Butet Kartaredjasa, Pancen Asuwok….
Namanya Butet Kartaredjasa. Aktor Yogya yang hidupnya seperti monolog panjang tanpa jeda—penuh tawa, nyentil, dan kadang nyeletuk seenaknya. Canda baginya bukan aksesori panggung, tapi vitamin harian. Katanya, gembira itu obat paling mujarab: bisa menolak penyakit tanpa perlu antre di apotek. Maka jangan heran, pantangan makanan? Nihil. Olahraga? Hampir mitos. Kopi dan rokok tetap setia menemani. Padahal, jantungnya sudah dipasangi lima ring. Kok bisa? Pancen asuwok…
“Asu”—alias anjing—adalah makian khas Yogya yang oleh Raja Monolog ini dipoles jadi identitas. Dari asu naik kelas jadi asuwok. Bukan makian murka, melainkan salam persaudaraan. Mirip arek Suroboyo yang menyapa temannya dengan, “Jancuk, sik urip kon?” (Masih hidup, kamu?). Jadi, kalau Butet memanggilmu “Assyu”, santai saja. Itu tanda akrab, bukan vonis.
Tapi ada rambu penting: bahasa menentukan cuaca. Selama Butet berceloteh pakai Jawa, siap-siap isi kebun binatang keluar semua: asu, wedhus, bajingan. Namun ketika ia beralih ke bahasa Indonesia di depan teman-temannya, kalimatnya rapi, tertib, dan formal. Nah, itu lampu merah. Artinya: dia sedang marah. Jangan tanya kenapa, cukup pahami.
Saya kenal Butet sudah puluhan tahun yang lalu. Memang tidak akrab. Namun beberapa kali saya menulis ulasan pertunjukannya di koran. Butet tentu hapal nama saya. Maka ketika saya sempat bertandang menemuinya di Warung Ageng, yang dikelola istrinya, Butet tak menunjukkan keakraban. Namun begitu dia “dikenalkan” bahwa saya bernama Henri, wartawan, langsung dia ingat:
“Oo Henri Nurcahyo, jancuk asu. Dia sering nulis saya,” ucapnya lantang.
Sejak itu Butet hapal nama dan wajah saya. Bersama Priyo Jatmiko, teman yang saya kenal sejak masih di Harian Memorandum, saya datang ke acara peringatan ulang tahunnya ke-64 (21/11/25). Ini adalah ulang tahun Tumbuk Ageng versi tahun Masehi. Artinya, tepat 8 windu, alias 8 kali 8. Dua tahun lalu Tumbuk Ageng dirayakan menurut hitungan tahun Jawa. Dengan cara ini dia menganggap sebagai sebuah cara untuk menghormati para leluhur. Biasanya hanya peringatan ulang tahun sederhana oleh kalangan keluarga.
Acara yang dilangsungkan di rumahnya, hanya 100 meter dengan Padepokan Bagong Kussudiarjo, dihadiri banyak teman, termasuk sejumlah Ganjar Pranowo, Cak Lontong, dan Slamet Rahardjo. Dasar Butet, acara yang mustinya serius itu malah dibuat candaan. Lagu “Selamat Ulang Tahun” yang dinyanyikan bersama-sama, teksnya diplesetkan: “Wis tuwek ulang tahun, ngisin-ngisini…..”
Di sela-sela acara, saya berbisik minta waktu hendak melakukan wawancara untuk bahan tulisan. Maunya besok, tapi Butet mau ke Jakarta, katanya. Ya sudah, malam itu juga. Maka sekitar pukul 22.00 saya kembali bertandang ke rumahnya. Sendirian. Butet juga duduk sendiri di ruang yang tadi. Asyik merokok. Saya salah duga, kuatir mengganggu jam istirahatnya, malah Butet sudah tidur sore tadi.
“Saya biasa tidur sore, beberapa jam saja, bangun lagi, melekan,” tuturnya.
Persis tengah malam saya tinggalkan rumah Butet. Lantaran tertumpuk banyak pekerjaan, dan kemalasan saya, maka hasil wawancara panjang 3 minggu yang lalu itu baru saya tuliskan sekarang.

