Butet Kartaredjasa: Animisme Progresif
Catatan Henri Nurcahyo (bagian 2)
SECARA administratif—ini istilah paling aman—Butet tercatat beragama Kristen, mengikuti jejak ayahnya, Bagong Kussudiardjo. Tapi jangan bayangkan ia rajin duduk manis di bangku gereja tiap Minggu. Butet lebih betah berkencan dengan yang spiritual-spiritual saja: yang sunyi, yang batin, yang tak perlu absen dan tanda tangan. Agama baginya urusan serius, maka jangan disempitkan jadi urusan gedung.
Yang bikin cerita tambah renyah, istrinya justru seorang muslimah tulen. Bahkan sudah naik pangkat: Hajah. Lengkap, sah, dan tak diragukan.
Lalu orang bertanya dengan dahi berkerut: “Lho, kok bisa?”
Bisa dong. Sangat bisa. Karena sebelum ijab kabul, calon mertua mengajukan satu syarat sederhana—tidak pakai proposal, tidak pakai rapat pleno: Butet harus masuk Islam. Butet mikir sebentar. Sebentar saja. Lalu jawabnya kira-kira begini: “Oh, cuma itu?”
Masuklah ia ke Islam. Demi ijab kabul. Satu minggu. Seminggu kemudian, Butet pamit baik-baik dan pulang ke habitat lamanya. Jadi Kristen lagi. Tapi ya itu tadi—formalitas.
Baginya, yang penting cinta sah, rumah tangga jalan, dan batin tetap merdeka. Agama kok dipersulit? Gitu aja kok repot.
Dia menikah pada usia 20 tahun, tepatnya 19,5 tahun. Sementara istrinya dua tahun lebih di atasnya. Bukankah biasanya lelaki, apalagi seniman, suka menunda-nunda menikah. Tapi Butet, “karena aku sudah mempunyai basis ekonomi sebagai pelukis. Sudah bisa menjual lukisan batik sampai ke Jakarta. Menabung emas. Yakin sudah punya modal untuk hidup dan cari makan,” ujarnya.
Di samping itu, pada usia yang masih muda, Butet juga sudah rajin menjadi penulis di berbagai media. Kiriman-kiriman wesel honornya lumayan banyak juga.
“Lha wong tukang becak wae ora duwe ilmu iso urip, ngopeni anak bojo, mosok aku ra iso,” tegasnya yakin. “Saya ngikuti kata hati saja,” tambahnya.
Soal agama, Butet menyebut dirinya beragama “animisme progresif.” Ketiga anaknya, Giras Basuwondo, Suci Senanti, dan Galuh Paskamagma, juga dibebaskan. Punya agama boleh, tak punya agama juga silakan. Tapi minimal ada tercantum kolom agama di KTP-nya. Yang penting saling menghormati.
Butet tetap melakukan aktivitas ritual dengan caranya sendiri. Bukankah Tuhan Maha Segala, katanya. Dengan cara apapun DIA pasti tahu keinginan makhlukNya. Butet tidak melakukan ritual formal. Bahkan sudah sejak masih SMP. Males, itu saja sebabnya. Agama itu sesuatu yang bersifat personal. Dan dia meyakini ada kebenaran di dalamnya. Itulah yang menolongnya. Agama hanya kemasan belaka. Jadi kalau ada orang cari makan dengan berjualan agama, kata Butet, itu aneh saja.
Mengapa ritual beragama tidak dijalani sebagai teater saja? “Tidak bisa, karena itu hubungan vertikal,” tegasnya. “Aku lebih suka menyebut spiritualitas ketimbang harus menyebut agama,” tambah kakek satu cucu ini.
Dalam buku “Urip Mung Mampir Ngombe” (2021), Lukman Hakim Saifudin (Menteri Agama 2014 – 2019) menuliskan testimoni bahwa Butet pernah menyampaikan keinginannya memberangkatkan haji istri dan adik-adik iparnya. Ia menanyakan bagaimana caranya agar keinginannya yang sudah lama itu dapat terlaksana.
