dalam buku “Anak Bajang Menggiring Angin,” Anak Bajang adalah simbol mahkluk yang tidak sempurna. Justru karena tidak sempurna, ia menjadi rindu akan kesempurnaannya. Ini kebalikan dengan manusia. Manusia yang diciptakan sempurna malah sering menyia-nyiakan kesempurnaannya. Maka Anak Bajang boleh menjadi pengingat, mengapa kita sering lupa bersyukur atas kesempurnaan diri dan hidup kita sebagai manusia di dunia ini.
Salah satu spot dalam kompleks Omah Petruk ini bernama “Kompleks Ashram Anak Bajang,” yang terdiri dari koleksi lukisan, patung dan instalasi yang rnenggambarkan diri Anak Bajang. Mulai dari kelahirannya, perjalanan dan pengabdian hidupnya, ciri-cirinya, sampai pada pencerahannya. Kerinduan Anak Bajang ada sejak purba. Maka di Ashram ini juga diletakkan benda-benda yang membayangkan kepurbaan dan keklasikan, yang ikut dalam perjalanan hidup manusia.
Selain itu juga terdapat “Ruang Anak Bajang” dan “Ruang Sindhu Sekoel.” Ruang Anak Bajang menyajikan berbagai wujud figurasi dan visualisasi tokoh “Anak Bajang” dari novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Anak Bajang Mengayuh Bulan. Bajang mewakili sosok buruk rupa yang terpinggirkan dalam kehidupan keseharian, tetapi memiliki watak bertanggung jawab. Anak Bajang menjalani laku menempa-diri dengan harapan dapat mencapai kesempurnaan.
Museum Anak Bajang juga memajang koleksi istimewa: lukisan, mesin ketik milik Douwes Dekker yang disumbang oleh Yenny Wahid, benda-benda bersejarah lima tokoh pendiri pers Indonesia, hingga penggambaran tujuh agama lengkap dengan relief Gus Dur menaiki barongsai, semua menjadi pengingat bahwa keberagaman bukan masalah, tapi anugerah.
Sedangkan “Ruang Sindhu Sekoel” menampilkan ulasan karya seni dan intelektualitas terhadap sosok-sosok yang merepresentasikan figur Anak Bajang. Mereka seniman mumpuni yang mengabdikan hidupnya bagi pencapaian laku berkesenian. “Sekoel” (Jawa: nasi) melambangkan sumber inspirasi dan nafkah penghidupan sehari-hari.

Museum Literasi
Dalam ruang Sindhu Sekoel terdapat koleksi buku-buku yang telah ditulis oleh Sindhunata, wartawan dan sastrawan. Koleksi itu terdiri dari buku-buku laporan jurnalistik, kumpulan esai, pemikiran, novel dan puisi. Isi buku-buku itu bukan mengenai penulis, tapi tokoh-tokoh yang dijumpai penulis dalam tugas jurnalistik. Juga sejumlah pemikiran filosofis dan teologis. Dari tokoh-tokoh itu kita bisa belajar tentang kebijaksanaan hidup, atau tentang pemikiran-pemikiran kritis. Kita juga bisa membaca karya-karya sastra yang disajikannya. Dalam ruang ini juga dipamerkan beberapa karya lukis atau patung. Maksudnya, bukan untuk pameran karya seni. Tapi untuk menghidupkan suasana buku-buku yang dipajang. Inspirasi karya seni yang ada sebagian diambil dari isi buku-buku koleksi ruang ini.
Dalam bahasa Jawa, sekoel artinya nasi. Sebagai bunyi, sekoel kedengaran seperti school (Inggris/Belanda). Dengan menggunakan kata “Sindhu Sekoel,” ruang ini mengajak pengunjung untuk memahami dan menerima buku itu bagaikan nasi yang kita makan sehari-hari. Seperti halnya kita membutuhkan nasi, demikian pula kita membutuhkan buku untuk hidup ini. Kata ini juga memaksudkan, agar buku, membaca dan menulis itu bukan hal yang jauh dari kita, tapi hal yang amat dekat dengan kita, sedekat kita dengan nasi, santapan kita setiap hari.
Ada spot yang disebut “Ruang Kapujanggan.” Terdiri dari Ruang Basis dan Ruang Insulinde. Ruang Basis menyajikan perjalanan Majalah Basis sejak pertama terbit, 1951 sampai saat ini. Di depan pintu masuk terdapat patung dada (bust) editor-editor utama Majalah Basis di awal berdirinya, yaitu P.J. Zoetmulder, N Drijarkara dan Dick Hartoko. Ruang Basis menegaskan konsistensi dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan yang dipegang teguh oleh figur Anak Bajang melalui telaah dan catatan budaya, seni, pendidikan, sejarah dan filsafat. Ruang Basis juga merekam jejak kegigihan misionaris Katolik sebagai cerminan ‘Anak Bajang’ di Jawa abad ke-19, yang terlibat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ruang Insulinde menampilkan akar keberpihakan Majalah Basis, yaitu kehidupan masyarakat biasa sebagai ‘Anak Bajang’ diwakili oleh atribut dan pernak-pernik keseharian tukang becak.