Ulang Tahun yang Heboh
Peringatan ulang tahunnya yang heboh adalah 4 tahun lalu. Ketika usianya tepat di angka 60 tahun. Waktu itu Butet sakit. Kalau pangkat seorang Jenderal itu maksimal bintang 4. Tetapi dia malah bintang 5. Bukan jumlah bintangnya, tetapi jumlah ring yang terpasang di jantungnya. Ring terakhir dipasang tahun 2019. Bagaimanapun Butet Kartaredjasa adalah juga manusia biasa. Ia bisa sakit, bahkan berkali-kali anfaal. Ketika usianya menginjak 59 tahun, kondisinya sudah pada tingkat ndrawasi (mengkhawatirkan). Ia lumpuh, sudah membayangkan bahwa hidupnya akan segera berakhir. Ada teman Chinese mengatakan bahwa usia 59 itu adalah usia yang “berbahaya”. Bisa stop di usia 59, atau kalau masuk usia 60 bisa berusia panjang. Dia merasakan, “jangan-jangan ini isyarat aku mau mati.”
“Aku ini kalau ada hal-hal seperti itu percaya. Dan itu menjadi gangguan. Kuatir malah jadi sugesti,” tuturnya masgul.
Dalam kondisi seperti itu, teman-temanya tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan acara khusus berupa pameran seni rupa dan penerbitan buku. Pameran itu memilih tema “Menawar Isyarat” di galeri Sangkring Art Space. Gelaran ini menampilkan karya dari sekitar 60 seniman / perupa, masing-masing berkarya di kanvas berukuran 60×60 cm — simbol perayaan dan penghormatan terhadap usia dan karya Butet. Karya-karya dalam pameran “membaca” jejak, mimik, semangat, dan interpretasi dari sosok Butet, dalam gaya yang beragam — mulai dari lukisan, ilustrasi, hingga mungkin kartun/potret.
Judul “Menawar Isyarat” —dalam konteks itu— bisa dibaca sebagai usaha memperpanjang kehidupan kreatif, menolak kepergian, atau menegaskan bahwa inspirasi seorang seniman tak pernah padam, meskipun usia bertambah.
“Aku berusaha tidak percaya dengan isyarat itu agar aku mampu masuk usia ke-60 dan berusia panjang. Karena dalam tradisi Chinese umur 59 itu berarti sudah berarti usia 60. Karena ditambah dalam kandungan selama 9 bulan,” ujar anak kelima dari tujuh bersaudara ini.
Sebuah buku yang diterbitkan bersamaan ulangtahunnya itu berjudul “Urip Mung Mampir Ngguyu”. Buku setebal 588 halaman itu berisi testimoni teman-teman dan berbagai tokoh, antara lain: Mahfud MD, Dahlan Iskan, Joko Pinurbo, Landung Simatupang, Lukman Hakim Saifudin (Menag), Mohamad Sobary, Goenawan Mohammad, Ashadi Siregar, Slamet Rahardjo, Sukardi Rinakit, Inayah Wahid, Soimah, Ratna Riantiarno, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Rieke Diah Pitaloka, dan banyak lagi.
Yang juga luar biasa pada diri seorang Butet adalah: dalam kondisi jantung dengan 5 ring, toh tidak ada pengaruhnya apa-apa dalam keseharian. Merokok dan kopi jalan terus. Tidak ada pantangan makanan sama sekali. Olahraga, jarang. Keset (malas). Biasanya cuma jalan kaki, itupun malas dilakukan. Ada istilah dalam dialek Surabaya, namanya gunggungan. Artinya, sudah tahu bahaya tapi tetap diteruskan.