“Aku terkejut bercampur haru dan sedih, karena Butet yang Kristiani itu punya niat menghajikan istrinya. Sedih karena aku tak bisa membantu keinginan sucinya itu karena sudah ada aturan penggunaan kuota haji yang amat terbatas,” tulis Lukman.
Ayahnya sendiri, Pak Bagong, sempat berkreasi lewat karya dengan tema religi Kristen — misalnya lukisan dan tarian yang terinspirasi dari kisah Kristiani. Namun menarik: pada saat mempersiapkan sendratari keagamaan Islam — tepatnya garapan “Sunan Kalijaga” — Bagong menunjukkan keterbukaan intelektual. Ia belajar pengetahuan Islam dari ulama, berdialog dengan pemuka agama, dan menjalin relasi antar-agama demi karya bersama.
Hal ini menunjukkan sikap toleran dan spirit pluralisme: seni bisa menjadi ruang lintas iman — tempat ide dan nilai berbeda bisa bertemu tanpa konflik. Bahwa bahwa perjalanan spiritual di keluarganya tak kaku — ada dinamika, pencarian, dan kebebasan memilih. Sesuatu yang mungkin mencerminkan semangat terbuka terhadap pluralitas dan toleransi.
Dengan latar seperti itu, Butet dan keluarganya menunjukkan bahwa seni bisa merangkul — bukan memecah — antar perbedaan keyakinan. Karya seni ayahnya kerap memadukan estetika budaya lokal dan tema religius Kristen, tapi juga berani menjalin jalinan dengan ke-Islam-an ketika membuat sendratari Islam.
Toleransi inilah yang agaknya menurun pada Butet, sebagaimana dipuji oleh Lukman Hakim Syaifudin, yang mengaku belajar darinya. Belajar bagaimana beragama yang memanusiakan manusia: Memenuhi hak beribadah pihak lain yang berbeda dengan keimanan sekalipun dengannya.
Dikatakan mantan Menag itu: “Aku belajar darinya tentang penerapan toleransi beragama, yang tak hanya berhenti sebatas kesediaan menghargai dan menghormati perbedaan yang ada pada pihak lain, tapi juga mau dan mampu berupaya memfasilitasi kebutuhan dan hak dasar pihak yang berbeda dengannya.”
Lukman merasa bersyukur dan berbahagia, bahwa niatnya yang mulia itu, yang meski saat itu tidak terwujud, sudah menjadi “catatan tersendiri” bagi Dia Yang Maha Segala.
Ketika hal ini dikonfirmasikan ke Butet (21/11/25): Sewaktu istri dan adik iparnya berangkat haji, Butet sendiri sebetulnya berkeinginan ikut naik haji juga. Tapi bagaimana mungkin, dia seorang Kristen. Bahkan secara resmi, orang non-Muslim memang dilarang memasuki Makkah (dan juga area suci Masjid al-Haram) di Arab Saudi. Makkah dianggap tempat paling suci dalam Islam — kota suci yang diperuntukkan bagi ibadah Muslim, jadi hanya Muslim yang dianggap layak memasuki wilayah tersebut.

Mewakafkan Hidupnya
Lantas, dengan cara apa Butet “beribadah?” Obsesinya saat ini adalah bagaimana memaksimalkan peran sosial yang bisa membawa kemanfaatan bagi orang banyak. Dia sudah mewakafkan hidupnya untuk kebaikan kawan-kawan dan orang banyak.
Apakah pernah ditipu karena terlau baik pada orang lain?
“Oh sering, saya catat saja. Berarti orang-orang seperti itu tidak bisa diajak kerjasama. Namanya tak coret. Tak anggap ora penting maneh. Tidak sepantasnya ditolong. Mending menolong orang lain yang membutuhkan,” tegasnya.
