Amang Rahman Hidup Kembali (04): SUFI BUKAN SOAL HALAL DAN HARAM

Catatan Henri Nurcahyo

KETIKA memulai penelitian, pada mulanya Hajriansyah terjebak mencarikan dalil soal halal haram ketika bicara kesenian di wilayah syariat. Dia lantas membaca literatur yang sangat fiqih hingga yang tasawuf, bagaimana mereka memahami hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk mengharamkan beberapa ekspresi kesenian.

Namun ada pandangan yang berbeda bahwa dengan hadis dan dalil yang sama malah membuka peluang untuk melihat kesenian sebagai bagian dari sesuatu yang dapat mengantarkan kita kepada Tuhan. Karena dalam sebuah buku disebutkan sebetulnya hadis-hadis itu tidak ada yang mengatakan haram secara eksplisit melainkan hanya tafsirnya saja.

Bukankah segala sesuatu itu ada illatnya (alasannya). Selama musik itu mampu mengantarkan pada pemahaman yang lebih  tinggi, lebih luas, tidak ada masalah. Illatnya itu adalah bagaimana efek musik kepada jiwa apresiannya.  Jadi kalau tidak ada illat bahwa sesuatu itu mengantarkan kepada kemaksiatan maka tidak ada yang haram. Karena dalam ushul fiqih itu bahwa dasar segala sesuatu itu hukumnya mubah sampai ada yang mengharamkannya. Yang mengharamkan itu illat, akibat-akibat, yang menjadi dasar bahwa sesuatu itu menjadi haram.

Atas dasar itulah maka Hajriansyah yang semula memilih judul “Estetika Islam” diingatkan oleh dosennya bahwa dia nantinya pasti akan berbenturan soal halal dan haram. Disarankan memilih “Estetika Sufi” yang lebih cair karena melihat kehidupan itu berjenjang. Orang bisa naik ke tingkat lebih tinggi manakala mendapatkan sentuhan terus menerus. Karena setiap orang pasti berbeda-beda latar belakang kehidupannya.

Selalu Berbelas Kasih

Nilai-nilai kesufian seorang Amang Rahman terletak pada sifatnya yang selalu berbelas kasih kepada teman-temannya. Padahal sepanjang hidupnya Amang Rahman bukanlah orang yang berkecukupan, kecuali ketika usianya sudah kepala enam, bisa membeli rumah sendiri. Meski dirinya sendiri serba kekurangan namun hasratnya membantu orang lain besar sekali. Sastrawan Gerson Poyk dalam otobiografinya mengisahkan betapa ketika dia masih tinggal di Surabaya pada masa-masa awal menjadi penulis, menyebut berteman akrab dengan Amang Rahman dan juga M. Daryono. Pada saat itu dia mengaku sering ditolong dan tidur di rumah kontrakan Amang.

Dalam otobiografi Gerson yang berjudul “Aku, Surabaya, dan Nakamura” itu menunjukkan kedekatannya dengan Amang. Misalnya, suatu saat dia datang ke rumah Amang dan ternyata ada sastrawan Kirjomulyo di sana. Mereka sedang bertengkar soal utang piutang. Maka Gerson mengajak mereka untuk menjual isi karung yang sedang dibawanya. Ternyata isinya sarang burung walet. Tentu saja nilai ekonominya sangat tinggi dan laku mahal sehingga mereka bisa makan besar hari itu. Kirjomulyo yang semula kesulitan mendapatkan sangu untuk pulang ke Yogya sudah teratasi persoalannya.

Dalam kondisi tidak punya uangpun Amang masih berusaha  menolong orang dengan cara mencarikan sumbangan pada pejabat misalnya. Demikian pula ketika ada temannya yang meninggal dunia Amang melayaninya dengan luar biasa, sampai berlebih-lebih. Dari proses sejak meninggal dunia hingga ke liang lahat Amang ikut mengantarkannya dan kalau perlu sampai ikut turun ke liang lahat. Jiwa melayaninya luar biasa. Nilai-nilai kesufian seorang Amang justru terlihat dari hal-hal seperti itu. Bagaimana dia mengasihi teman-temannya meski dia sendiri dalam kondisi tidak berpunya. Sementara dari ritual-ritual keagamaannya memang tidak terlihat bahwa Amang seorang sufi. Baru kalau bertanya ke keluarganya ada cerita-cerita sedikit bagaimana seorang Amang menjalani ritual keagamaannya.

Masyarakat umum memang menilai Amang biasa-biasa saja namun sesungguhnya jiwa pengasihnya luar biasa. Jiwa pelayanan terhadap umat yang tinggi sekali ini juga merupakan bagian dari doktrin kesufian. Apakah ada pengaruh Kejawen? Kalau dilihat dari garis kakek dari istrinya memang ada garis Kejawen. Namun Amang juga suka wayang yang sedikit banyak tentu berpengaruh terhadap kesufiannya.

Estetika Sufi

Soal estetika sufi itu sendiri, kata Hajriansyah, sebetulnya sudah sering ditulis orang tetapi tidak memuaskan. Hanya bicara soal keindahan dan bentuk-bentuk yang sudah umum dalam karya sastra dan karya-karya rupa yang sebenarnya umum sekali. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana pandangan sufi terhadap kehidupan itu sendiri selain terhadap Tuhan? Dan ternyata hal itu terjawab pada diri Amang Rahman dan juga karya-karyanya.