Fenomena Butet itu, kalau ditarik ke panggung besar kehidupan, seperti seseorang yang menari di tepi jurang sambil tetap bisa tersenyum. Ajaib, mengherankan, tapi tidak mustahil. Kadang tubuh bekerja seperti dalang nakal: tidak selalu patuh pada naskah. Ada orang yang hidup sangat sehat tapi tetap sakit parah; ada pula yang merokok, kurang olahraga, makan semaunya, tapi tetap melenggang. Genetik, metabolisme, respons imun, dan ribuan faktor kecil lain bisa membuat tubuh seseorang tetap stabil meski perlakuannya “kurang ramah”.
Lima ring jantung itu seperti lima jembatan baru yang dibangun agar aliran lalu lintas darah tetap lancar. Kalau pemasangannya baik, perawatannya cukup, dan obat pengontrol darah diminum teratur, banyak pasien bisa hidup nyaris normal lagi. Itu bukan keajaiban, tapi kerja presisi kedokteran.
“Sekarang saya merokok malah sebagai obat,” tuturnya. Rokok kesehatan itu dikonsumsi sejak Juni 2025. Resepnya berasal dari seorang kawan, dengan penjelasan ilmiahnya, yang membuat Butet percaya, dan melakukan terapi asap. Dia mengunjungi Dodik, dari Karangdaleman, Magelang. Prinsipnya, bagaimana mengubah racun dalam asap rokok itu menjadi obat segala macam penyakit, mulai dari otak, ginjal, jantung, diabet, dan sebagainya. Untuk meyakinkan, sebelum melakukan terapi Butet melakukan cek di laboratorium. Sebulan setelah terapi asap itu cek lagi, ternyata hasilnya membaik. Ini adalah bukti medik.
Dodik adalah seorang Romo yang dipecat, menemukan terapi ini sejak 6 tahun yang lalu. Terapi asap ini sudah populer dengan pasien sampai dari Papua dan Maluku.
Secara ilmiah, rokok bukanlah terapi. Namun manusia kadang menemukan “ritual pribadi” yang menenangkan, meski tidak sehat secara medis. Pada Butet, asap itu mungkin bekerja sebagai jeda, ruang kontemplatif, cara mengatur napas, atau semacam grounding ritual yang membuat pikirannya lebih stabil—dan pikiran stabil sering ikut menjaga tubuh.
Nasehat yang dipegangnya adalah dari Dokter Ryu Hasan: “Aku ini dokter, ahli medis, pendidikan hingga S-3. Aku tidak bisa membuat hatinya Mas Butet seneng. Aku hanya bisa mengobati. Nah kalau hatinya seneng maka segala penyakit akan sulit masuk. Maka sebagai dokternya Mas Butet, aku tidak memberikan pantangan apapun. Makan jerohan, kambing, babi, makan saja. Yang penting atimu seneng. Lha nanti kalau ada masalah medik, itu urusanku.”
“Yo wis, aku manut dek e,” kata Butet. Ya sudah, aku ikut dia.
Nama lengkap Ryu Hasan adalah dr. Roslan Yusni Al Imam Hasan, Sp.BS, cucu dari KH Wahab Hasbullah — tokoh NU dari pondok Tambak Beras, Jombang. Dari segi keilmuan: Ryu adalah dokter spesialis bedah saraf, mendalami neurosains (neuroscience). Ia sempat menempuh pendidikan dan praktik di luar negeri (Sydney untuk bedah saraf, dan Tokyo untuk neuroscience).
Ryu Hasan memberikan kebebasan pola makan dan gaya hidup terhadap Butet adalah sistem nilai yang berbeda — bahwa kesehatan fisik tak hanya soal tubuh, tapi juga soal kondisi mental, emosional, dan spiritual. Ryu tampaknya memandang bahwa kesehatan dan penyakit tidak semata soal biologi, tapi juga psikologi dan kondisi batin. Bahwa “hati senang” atau ketenangan batin bisa memberi kekuatan jauh melampaui pantangan fisik. Dalam pandangan neurosaintis: otak dan sistem saraf punya peran besar mengatur emosi, stres, penyembuhan, bahkan perilaku — sehingga memperbaiki mental/emosi bisa berdampak besar. Ketika Butet sendiri merasa “senang, merasa hidup, merasa bebas berkarya” — itu bagi Ryu bisa menjadi bagian penting dari “pengobatan”. Dengan kata lain: pendekatan Ryu bukan hanya medis, tetapi holistik, menekankan aspek psikis, emosional, spiritual — bukan sekadar “tubuh harus steril, makanan dibatasi, gaya hidup dikontrol”.
