MENGENAL CERITA PANJI
Oleh Bambang Pujasworo
Cerita Panji adalah cerita yang berasal dari Jawa Timur dan merupakan cerita asli Nusantara, bukan kisah versi India, yang mengisahkan kehidupan anak keturunan Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan, Jawa Timur. Setting sejarah yang digunakan dalam cerita Panji adalah kisah masa Kerajaan Jenggala dan Kediri pada abad XI-XII. Tema pokok cerita Panji adalah mengenai liku-liku percintaan antara Raden Panji Inukertapati, seorang putra mahkota kerajaan Janggala (Kahuripan), dengan puteri dari kerajaan Panjalu (Daha, Kediri) yang bernama Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana. Kedua tokoh sentral ini sebenarnya sudah bertunangan, namun kemudian salah satu menghilang atau beralih rupa dan kemudian yang lain mencarinya. Dalam pengembaraan dan penyamarannya Raden Panji Inukertapati atau Dewi Sekartaji sering berganti nama dan menyamar menjadi rakyat biasa. Kisah penyamaran Panji atau Sekartaji tersebut muncul dalam berbagai lakon dari Jawa seperti Andhé-andhé Lumut, Kethék Ogléng, Cindhé Laras, Remeng Mangunjaya, Jaka Kembang Kuning, Klana Madubrongto, KlanaJayengsari, Panji Angréni, Panji Jayengtilam, Panji Jayalengkara, dan Kuda Narawangsa. Ada juga cerita Panji dari luar Jawa seperti Jaka Umbara (Bali), Pakang Raras (Bali), Ne’ Dara Itapm (Dayak Kanayant, Kalimantan Barat), Hikayat Cekelé (Makasar), Putri Sekarsari (Sumenep, Madura), dan Polo Salaka (Sumenep, Madura).
Menurut Poerbatjaraka cerita Panji mulai digubah pada masa kejayaan atau masa akhir kejayaan Majapahit (setelah pertengahan abad XIV) dan digubah dalam bentuk karya sastra kidung yang menggunakan Bahasa Jawa Tengahan atau Jawa Baru, dan bukan dalam bentuk kakawin berbahasa Jawa Kuna seperti Nagarakertagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma (Poerbatjaraka, 1968). Kisah Panji juga disebarluaskan dalam bentuk sastra lisan dan dipahatkan dalam relief-relief candi era Majapahit seperti Candi Miri Gambar, Candi Gajah, Candi Surawana, Candi Kendalisada, Candi Gambyok, dan Candi Perwara Tegawangi.
Penyebaran cerita Panji pada era Majapahit abad XV ini mampu mencapai daerah-daerah luar Jawa seperti Bali, Sunda, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok. Selain itu Panji juga dapat berkembang baik di berbagai wilayah daratan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Cambodia, Laos, dan Myanmar. Bahkan sangat dimungkinkan sastra Panji merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang hingga saat ini paling banyak dipelajari oleh berbagai bangsa di dunia.
Penyebaran cerita Panji sekaligus diikuti oleh proses enkulturasi, sehingga cerita yang berasal dari Jawa tersebut kemudian terinternalisasi ke dalam lingkungan budayanya yang baru dan dianggap telah menjadi milik dari lingkungan budaya itu. Melaui proses penyaduran ini justru terbuka kemungkinan yang lebih luas bagi cerita Panji untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan lingkungan budaya, pandangan hidup, dan kepercayaan masyarakat setempat. Dengan demikian tidak mustahil apabila kemudian lahir banyak versi mengenai cerita Paäji. Dongeng tentang Andhé-andhé Lumut, Kethék Ogléng, dan Cindhé Laras merupakan cerita Panji versi rakyat Jawa, sedangkan kisah Jaka Umbara dan Pakang Raras adalah cerita Paäji yang khas Bali. Di Madura cerita Panji antara lain tertuang dalam kisah Putri Sekarsari dan Polo Salaka, dan di Sulawesi Selatan (Makasar) cerita Panji tertuang dalam Hikayat Cekele.
Nama-nama tokoh pun mengalami perbedaan penyebutan. Tokoh Panji Inukertapati (Jawa) dalam karya sastra dan dramatari di Thailand disebut dengan nama Inao, sedangkan di Cambodia disebut Eynao dan di Myanmar dinamakan E-naung. Dalam pertunjukan Eynao di Cambodia, Dewi Sekartaji disebut dengan nama Bossba, sedangkan ayahnya bernama Acheaney.
Cerita Panji juga banyak dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi penciptaan karya seni. Di Desa Kamasan, Klungkung-Bali, para pelukis tradisional sudah sangat terbiasa dalam memanfaatkan cerita Panji sebagai tema pokok dalam lukisannya. Adrian Vickers dalam bukunya berjudul Journeys of desire (2005) menampilkan sejumlah karya seni lukis klasik Kamasan dari pertengahan abad XIX yang bertemakan cerita Malat (Paäji). Dalam tradisi pewayangan Jawa cerita Panji dipertunjukkan dengan menggunakan media Wayang Gedhog. Selain itu cerita Panji juga disajikan melalui pertunjukan Wayang Topeng. Di Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I (1 755 – 1792) menciptakan berbagai beksan sekawanan (bentuk tari yang ditarikan 4 penari laki-laki) berdasarkan pada cerita Panji, yaitu Beksan Tugu Wasesa, Beksan Guntur Segara, Beksan Panji Sekar, Beksan Panji Ketawang, dan Beksan Nyakrakusuma. Dalam tradisi seni pertunjukan Bali dikenal beberapa genre seni pertunjukan yang bersumber dari cerita Panji (Malat), yaitu Gambuh, Topeng Pajegan, Legong, Kebyar, dan Arja. Di Thailand cerita Panji disebut Inao, dan digunakan sebagai sumber materi dramatik dalam seni pertunjukan klasik Lakon Nai, sedangkan di Kamboja kisah Panji digambarkan melalui seni pertunjukan Eynao yang antara lain sering membawakan cerita Roeurng Inav Bossba.
Cerita Panji memiliki makna yang penting dalam kehidupan masyarakat. Melalui cerita Panji masyarakat dapat belajar mengenai nilai-nilai kejuangan untuk menegakkan kebenaran, pengabdian kepada kemanusiaan, kesetiaan, dan penegakan nilai-nilai keadilan. Panji juga dikenal sebagai pahlawan yang selalu menang di medan perang. Dari cerita Panji juga dapat dipelajari laku asketik, suatu bentuk latihan untuk menguasai jasmani demi mencapai kesempurnaan spiritual melalui laku prihatin, tarak brata, cegah dhahar lawan nendra, puasa, dan bertapa sebagaimana tertuang dalam ajaran KGPAA. Mangkunegara IV.
BAMBANG PUJASWORO
Art Director ASEAN PANJI FESTIVAL 2023
Foto oleh Henri Nurcahyo
Oleh Bambang Pujasworo Cerita Panji adalah cerita yang berasal dari Jawa Timur dan merupakan cerita asli Nusantara, bukan kisah versi India, yang mengisahkan kehidupan anak keturunan Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan, Jawa Timur. Setting sejarah yang digunakan dalam cerita Panji adalah kisah masa Kerajaan Jenggala dan Kediri pada abad XI-XII. Tema pokok cerita Panji adalah…