Di spot ini juga terdapat kursi Van Lith. Sebuah kursi yang pernah dipakai oleh Fransiscus van Lith, misionaris Jesuit asal Belanda yang mendirikan sekolah di Muntilan pada akhir abad ke-19. Kursi ini koleksi P.J. Zoetmulder. Di ruang yang sama terdapat sebuah sepeda angin yang pernah digunakan oleh Pastur Jesuit romo Zoetmulder semasa menjadi guru besar di UGM. Sepeda inilah yang digunakan ketika Zoetmulder sering mengunjungi rumah Pak Kibat sejauh 16 kilometer. Pak Kibat adalah sekretaris sekaligus asistennya dalam menyusun Kamus Jawa Kuno. Sepeda ini yang juga digunakan untuk menyapa jamaahnya.

Museum Merapi
Satu hal yang istimewa dari Omah Petruk ini adalah menggabungkan antara museum, perpustakaan, dan juga menghadirkan ruang perenungan spiritual dari berbagai agama. Ada langgar kecil, kapel sunyi, vihara sederhana, pura teduh, bahkan patung Dewi Kwan Im di Sendang Nganten. Lokasi ibadah ditempatkan secara harmonis: yang memerlukan ketenangan meditatif berada di bibir jurang, menjauh dari hiruk-pikuk duniawi. Kesemuanya ini adalah simbol hidup rukun dalam satu lingkungan, mewakili wajah pluralisme Indonesia.
Ada yang disebut “Panepen Mbok Turah.” Terdapat sebuah patung yang menggambarkan sosok bernama Mbok Turah, yang merupakan figurasi cerita rakyat sekitar Merapi. Mbok Turah adalah sosok perempuan dari gunung Merapi, yaitu Nyai Ageng Sekar Niti. Ia menyamar sebagai orang sederhana untuk menolong penduduk desa. Sosok Nyai Ageng Sekar Niti menyediakan diri sebagai tempat orang berkeluh kesah, mencurahkan isi hati dan pikirannya, tentang apapun. Mbok Turah adalah cikal bakal “danyang.” Turah artinya lebih yang tidak berlebihan; cukup tetapi turah. Sisa sedikit, tidak banyak. Gambaran tersebut dilengkapi dengan patung Mbok Turah karya Ismanto.
Satu spot lagi bernama “Pura Gadhung Mlati” yang dibangun oleh seniman dan budayawan dari Bali dengan koordinator Putu Sutawijaya. Patung Ganesha dan patung Durga hadiah dari sebuah sanggar di Bali, di mana salah satu sesepuh sanggar sangat menghormati dan menyintai P.J. Zoetmulder. Di DIY Pura Gadhung Mlati merupakan satu-satunya pura yang berada di lereng gunung. Pura ini digunakan umat Hindu untuk pemujaan. Nyai Gadhung Mlati adalah dewi dalam mitos Kraton Merapi, sosok yang memberikan kehijauan dan kesuburan setelah luapan lahar.
Tentu saja, bicara Merapi tidak terlepas dari sosok Mbah Marijan. Di tempat ini dibuatkan patungnya dengan nama Petilasan Mbah Marijan, yang digambarkan sedang menghadap sesajen untuk berdoa. Di latar belakangnya dipajang sebuah lukisan peristiwa erupsi Merapi dengan judul “Kraton Merapi.” Merapi disebut kraton karena dipercaya dihuni mahluk-mahluk halus, seperti anak-anak bajang. Dalam lukisan itu juga digambarkan sosok Kumbakarna yang berbudi baik itu gugur. Iapun naik ke Kraton Merapi diiringi figur anak-anak bajang. Gunung Merapi, ibarat orang harus mendakinya, bila mau mendekat ke arah surga. Untuk itu ia juga harus berani menyeberangi laharnya yang kelihatan seram. Tetapi sesudah melewatinya orang akan sampai ke sebuah kerajaan yang indah, damai, dan diwarnai kehidupan. Kematian adalah jalan menuju itu. Kumbakarna adalah lambang orang yang dengan kematiannya mendaki ke ketinggian untuk menuju surganya yang abadi. Pun pada akhir kisah Mahabarata, Pandawa bersama Drupadi pulang kepada gunung setelah begitu payah menyangga kekuasaan duniawi. Mereka meninggalkan harta, tahta, juga ego. Cukup hakikat diri sebagai hamba yang menerangi jalan batin agar bisa sampai pada kesejatian.
