“Apakah Saya Pelakor?” tanya Suster itu.
SEORANG Suster (perawat) rumah sakit, suatu ketika menemui Bu Dewi, pengelola kantin di rumah sakit, yang sudah dianggap ibu angkat oleh semua suster.
“Saya juga punya masalah ibu?”
Duuh apa lagi ini? Ibu Dewi tidak langsung menjawab. Dia tunggu suster itu meneruskan curhatnya.
“Saya mencintai seorang dokter ibu. Tapi dia sudah berumahtangga. Apa saya disebut Pelakor ya Bu?”
Ibu Dewi menghembuskan nafas besarnya untuk mengusir rasa sesak. Belum lagi hilang kegelisahan perihal nasib Anggraini, sekarang dia ditabrak persoalan baru seorang suster yang katanya merebut suami orang.
Tanpa menunggu jawaban Bu Dewi, suster itu meneruskan ceritanya. Bahwa dia betul-betul mencintai dokter itu. Demikian pula sebaliknya Katanya, dokter pacarnya itu dulu dinikahkan oleh orangtuanya, sudah dijodohkan sejak kecil. Padahal dia sama sekali tidak mencintai isterinya yang sekarang. Dia hanya menjalani saja apa yang menjadi kemauan orangtuanya semata-mata karena ingin berbakti. Terpaksa. Tetapi rasa sesal baru muncul kemudian, ketika dia jatuh cinta pada suster itu.
“Tapi apakah kamu percaya dengan semua kata-katanya?” ujar Bu Dewi sekadar bertanya.
“Begitulah Ibu, saya sangat mencintainya,” jawabnya tak sambung.
Lantas dia melanjutkan. Bahwa sejak dia pacaran, dokter yang semula suka marah-marah itu sudah berubah menjadi penyabar. Kalau dulu suka mbolos kerja lantas berubah rajin ke rumah sakit. Dulu suka menghambur-hamburkan uangnya di karaoke dan tempat-tempat hiburan, kini sudah menjadi lelaki yang baik. Dokter yang egois itu kini sudah menjelma menjadi lelaki yang penurut kepadanya.
“Semua itu dilakukan karena cintanya pada saya Ibu,” kata suster tersebut.
Maka melintaslah dalam kepala Ibu Dewi kisah pewayangan Ramayana yang dihapalnya sebagai dongeng dari orangtuanya. Dikisahkan bahwa Dewi Sinta diculik oleh Rahwana yang dikenal jahat, disembunyikan di istana Alengka, dan tidak jemu-jemunya merayu Sinta agar menerima cintanya. Tentu saja Sinta menolaknya karena dia masih menjadi istri sah Sri Rama.
Meski Rahwana dapat melakukan apa saja terhadap Sinta, namun Raja Alengka itu tidak menyentuh Sinta sedikitpun. Apalagi sampai menodainya. Padahal itu dengan mudah dilakukannya. Rahwana sangat menghormati Sinta. Dia betul-betul mencintainya. Untuk membuktikan rasa cintanya itu Rahwana mau melakukan apa saja yang diminta Sinta. Dia mau mengubah semua kelakuannya yang dicitrakan buruk dan jahat. Dia sanggup menjadi lelaki yang baik hati sebagaimana diidamkan Dewi Sinta. Bahkan Rahwana selalu memperlakukan Sinta bagaikan seorang Ratu di istana. Bukan sebagai seorang tawanan.
“Katakan padaku Yayi, apa lagi yang harus kulakukan agar Yayi sudi membalas cintaku,” ujar Rahwana lemah lembut. Sangat bertolak belakang dengan kegarangannya dulu.
Sinta terdiam. Dia iba kepada lelaki satu ini. Lelaki yang sudah berubah total dari lelaki jahat menjadi lelaki yang baik. Sinta harus mengakui kesungguhan cinta Raja Alengka itu. Meski Rahwana mendapatkan Sinta dengan cara tidak terpuji, yaitu menculiknya ketika Sinta sudah menjadi istri Rama. Entah bagaimana jadinya kalau hal ini terjadi ketika dia belum bersuamikan Rama.
“Kalau toh aku harus bertarung melawan Rama dan membunuhnya agar cintaku terbalas, aku akan lakukan hal itu Yayi,” tambah Rahwana.
“Tapi aku mencintai Rama,” jawab Sinta perlahan. Nyaris tidak terdengar.
“Dengarkan baik-baik Yayi. Aku meragukan bahwa Rama juga mencintai Yayi. Kalau toh dia menjadi suami Yayi, itu karena dia berhasil menjadi pemenang sayembara, dimana Yayi sebagai hadiahnya.”
Diam-diam Sinta membenarkannya. Bahwa Rama mendapatkan dirinya memang karena berhasil memenangkan sayembara itu.
“Sedangkan aku Yayi,” lanjut Rahwana. “Aku mencintaimu dengan setulus hati. Semua yang aku lakukan itu demi mewujudkan rasa cinta di hatiku Yayi. Aku harus merebutmu dari Rama karena semesta memang menggariskan Yayi menjadi belahan jiwaku.”
Sinta hampir menangis. Dia tahan sekuat tenaga agar air matanya tidak meleleh di pipi.
“Bagaimana Ibu, apakah saya layak disebut Pelakor,” Ibu Dewi dikejutkan pertanyaan suster berwajah manis itu.
Ini sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab, meski sekilas apa yang dilakukan suster itu tidak dapat dibenarkan. Bagaimanapun dokter itu sudah beristri. Sudah berumahtangga. Kalau kemudian suster itu merebut cintanya, bukankah itu sudah menyalahi hukum berumahtangga?