Lantaran pengalaman itulah Butet menjadi peka, sangat teruji, untuk menilai apakah orang yang mendekat padanya itu ada motif apa. Kalau motifnya semata-mata untuk memperkaya dirinya sendiri, itu tidak ada gunanya.
Apakah hal itu tidak lantas menyebabkan ketergantungan? Butet sudah memperhitungkan hal itu. Dia memang berharap orang yang ditolong menjadi punya kemandirian. Berarti dia memang bermanfaat. Tapi kalau kemudian orang itu malah jadi benalu, Butet merasa gagal.
Karena itu, ketika ada orang yang mengajak kerjasama, Butet selalu mengatakan: “Tolong kamu jangan menipu saya. Sebab hidup ini mempunyai tugas yang sederhana: merawat dan menjaga kepercayaan. Dan aku kalau sudah dikhianati sulit memulihkan kepercayaan. Yang semula ada menjadi ada lagi, itu susah.”
Butet yakin betul dengan hal itu. Bahwa dia sering diundang ke sana ke mari, talkshow, dan sebagainya, itu pertanda dia masih dipercaya. Beda kalau misalnya menjadi petualang, orang tidak akan mempercayainya.
Butet juga berharap, bahwa apa yang dilakukannya dapat menjadi inspirasi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Apa yang sudah dikatakan dan dilakukannya itu mudah-mudahan mempengaruhi mereka.
Tidak mencoba mengkader? “Enggak, biar alamiah semua,” jawabnya. Butet tidak pernah mendoktrin orang. Hanya bicara apa adanya dalam berbagai kesempatan. Mudah-mudahan orang mendengar, terpengaruh, dan terinspirasi.
Senada dengan hal ini di panggung teater Butet juga tidak berkeinginan menjadi sutradara. Aktor dan sutradara itu beda. Dari aktor meningkat menjadi sutradara, itu bukan jenjang karier. Itu pilihan. Butet sudah memilih dunianya menjadi aktor, bukan sutradara. Itu karena Butet sudah mengidentifikasikan diriya sejak lama sekali, sebagai aktor. Dia sudah merasa di posisi yang tepat, tinggal bagaimana memaksimalkannya.
Ada pandangan minor, yang mengatakan: “ah itu cuma akting.” Seolah-olah akting itu cuma kepura-puraan. Butet membenarkannya, bahwa yang namanya akting itu meyakinkan yang tidak ada menjadi seakan-akan ada. Di atas panggung kita bicara sebagai seorang hakim misalnya. Padahal kenyataannya, kita bukan hakim, tidak sekolah hukum.
Apakah pencitraan itu bukan sebuah akting. Berpura-pura menjadi dermawan, menjadi orang baik, sering blusukan, menyantuni orang-orang miskin, dan sebagainya.
“Tergantung penggunaannya,” jawabnya, “kalau di panggung kan gunanya untuk mempermainkan karakter. Menghidupkan sebuah peran. Sebuah replika kehidupan di atas panggung. Menghidupkan sebuah cerita. Dalam cerita itu ada permenungan. Ada hiburan. Maka menggunakan akting tadi menjadi sebuah orkestrasi antara hiburan dan permenungan. Memang menipu, tapi kan tidak merugikan orang lain. Tapi aktor yang menipu inipun masih bisa ditipu.
Kalau pencitraan seperti yang disebutkan di atas tadi, itu menipu untuk tujuan negatif. Yang menggerakkan adalah motif. Ingin menjadi kaya dan berkuasa. Itu yang harus kita kritisi.
Tapi kalau apakah motif akting di luar panggung itu baik? “Baik itu dari perspektifnya siapa? Yang tahu kan hanya dirinya sendiri. Lalu orang lain akan melihat motif itu,” jawabnya.

Asal Mula Pak Ageng
Butet mengaku banyak belajar dari sosok Umar Kayam (30 April 1932 – 16 Maret 2002). Budayawan Yogyakarta yang legendaris. Dia pernah memimpin Pusat Studi Kebudayaan UGM, termasuk menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dewan Film Nasional. Karyanya yang terkenal antara lain: Sri Sumarah dan Bawuk; Para Priyayi. Umar Kayam adalah sosok yang serba bisa, berkontribusi tidak hanya dalam sastra tetapi juga dalam pendidikan dan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.