Sebagaimana sosok Sindhunata yang dikenal sebagai wartawan Kompas, maka di Omah Petruk ini juga terdapat ruang khusus terkait surat kabar Kompas. Ada patung Jakob Utama yang sedang menimba air dari sumur. Sumur Jakob ini menggambarkan inspirasi rekam jejak jurnalistik Jakob Oetama (1931- 2020) pionir pers hati nurani rakyat. Sumur adalah lambang paling tradisional dari gagasan “menimba humanisme” dalam jagad pers. Dunia jurnalistik laksana sumur, sumber mata air pengetahuan dan inspirasi kebudayaan. Patung Jakob ini karya Wilman Sanur, sumur oleh warga Karang Klethak.
Koleksi hape lawas, kamera jadul, mesin ketik, mesin facsimili, telegram, dan lainnya. Juga sebuah ruang baba Kompas. Dan patung (lagi-lagi) Jakob Utama duduk bersama dengan pendiri Kompas, PK. Oyong dalam wujud yang sangat realis. Sebuah ruang yang diberi nama “Kompleks Sekolahe Petruk” merupakan perpustakaan dengan koleksi buku dan majalah yang boleh dibaca di tempat. Di sini disediakan ruang akses data digital Pusat Informasi Kompas (PIK) versi digital Harian Kompas dari edisi paling awal.

Sementara itu, di kota Batu pernah hidup seorang penulis terkenal yang khusus menulis tentang anak. Namanya Dwianto Setiawan (1949 – 2024). Maka Sindhunata pun mengenangnya sebagai penulis fiksi untuk anak, remaja, dan dewasa, dengan beragam tema. Posisinya disejajarkan dengan penulis Inggris Enid Blyton (1897 – 1968). Sindhunata mempersembahkan sudut pustaka di museum ini demi merekam perjalanan keaksaraannya sebagai penulis sekaligus kakak kandungnya sendiri.
Lukisan langka dari pelukis Kalsel juga ada di sini. Namanya Misbach Thamrin, dengan karyanya, yaitu “Petarung Sepuh” yang melukiskan sosok Amrus Natalsya, pelukis, pematung, sekaligus perintis Sanggar Bumi Tarung.
Juga keberadaan sekitar seribu patung yang tersebar di penjuru lokasi. Karya para perupa Jogja dan sekitarnya ini bukan hanya memanjakan mata, tapi juga menyentuh jiwa. Di antara mereka, berdiri patung Soekarno dengan semangat kemerdekaan setinggi 4 meter, Gus Dur dengan senyum pluralismenya, Dewa Ganesha sebagai simbol kebijaksanaan, dan juga patung sang maestro realis-ekspresif, Djoko Pekik. Setiap patung adalah narasi, tentang bangsa, tentang iman, tentang kemanusiaan. Juga Ada patung filsuf Nietze yang justru digambarkan sedang tidur meringkuk di sebuah kursi panjang. Bahkan, ini yang lucu, ada patung Spiderman sedang kerokan !
Ketika sudah capek berkeliling, bisa santai di kantin dengan aneka minuman tradisional, dan juga jajanan. Kalau mau oleh-oleh bisa membelinya di ruang souvenir yang menyediakan aneka buku, cendera mata, dan juga lukisan.
Terlalu banyak yang bisa diceritakan dari tempat ini. Omah Petroek tidak menjual kemewahan. Yang ditawarkan adalah keramahan, kesederhanaan, dan ketenangan. Tempat ini kerap digunakan untuk pelatihan kepemimpinan, gathering perusahaan, hingga pertemuan antar komunitas. Ia bukan villa, bukan resort. Ia adalah rumah. Omah Petroek bukan sekadar tempat. Ia adalah pernyataan sikap: bahwa seni bisa bersanding dengan alam, bahwa agama bisa hidup berdampingan, dan bahwa manusia bisa kembali sederhana tanpa kehilangan makna.

Di rumah Petruk, kita berteman dengan alam, bersahabat dengan diri sendiri, dan menyapa kemanusiaan yang hakiki. Karena, seperti kata Romo Sindhunata, “Kita berteman sudah lama.” (*)
Catatan Henri Nurcahyo BERADA di sebuah kawasan pedesaan yang tersembunyi, sekitar 23 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, ternyata ada sebuah destinasi wisata yang istimewa. Ini bukan destinasi yang mainstream yang hanya memanjakan mata (apalagi sekadar instagramable), melainkan ruang perjumpaan antara alam, seni, spiritualitas, dan keberagaman. Namanya “Omah Petroek Karang Klethak.” Sebuah oasis rohani di Yogyakarta…