Orang seperti Butet hidup dengan motor batin yang kuat: semangat, humor yang menyala, dan sense of purpose yang tajam. Psikologi menyebut ini “resiliensi”—dan resiliensi kadang bekerja lebih ampuh dari vitamin. Ia bisa mempengaruhi tekanan darah, hormon stres, bahkan ritme jantung. Seperti banyak seniman besar lain, Butet tampaknya memiliki perpaduan aneh antara fisik yang rapuh dan jiwa yang kebal. Sesuatu yang membuatnya bisa terus berkarya dan bertarung, meski tubuhnya kadang memberi tanda-tanda “minta istirahat”.
Apa yang terjadi pada Butet adalah: campuran antara sains, psikis, nasib baik, dan sedikit magis ala manusia seni. Hidup memang tidak selalu tunduk pada rumus dokter—kadang ia memilih menuruti irama seseorang yang begitu keras ingin tetap hidup, bergerak, dan bersuara.
Keputusan Ryu ini nampaknya dipahami sebagai bentuk kesadaran pluralitas manusia: bahwa manusia bukan sekadar organ dan sel, melainkan jiwa, rasa, cinta, karya — yang juga menentukan kualitas hidup. Dalam konteks seniman seperti Butet, yang hidupnya tidak hanya untuk bertahan tetapi untuk berkarya, mempertahankan kebebasan makan, gaya hidup, identitas — mungkin terasa wajar memilih jalan itu.
Tapi ini juga seperti berjalan di garis tipis antara “memberi hidup” dan “mengkhianati protokol medis”. Kita bisa menghormati bahwa tiap manusia punya hak memilih, tapi juga tak bisa mengabaikan bahwa tubuh punya batas.
Apakah Butet pernah mengalami masalah medis? Pernah. Ketika tiba-tiba kondisinya drop. Hasil mediknya dikirimkan ke dia, dan obatnya diganti. Yang penting hatinya senang. Pertama kali masalah adalah, pernah kehilangan suara ketika pentas. Dan yang terakhir adalah anfaal jantung, yaitu serangan akut atau turunnya kondisi secara tiba-tiba. Ini memang seperti sebuah keajaiban. Butet sudah merasa pasrah apa yang terjadi dalam hidupnya. Bahwa hidup ini milik Gusti Allah.
Bentuk kepasrahan itu dilakukan dengan cara berdoa setiap malam menjelang tidur: “Tuhan, andaikan aku sudah tidak ada gunanya dalam hidup ini, panggil aku besok pagi. Aku tidak udah bangun lagi selamanya. Tapi kalau kamu menganggap bahwa hidupku ini masih membawa kemanfaatan untuk kawan-kawanku yang masih hidup, berikan aku umur panjang.”
Karena itu, kata Butet, kalau aku masih diberikan hidup maka ini adalah sebuah amanah untuk memberi kemanfaatan pada banyak orang. Tidak hanya manfaat dalam urusan ekonomi, memberikan rezeki teman, tapi juga pikiran yang bisa dibagikan, inspirasi semangat orang, bisa menjadi panutan. “Jadi kalau tiba-tiba aku mati, itu berarti Tuhan sudah berfatwa hidupku sudah tidak ada gunanya. Kamu saya tarik pulang,” ujarnya.
Itulah cara Butet memaknainya secara spiritual. Karena itu dia selalu berusaha agar hidupnya selalu bermanfaat bagi orang lain. Dan sejak muda, dia memang sudah berkomitmen, bahwa dia boleh hidup berumur panjang, tapi harus bermanfaat, dalam arti seluas-luasnya. Tidak harus lebih dulu menjadi kaya dan berkelebihan materi.