Butet sejak muda berada di lingkarannya Umar Kayam. Dia merasa banyak ilmu yang didapatkannya. Ilmu hidup terutama. Hal itulah yang menginspirasi sebutan Pak Ageng, yang menggambarkan sosok Pak Kayam sebagai tokoh fiksinya. Butet lantas meriilkan fiksi itu menjadi fakta. Maka istrinya Butet juga disebut Bu Ageng. Cucunya pun memanggil Butet Pak Ageng, memanggil istrinya, eyangnya, Bu Ageng. Bahkan Butet menyebut eyangnya, bapaknya Bagong, dengan sebutan Pak Ageng juga. Meskipun Butet tidak sempat melihatnya semasa hidup. Namun ketika ziarah ke makamnya, menyebutnya Pak Ageng.
Jadi Pak Ageng dalam cerita Umar Kayam adalah tokoh fiksi. Sementara Butet menjadikan fakta dalam penyebutan di keluarganya. Makanya warung yang dikelola istrinya bernama Warung Bu Ageng. Butet tidak ingin warung itu menjadi laku karena namanya, melainkan karena produknya. Karena itu di warung itu tidak boleh ada foto Butet. Malah yang terpajang adalah sketsa-sketsa wajah orang-orang yang sudah almarhum yang pernah berjasa terhadap Yogyakarta.
Ada sosok Hamengku Buwono IX, WS Rendra, Tino Sidin, Linus Suryadi, Kuntowijoyo, YB Mangunwijaya (Romo Mangun), AR Fakhrudin (Pak AR), Affandi, Kusnadi Hardjasumantri, RM Sardjito, Umar Kayam, Pangeran Diponegoro, termasuk Bapak dan adiknya sendiri, Bagong Kussudiarjo dan Djaduk Ferianto.
Warung ini beroperasi sejak 26 Desember 2011 diresmikan Bu Yus Kayam, istri budayawan almarhum Umar Kayam.
Saat itu saya ditanya,”Kenapa bikin warung sih Mas?”
Butet menjawab sekenanya, “Supaya kalau aku mati tidak meninggalkan janda yang sengsara. Isteriku boleh jadi janda tapi gak boleh menderita. Kalau punya warung kan punya basis ekonomi. Punya kesibukan. Nggak neka-neka.”
Ia sadar benar bahwa keberaniannya selama ini dalam mengritik pemerintah membuat rezim mana pun bisa memandangnya sebagai duri. Karena itu, jauh sebelum badai politik bisa datang kapan saja, ia telah menyiapkan “sekoci penyelamat” jika suatu hari ia dibungkam dan tak dapat lagi berkesenian. Lukisan tidak laku. Salah satu sekoci itu bernama Warung Bu Ageng, usaha kuliner yang dikelola istrinya—tempat di mana cita rasa menjadi perlawanan yang lembut, dan kehidupan tetap dapat berlangsung meski suatu hari panggung menjadi gelap gulita. Sekoci itulah yang menjadi basis ekonomi yang bisa memungkinkan tetap hidup.
“Kalau suatu ketika aku tidak produktif, sudah lumpuh, kan aku bisa nunut mangan,” ujarnya. (Bersambung)
Catatan Henri Nurcahyo (bagian 2) SECARA administratif—ini istilah paling aman—Butet tercatat beragama Kristen, mengikuti jejak ayahnya, Bagong Kussudiardjo. Tapi jangan bayangkan ia rajin duduk manis di bangku gereja tiap Minggu. Butet lebih betah berkencan dengan yang spiritual-spiritual saja: yang sunyi, yang batin, yang tak perlu absen dan tanda tangan. Agama baginya urusan serius, maka jangan…