Wayang Krucil Masih Belum Langka, Tapi….
Catatan Henri Nurcahyo
Sebuah pertunjukan wayang krucil dengan lakon “Keong Emas” digelar di panggung kecil menjelang pergelaran sendratari kolosal Panji Semirang di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Minggu sore (23/10/23). Gelar wayang krucil ini sengaja didatangkan oleh Pemkab Kediri untuk menyemarakkan rangkaian Festival Panji ASEAN 2023 yang diikuti oleh 9 negara. Dan ternyata, menurut dalang Ki Kondho Brodianto, pertunjukan wayang krucil saat ini bukan hal yang langka.
Ki Kondho Brodianto (42 tahun), adalah dalang otodidak. Warga dusun Kunir, Bulupasar, Kec. Pagu, Kediri, ini adalah keturunan kelima dalang wayang krucil dari ayahnya (Supiyanto), cucu dari Mbah Podo desa Menang, cicit dari Mbah Sireng, hingga Kartosuryo. Meski sesekali mendalang wayang kulit namun Brodin, panggilan akrabnya, mengutamakan mendalang wayang krucil. Tidak terhitung berapa kali dalam satu tahun mendalang wayang krucil. Yang jelas setiap malam Jum’at pahing menjadi agenda rutin manggung di berbagai desa. Selain Kediri dia sering diundang ke Trenggalek, Bojonegoro, Nganjuk, dan sebagainya. Semua lakon yang diminta sering Cerita Panji. Kadang babad Tanah Jawa dan babad Kadhiri.
Apakah anak-anak muda masih tertarik wayang krucil? Brodin menyebutnya masih. Namun dia juga mencoba menyajikan pergelaran yang menghibur dengan cara memberikan selingan berupa dangdut dan campursari sesuai dengan permintaan penanggap. Dengan cara itu pergelaran bisa berlangsung sehari semalam. Kalau siang pergelaran biasanya dilakukan di punden desa setempat. Sedangkan malam hari dilaksanakan di rumah Kepala Desa atau Kepala Dusun.
Khoirudin, nama aslinya, menyebut bahwa pergelaran yang dilakukannya tidak hanya sebatas acara ritual melainkan juga berupa hiburan saat acara pernikahan, khitanan atau hajatan luar ujar (melunasi janji).
Secara kuantitas memang lebih banyak wayang kulit namun pergelaran wayang krucil masih cukup banyak. Namun menurut Eko Priyatno dari Bidang Sejarah dan Purbakala Disbudpar Kab. Kediri, sekarang ini di Kediri tersisa tiga dalang wayang krucil. Selain Brodin, juga ada Ki Hardjito dari desa Kayen Kidul dan Edi Wasito dari Grogol. Sudah ada upaya regenerasi dalang namun belum muncul ke permukaan. Setidaknya hal ini dilakukan oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) yang mewadahi para dalang. Beberapa waktu yang lalu, sekitar Mei – Juni, Pepadi menggelar pertunjukan wayang 72 jam nonstop dengan cerita Babad Kedhiren yang biasanya dilakonkan dalam pertunjukan wayang krucil. Dari 11 dalang yang pentas dua di antaranya dalang wayang krucil beserta wayangnya.
Tanggapan Kecil Risiko Besar
Peneliti wayang krucil, Rudi Irawanto, menyebutkan bahwa jumlah dalang wayang krucil di seluruh Jawa Timur secara kuantitas memang tidak bisa dipastikan karena belum ada data resmi. Tetapi di permukaan dapat diketahui bahwa di Malang ada 2 dalang, Kediri dan Ngawi masing-masing ada 3, Bojonegoro ada 2 dalang, Trenggalek ada satu dalang, juga Lamongan (yang disebut Wayang Songsong), Nganjuk (Wayang Timplong), Blitar, Magetan, Tuban, dan Mojokerto. Rata-rata memang mereka merangkap sebagai dalang wayang kulit. Sedangkan yang khusus dalang wayang krucil tidak lebih dari 10 orang. Dari 10 orang itupun juga masih tidak menolak mendalang wayang kulit karena nilai tanggapannya memang lebih besar. Di luar Jatim wayang krucil juga terdapat di Blora Jateng.