Berawal dari Seni Rupa
Meski berjaya di dunia panggung, Butet mengawali studinya di seni rupa. Nyeleneh tapi sah. Butet sekolah di SMSR, sempat mencicipi ISI, dan sampai hari ini tetap memproduksi karya visual—lukisan, patung, keramik—semuanya berjejak tangan dan pikiran. Seninya tidak cuma bicara, tapi juga berwujud.
Menulis pun bukan kebetulan. Sejak SMSR ia sudah jadi penulis lepas di media massa. Buku-bukunya jernih sekaligus nakal—khas Butet. Ia rutin menulis di Kompas, itu bukan perkara gampang. Tidak banyak aktor yang bisa menulis; lebih sedikit lagi yang mau belajar menulis dengan serius. Butet melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Ia pernah bilang, “Aku harus mencintai apa yang kulakukan—itulah passion. Tidak ada motif ingin kaya. Kaya itu akibat. Aku main teater karena mencintai teater. Karena ada passion, aku tidak mau sembrono. Latihan harus serius.” Kalimat sederhana, disiplin keras.
Bersama Djaduk Ferianto (alm)—adiknya yang sama briliannya—Butet membangun kelompok musik yang menjelma legenda. Mereka seperti dua arus sungai: satu membawa teater dan satire, satu lagi ritme dan kegembiraan. Ketika bertemu, lahirlah gelombang kesenian yang masih beriak sampai sekarang. Tidak lekang oleh waktu, tidak jinak oleh usia. Asuwok, dan tetap hidup.
Saat ini Butet sedang mempersiapkan pentas monolog untuk tahun depan (2026). Agus Noor sudah selesai menuliskan naskahnya. Judulnya “Pak Ageng.” Belum tahu siapa sponsornya, namun Butet sudah menancapkan niat hendak membiayai sendiri. Butuh latihan selama 3 bulan.
Sebagaimana dikisahkan Ratna Riantiarno dalam buku “Urip Mung Mampir Ngguyu” (2021): ”Mas Nano membuat lakon monolog untuk Butet, dan akan menyutradarainya. Tapi saya belum tahu judulnya. Mas Nano tidak mau memberi tahu saya. Katanya rahasia. Semoga bisa terwujud rencana itu”.
Dan ternyata, Nano Riantiarno yang memiliki riwayat tumor meninggal dunia (20/1/2023) pada usia 73 tahun.
Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada Butet (21/11/25): Naskahnya memang sudah jadi. Belum pernah dipentaskan. Judulnya “Tepuk Tangan.” Butet sendiri belum yakin mampu mementaskan mengingat kondisi fisiknya. Maka rencana pentas monolog tahun depan itu adalah test case. Setelah itu baru dipikirkan mementaskan naskah Nano tersebut.
Sejak sakit itu Butet selalu pentas sambil membawa tongkat. Baru sekali lepas dari tongkat dalam pertunjukan “Pasien Nomor Satu” di TIM awal November 2025 yang lalu. Dan itu teater, dimainkan banyak orang. Banyak jeda, karena ada orang lain yang main. Sedangkan kalau monolog kan beda lagi problemnya. Dari A sampai Z semuanya dilakukan sendiri. Dan itu pasti butuh stamina yang prima. Penuh totalitas.
Monolog terakhir yang dilakukannya tahun 2006, judulnya “Sarimin.” Sedangkan dalam waktu dekat ini, menjelang awal tahun 2026 Butet juga akan tampil dalam acara internal berupa monolog di Universitas Brawijaya, Malang. (bersambung)
Namanya Butet Kartaredjasa. Aktor Yogya yang hidupnya seperti monolog panjang tanpa jeda—penuh tawa, nyentil, dan kadang nyeletuk seenaknya. Canda baginya bukan aksesori panggung, tapi vitamin harian. Katanya, gembira itu obat paling mujarab: bisa menolak penyakit tanpa perlu antre di apotek. Maka jangan heran, pantangan makanan? Nihil. Olahraga? Hampir mitos. Kopi dan rokok tetap setia menemani.…