Lantas, apakah layak posisi dokter itu disejajarkan dengan Rahwana? Sedangkan suster itu adalah Sinta? Melintas pula dalam kepala Ibu Dewi perihal nasib Anggraini. Benarkah Anggrani juga dapat disebut Perebut Lelaki Orang (pelakor)? Bukankah dia tahu bahwa Dokter Panji sudah dijodohkan dengan gadis dari Daha? Bukankah Panji bisa dikatakan sudah menjadi milik putri Panjalu? Dewi berusaha memahami bahwa Anggraini baru mengetahui soal perjodohan itu ketika rasa cintanya sudah terlalu dalam terhadap Panji. Tidak mungkin mundur lagi. Dewi tahu bahwa anak angkatnya itu selalu menolak setiap lelaki yang ingin memilikinya. Dan baru kali ini dia jatuh cinta. Ternyata bermasalah. Duuh.
“Ibu tidak mampu menjawabnya Nak. Maafkan Ibu,” ujar Bu Dewi pada akhirnya.
Perempuan pengelola kantin itu terdiam. Suster itu juga diam. Masing-masing sibuk dengan perasaannya sendiri. Ibu Dewi masih memikirkan bagaimana nasib suster cantik bernama Anggraini. Dia tak sanggup harus memecahkan masalah suster ini juga. Keduanya sama-sama rumit. Dia baru saja tersadar bahwa bisa jadi Anggraini dianggap sebagai pelakor sebagaimana dikatakan suster itu. Ah pelakor? Perebut lelaki orang? Mengapa tidak ada sebutan perebut isteri orang? Apakah sedemikian buruk citra perempuan sebagai perusak rumahtangga?
Bagaimana dengan Rahwana? Apakah dia pantas disebut Lelaki Perebut Isteri Orang? Bukankah dia merebut Sinta dengan cara-cara yang licik? Menculiknya. Apa singkatannya? Peistor? Entahlah. Ketulusan cinta Rahwana memang layak dipuji sehingga dia mengubah semua perilaku buruknya menjadi lelaki yang baik. Demikian pula Sinta. Kesetiaannya terhadap Rama suaminya juga layak diacungi jempol. Tetapi apa yang didapat kemudian?
Ternyata Rama tidak berani menghadapi Rahwana sendirian. Dia mengutus Hanoman ke Alengka. Membakar istana hingga akhirnya Rahwana dapat dikalahkan. Sinta kemudian kembali dibebaskan dari pingitan di istana Alengka. Tentu saja Sinta sangat gembira dapat bersatu kembali dengan suaminya setelah sekian lama dipenjara.
Namun, apa yang terjadi? Sang suami, Sri Rama, justru tidak percaya bahwa Sinta masih suci. Menurutnya mustahil Rahwana tidak menodai isteri Rama karena hal itu dengan mudah dilakukannya. Rahwana adalah lelaki jahat. Dia akan melakukan apapun demi terlaksana apa yang diinginkannya. Sinta tidak mungkin dibiarkan begitu saja oleh lelaki jahanam itu.
Dewi Sinta menangis. Mengapa kesetiaannya diragukan suaminya sendiri? Sia-siakah dia mempertahankan kesuciannya di hadapan jurus maut rayuan Rahwana? Kalau saja dia tahu begini akhirnya, alangkah menyesalnya dia tidak mau menerima cinta Rahwana.
Sinta tak mau diremehkan begitu saja. Hatinya bergolak. Dia akan membuktikan bahwa dirinya masih suci. Cintanya tidak bergeser sedikitpun dari Rama, lelaki belahan jiwanya. Hatinya tetap utuh, juga raganya.
Sinta lantas meminta diadakan sebuah upacara besar untuk pembuktian itu. Dia akan melakukan ritual membakar diri. Setelah tumpukan kayu yang disiapkan menyala berkobar-kobar, Sinta berdiri tenang di ujung tangga. Semua orang terpana dan berharap Sinta membatalkan niatnya. Mereka juga sangat berharap suaminya, Sri Rama, dapat mencegah Sinta bertindak konyol.
Semua orang semakin menjauh karena panas api semakin terasa menyebar makin melebar. Kemudian perempuan cantik itu menjatuhkan tubuhnya ke kobaran api. Banyak orang berteriak kaget. Kalangan perempuan menangis dengan jeritan histeris. Sebagian lagi menutup mukanya, tidak tega melihat kejadian tersebut.
Hening berlangsung sekian lama. Tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata. Meski isak tangis masih terdengar di sana-sini. Waktu berjalan sangat lambat. Kobaran api perlahan-lahan mengecil. Sampai akhirnya hanya tersisa bara merah. Oo jagad Dewa Batara….. terlihat tubuh Sinta tegak berdiri di tengah bara. Masih utuh. Perempuan jelita itu melemparkan senyum manisnya. Kecantikannya seolah bertambah-tambah.
Sinta perlahan melangkah menuju suaminya. Mereka berpelukan erat. Rama menangis. Mohon ampun atas sikapnya mencurigai isterinya. Mereka rukun kembali.
“Tapi itu hanya ada dalam kisah wayang,” batin Ibu Dewi.
“Bagaimana dengan anakku Anggraini? Bagaimana dengan suster yang curhat sekarang ini?” – Bersambung
(selengkapnya, silakan baca novel berbasis Cerita Panji: MISTERI SUSTER ANGGRAINI. Silakan japri ke saya yaa… atau tulis komen di bawah ini)
SEORANG Suster (perawat) rumah sakit, suatu ketika menemui Bu Dewi, pengelola kantin di rumah sakit, yang sudah dianggap ibu angkat oleh semua suster. “Saya juga punya masalah ibu?” Duuh apa lagi ini? Ibu Dewi tidak langsung menjawab. Dia tunggu suster itu meneruskan curhatnya. “Saya mencintai seorang dokter ibu. Tapi dia sudah berumahtangga. Apa saya disebut…