Soal finansial ini memang menjadi tantangan tersendiri. Rudi mencontohkan di Ngawi, hanya dengan anggaran sekitar Rp 4 juta dapat menggelar pertunjukan wayang krucil. Itu sudah lengkap termasuk ritual selamatan dan pemotongan pajaknya. Padahal minimal dibutuhkan dana sekitar 20 juta rupiah dalam sekalu pergelaran. Kalau toh dipres lagi bisa sekitar 15 juta rupiah. Bandingkan dengan biaya nanggap wayang kulit paling sedikit butuh 30 juta rupiah. Rata-rata dalang wayang krucil memang menjalankannya sebagai bentuk dedikasi terhadap wayang krucil itu sendiri. Sebagainana Brodin yang mewarisi kakek buyutnya. Bahkan ada dalang yang mengatakan bahwa dia rela tidak dibayar asal para niyaga-nya mendapatkan uang lelah.
Pertanyaannya, mengapa nilai tanggapan wayang krucil sangat kecil? “Karena ada unsur mistisnya,” jawab Rudi. Biasanya wayang krucil memang digelar untuk acara-acara ritual seperti selamatan bersih desa dan semacamnya. Karena wayang krucil pada mulanya memang berupa wayang serius. Tidak ada dagelan dan semacamnya. Hanya Brodin yang masih menerima tanggapan sebagai hiburan dan melakukan modifikasi sebagaimana pernah dilakukan oleh Mbah Jemiran alias Mbah Gople dari Nganjuk.
Ada lagi faktor teknis dalam pertunjukan wayang krucil yang tidak bisa atraktif seperti wayang kulit yang bisa dilempar-lempar dan ditabrakkan. Sementara wayang krucil yang terbuat dari kayu tidak mungkin bersentuhan satu sama lain karena bisa patah, sehingga gerakannya lebih terbatas.
Selain faktor finansial, menurut dosen Universitas Negeri Malang (UM) yang kajian disertasinya tentang wayang krucil itu, dalang wayang krucil lebih berat. Diperlukan lelaku khusus untuk dalang wayang krucil. Hal ini karena dalang wayang krucil lebih berisiko secara spiritual. Kasus terakhir menimpa putra dalang Mbah Sumadi dari Ngawi yang meninggal dunia persis di depan kelir saat mendalang. Waktu itu Sumadi sedang sakit lantas memaksa anaknya yang baru nyantrik untuk menggantikannya. Secara mental dia memang belum siap. Maka sekitar pukul 01.00 dini hari anaknya yang berumur sekitar 40 tahun itu mengeluh, pingsan, dan meninggal dunia.
Lantas bagaimana solusinya? Rudi mengatakan, bahwasanya wayang krucil adalah kesenian yang khas nusantara. Maka wayang krucil harus disosialisasikan lebih massif, ke masyarakat umum dan termasuk anak-anak muda di kampus-kampus. Publikasinya juga harus digencarkan. Dalam hal teknis pergelarannya perlu dilakukan modifikasi sebagaimana yang dilakukan Brodin walaupun tidak bisa seleluasa wayang kulit. Dengan cara ini diharapkan masyarakat tertarik untuk menontonnya.
Di samping itu tentu dukungan dari pemerintah ikut membinanya. Apakah pihak pemerintah yang menanggap wayang krucil seyogyanya memberikan honor minimal dua kali lipat dari harga pasaran? Rudi setuju dengan hal ini. (*)
Catatan Henri Nurcahyo Sebuah pertunjukan wayang krucil dengan lakon “Keong Emas” digelar di panggung kecil menjelang pergelaran sendratari kolosal Panji Semirang di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Minggu sore (23/10/23). Gelar wayang krucil ini sengaja didatangkan oleh Pemkab Kediri untuk menyemarakkan rangkaian Festival Panji ASEAN 2023 yang diikuti oleh 9 negara. Dan ternyata, menurut dalang Ki…