Pada mulanya, syair-syair sufi justru dibuat oleh penyair yang sangat profan. Tidak mengait-ngaitkan dengan soal-soal keagamaan. Bicara tentang anggur, penuang anggur, mawar, dan hal-hal yang profan, tidak ada kaitannya dengan Ketuhanan. Baru nantinya ada satu generasi sufi yang mengaitkan metafor-metafor itu dengan Ketuhanan. Misalnya anggur dimaknai sebagai penyebab mabuk, lupa diri, yang kemudian dikaitkan dengan hanya ingat dengan Tuhan. Lalu penuang anggur sebagai minuman rohani dikaitkan dengan mursyid. Sedangkan mawar yang semula sangat profan kemudian dikaitkan dengan Ketuhanan, bahwa untuk mencapai keindahan mawar orang harus memetik mawar yang punya duri di tangkainya. Semua orang yang ingin mencapai Tuhan harus melalui suluk yang berdarah-darah.

Estetika sufi tidak hanya melalui seniman namun bisa juga melalui pengamatnya. Artinya ketika memandang metafor-metafor yang profan tetapi karena kita selalu mengaitkan dengan Ketuhanan maka karya itu menjadi sufistik.

Sufi Bukan Hanya Islam

Ugo Untoro menambahkan, bahwa ada yang salah kaprah di masyarakat. Kalau bicara soal salib misalnya, maka larinya ke Yesus. Padahal salib sudah ada jauh ratusan tahun sebelum Yesus disalib. Sama dengan sebutan sufi sebetulnya sudah melalui perjalanan yang sangat panjang. Pada zaman Animisme, Dinamisme, Hindu, atau Buddha, masing-masing memiliki seseorang, tokoh, atau faham tentang sufi meski dengan sebutan yang lain.  Mungkin disebut Begawan atau lainnya, yang bisa dicapai melalui suatu proses tertentu. Pada zaman keemasan Islam misalnya masa Alhallaj, Rumi, dan sebagainya maka sufi lantas selalu dikaitkan dengan Islam.  

Ugo sendiri memiliki karya fenomenal yang berjudul “Wayang Tampak Depan.” Di hamparan kanvas vertikal berwarna putih hanya nampak garis membujur dari atas ke bawah dan di ujung bawahnya terdapat gambar bulatan berwarna putih. Menurutnya, pada mulanya Ugo melukis wayang dalam busana dan ornamen yang lengkap. Lama-lama Ugo merasa tidak membumi maka dilukislah wayang kencing, wayang renang, dan sebagainya, sebagai upaya untuk melepaskan diri dari pakem. Setelah melalui proses panjang yang suntuk maka mendapatkan sesuatu yang esensial. Sebagaimana Amang Rahman, meski tidak bermaksud menyamakan, Ugo mengaku juga mengalami hal yang sama meski proses, media, dan kelasnya berbeda.

Karena saking suntuknya kita memang bisa lupa dengan diri kita, dengan apa yang menjadi dasar untuk berangkat, dan berakhir dengan pertanyaan: “Sebetulnya ini apa sih?”

Pada akhir diskusi Nasirun menguatkan apa yang disampaikan Ugo Untoro, bahwa apa yang disebut tauhid pada hari ini pada masa lampau juga sudah ada pada Kapitayan, yang oleh orang Barat disebut Animisme dan Dinamisme. Dalam ranah agama bumi sudah ada Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, bahkan dalam berkesenian masa lampau agama bumi dan agama langit itu sudah menyatu menjadi sebuah karya. “Ajarkanlah yang baik dan tinggalkan yang tidak baik.”

Dalam pewayangan, Petruk itu dimaknai sebagai Fatruk, artinya tinggalkan segala selain Allah. Bagong berarti Bagha yang artinya memberontak terhadap sesuatu yang zalim. Semar berasal dari kata Simaar (paku, agar kita kokoh). Naala Qoirin (memperoleh banyak kawan) menjadi Nala Gareng. Dengan demikian dalam pengertian sufi hal itu berarti sudah sampai, hanya saja waktu itu belum disebut kata sufi.

Sebagaimana Amang, pasti dia punya sandaran dengan medium berupa kanvas. Karena simbol-simbol perahunya misalnya, bukan seperti perahu-perahu tradisional. Demikian pula gunungannya. Konsep-konsepnya sama sekali bukan seperti akademisi. “Kata kakek saya sorga itu berwarna biru tetapi  ada hijaunya. Sorga itu hijau tapi tidak seperti hijau daun,” ujar Amang.

Kata-kata terakhir yang pernah disampaikan Amang, tidak perlu jadi seniman, tidak juga nyeniman, tapi jadilah orang baik yang berguna buat masyarakat.

Sebuah catatan kecil disampaikan Nasirun pada ujung acara, bahwasanya  menurut Rustamaji, ketika dia melukis alam sedemikian detail maka dia menemukan kebesaran Tuhan. Fajar Sidik pernah bercerita bahwa Rustamaji berjalan kaki dari Klaten hingga ke rumahnya sambil menangis dan berkata, “Dik, aku sudah tidak berani menandatangani karena aku tidak berani menyebut kata mencipta.” Karena itu kalau menemukan karya Rustamaji tanpa tanda tangan jangan terlalu cepat menyebut lukisan palsu.

(selesai)

Catatan Henri Nurcahyo KETIKA memulai penelitian, pada mulanya Hajriansyah terjebak mencarikan dalil soal halal haram ketika bicara kesenian di wilayah syariat. Dia lantas membaca literatur yang sangat fiqih hingga yang tasawuf, bagaimana mereka memahami hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk mengharamkan beberapa ekspresi kesenian. Namun ada pandangan yang berbeda bahwa dengan hadis dan dalil yang sama…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *