Membangun Kota (Surabaya) dengan Semangat Maritim

Catatan Henri Nurcahyo

KOTA Surabaya  (Sidoarjo, dan kota lainnya) masih punya masalah besar, yaitu soal banjir. Hal ini harus dituntaskan, bukan jadi polemik ramai hanya ketika banjir melanda, setelah itu terlupakan begitu saja. Walikota (atau Bupati) boleh berganti sekian kali namun masalah banjir masih saja terus terjadi. Sampai kapan hal ini teratasi? Apakah ini ada hubungannya dengan sebutan bahwa Surabaya adalah Kota Maritim?

Surabaya memang mengklaim sebagai Kota Maritim. Buktinya,  kota Pahlawan ini (pernah) memiliki semboyan sebagai kota Indamardi, yang merupakan akronim dari INdustri, DAgang, MARitim, dan penDIdikan. Kemudian semboyan itu diubah menjadi Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan). Lagi-lagi maritim masih tetap disebut-sebut. Entah sekarang, apakah semboyan itu masih berlaku atau sudah ganti lagi?

Hanya saja, sayangnya, pemahaman aspek maritim dalam semboyan tersebut hanya dimaknai sebatas “mengoptimalkan pelabuhan dan transportasi laut.” Tetapi nuansa kemaritiman itu sama sekali tidak tercium dalam keseharian masyarakat kota ini. Kecuali, barangkali keberadaan Monumen Kapal Selam (Monkasel) yang justru seperti sebuah parodi.

Seorang teman saya bilang, keberadaan Monkasel itu menunjukkan bahwa pihak Angkatan Laut telah mengantisipasi masa depan kota Surabaya. Oki Lukito, nama teman itu, menyatakan bahwa pada tahun-tahun mendatang Surabaya diramalkan akan tenggelam oleh banjir dan menjadi lautan. Karena itu, Angkatan Laut sudah mempersiapkan kapal selam di tengah kota.

Ini memang sebuah jokes, namun ketika Surabaya direndam banjir di seluruh kota, hal itu sungguh terasa relevansinya. Birokrat bisa saja menuding masyarakat buang sampah seenaknya, atau mencari kambing hitam bahwa faktor geografis, curah hujan ekstrem, sungai meluap, yang menjadi kendalanya. Sehingga pengelola kota menyerah tak bisa mengatasi banjir seratus persen. Sementara kalangan oposisi punya peluru untuk menuding eksekutif tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasi banjir, padahal sudah menghabiskan dana hingga puluhan miliar rupiah.

Terlepas dari polemik tersebut, sesungguhnya banjir merupakan sebuah peringatan bahwa hal serupa bukan tidak mungkin akan terjadi lagi pada waktu yang akan datang dan/atau pasti terjadi rutin setiap tahun. Apalagi, kalau penyebab utama banjir adalah curah hujan yang sangat lebat di kawasan kota Surabaya sendiri. Artinya, air yang tercurah itu semata-mata memang jatuh dari langit Surabaya, bukan (hanya) banjir kiriman dari kota lain. Bandingkan dengan Jakarta, yang seringkali kebanjiran akibat kiriman dari Bogor dan sekitarnya. Dengan kata lain, kalau kondisi yang sama terjadi lagi, ditambah ada banjir kiriman dari Mojokerto misalnya, maka kota Surabaya bakal hilang dari peta.

Para elit boleh saja terus berdebat, namun tanpa banyak bicara, justru TNI AL yang langsung turun tangan menggebrak dengan program simpatik membersihkan Kalimas. Sebanyak 4.000 prajurit diterjunkan untuk bergandengan tangan dengan masyarakat umum, pelajar dan pengusaha untuk membersihkan sungai dari kawasan Monkasel hingga muara. (Terus terang saya lupa titimangsa peristiwa sekian tahun yang lalu ini, hn).

Aksi semacam ini nampaknya mengulang program serupa yang beberapa kali dilakukan dengan sponsor utama sebuah media massa. Yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah aksi simpatik itu hanya berhenti sebagai keramaian seremonial belaka? Apakah hanya karena TNI AL hendak ulang tahun maka acara tersebut digelar besar-besaran? Tentu saja pelibatan masyarakat itu jangan bernuansa mobilisasi, namun harus dirancang secara konsepsional sehingga menjadi gerakan budaya. Tanpa bermaksud mengecilkan program bagus tersebut, akan menjadi lebih baik lagi kalau gerakan seperti itu dilakukan untuk sungai-sungai kecil yang tersebar di hampir seluruh bagian kota ini.

Catatan yang relatif baru, mengutip laman tni.mil.id, TNI Angkatan Laut bersama dengan masyarakat menggelar program peduli lingkungan bertajuk “Melalui Program Kali Bersih, TNI AL Bersama Masyarakat Siap Menjaga Kelestarian Lingkungan guna Terus Melaju untuk Indonesia Maju”. Pada event tersebut TNI AL mengerahkan 13.500 personel tersebar di Satuan-satuan TNI AL guna menyukseskan Program Kali Bersih (Prokasih) 2023 yang digelar secara serentak di seluruh Indonesia. Kegiatan Prokasih 2023 dilaksanakan dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-78 TNI AL dilaksanakan di 78 lokasi Satuan TNI AL dan dipusatkan di Kampung Bahari Nusantara (KBN) Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (5/9/2023).

Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali, S.E., M.M., M.Tr Opsla dan diikuti oleh Pejabat Utama Mabesal, Pangkotama TNI AL wilayah Jakarta, jajaran TNI-Polri dan para stakeholder, tampak hadir pula Panglima Komando Lintas Laut Militer Laksda TNI Edwin, S.H., M.Han, M.H. Peserta Program Kali Bersih 2023 yang dilaksanakan di Jakarta, tepatnya di Kali Cilincing melibatkan kurang lebih 1.000 personel peserta yang terdiri dari prajurit 3 matra dan Polri, Basarnas, Pramuka Saka Bahari, Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup dan masyarakat setempat yang bermukim di sekitar wilayah Kali Cilincing, Jakarta Utara.

Menurut Kasal, sungai adalah tempat tumbuhnya peradaban manusia yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, pertanian, perikanan dan transportasi. Selain itu, sungai juga memiliki fungsi penting bagi alam yaitu sebagai pendukung utama kehidupan flora dan fauna.

“Dengan banyaknya manfaat yang dapat diambil dari keberadaan sungai, maka sudah selayaknya kita untuk menjaga keberlangsungan ekosistem sungai sebagai tanggungjawab kita bersama untuk melestarikan warisan alam yang tak ternilai.  Diharapkan dengan dilaksanakannya Program Kali Bersih ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan perairan dan sungai, serta meningkatkan kerjasama lintas sektoral dalam upaya mempertahankan keseimbangan ekosistem air dan melindungi sumber daya air untuk generasi yang akan datang,” ujar Kasal.

Dalam lingkup yang lebih luas, kegiatan ini merupakan wujud komitmen TNI AL bersama segenap komponen bangsa untuk mewujudkan kelestarian lingkungan hidup guna mendukung strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan, pemantapan ketahanan air, dan ketahanan nasional, yang telah ditetapkan sebagai salah satu pilar utama untuk mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Diharapkan dengan Program Kali Bersih dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan, khususnya ekosistem sungai. 

Gerakan simpatik TNI AL kali ini merupakan sebuah langkah yang harus terus ditingkatkan kualitasnya dimasa-masa mendatang (kalau memang masih berminat mengulangi lagi). Kalau betul bahwa pihak TNI AL juga mengarahkan perhatiannya pada sungai, dan bukan hanya berkonsentrasi pada laut, maka sebaiknya tidak dilakukan tanggung-tanggung. Kita musti belajar pada kejayaan Majapahit, yang dikenal sangat jaya di laut namun ternyata memiliki sistem drainase yang canggih. Penemuan gorong-gorong raksasa di Trowulan membuktikan bahwa kerajaan besar tersebut sangat memperhatikan faktor sungai dalam kaitannya sebagai alur lalulintas air yang vital pada waktu itu. (Meski soal fungsi gorong-gorong ini masih debatable, hn).

Gebyar Kali Bersih seharusnya menjadi sebuah Gerakan Budaya yang dilakukan masyarakat di kampung-kampung agar mau membersihkan sekaligus menjaga kebersihan sungai di lingkungannya masing-masing. Sebab, jujur saja, meski nampaknya sepele, namun kontribusi sampah domestik sangat dominan sehingga menjadikan sungai-sungai di Surabaya cepat dangkal. Tentu saja hal ini tidak berarti mengenyampingkan variabel yang lain, seperti pelaksanaan tataruang yang tidak beres, sikap egois kalangan pengembang perumahan dan sebagainya.  

Banjir di Pepelegi, Sidoarjo (foto: shakti)

Kota Sungai

Jika dilihat dari peta Surabaya pada masa lampau, kota ini memang penuh dengan anak sungai yang luar biasa banyaknya. Perhatikan perkembangan peta kota dari jarak waktu beberapa puluh tahun ke belakang, akan nampak ada sejumlah anak sungai yang hilang di tengah kota. Jadi jika pernah diberitakan ada sungai hilang dari peta Surabaya, sebetulnya itu bukan berita luar biasa. Kalau mau mendata, masih akan ditemukan sejumlah sungai lain yang sudah lama menghilang dari peta kota ini. Salah satu indikasinya, banyak nama kampung di Surabaya yang berawalan Kali, Tambak dan Kedung.

Bahkan, pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia (baca: Surabaya) justru banyak sungai yang sengaja ditimbun oleh pemerintah sendiri dengan berbagai alasan. Salah satu alasan utamanya adalah mewabahnya penyakit kolera dan malaria. Catatan penghilangan sungai-sungai ini tertulis dalam buku Oud Soerabaia oleh von Faber yang legendaris itu. Dan kalau mau cari-cari alasan, sejak tahun 1800-an Surabaya memang sudah mengalami kesulitan mengatasi problem banjir.

Dalam perkembangannya, sungai-sungai kecil yang menghilang itu ternyata malah muncul di kawasan pantai Surabaya Timur yang penuh dengan tambak dan rawa-rawa. Coba simak peta kota Surabaya mutakhir, dan hitung berapa anak sungai yang bermuara di Surabaya Timur, jumlahnya ada puluhan. Kemunculan anak-anak sungai ini lebih dipercepat akibat sudetan yang dilakukan oleh penduduk yang mengusahakan tambak dengan cara menyudet sungai dan membendung laut untuk kemudian dijadikan lahan baru.

Kalau betul klaim para pejabat kota Surabaya bahwa banjir tak bisa diatasi lantaran kondisi topografis kawasan Surabaya Timur memang sangat rendah, kondisi ini lebih diperparah lagi karena terus menerus terjadi penggundulan hutan bakau yang sangat penting secara ekologis itu. Akibat tak ada lapisan penyangga tersebut, maka daratan Surabaya menjadi rentan terhadap intrusi air laut.

Bahwasanya Surabaya memang secara historis merupakan Kota Sungai seyogyanya disikapi sebagai kondisi alami yang harus diperhitungkan dalam penyusunan konsep tataruang kota. Artinya, jangan lagi menyalahkan faktor alam ketika Surabaya kebanjiran. Jangankan kondisi topografis yang landai, kalau misalnya daratan Surabaya ternyata lebih rendah dibanding permukaan laut, maka diperlukan konsep tataruang yang mampu mengatasinya. Nederland, adalah sebuah contoh terbaik untuk dipelajari dalam kasus semacam ini.

Banjir di Pepelegi, Sidoarjo (foto: shakti)

Semangat Maritim

Barangkali Surabaya memang pantas disebut sebagai Kota Maritim. Bukan hanya karena di kota ini ada Armatim, ada PT PAL, ada Universitas Hangtuah, ITS jurusan Perkapalan, Akademi TNI AL, dan sejumlah institusi yang bernuansa kelautan lainnya, tetapi karena Surabaya merupakan daratan  yang baru saja terbentuk akibat pengendapan. Secara geologis, kota Surabaya ini relatif baru saja lahir setelah sebelumnya merupakan kawasan muara, daerah rawa dan juga pantai.

Sebagaimana dikutip oleh Dukut Imam Widodo (dalam Soerabaia Tempo Doeloe), GH Von Vaber pernah menyampaikan hipotesis mengenai asal usul kota Surabaya dalam bukunya En Werd Een Stad (Telah Lahir Sebuah Kota). Bahwa kira-kira tahun 850 Masehi, muara Kali Brantas letaknya jauh lebih ke selatan dari apa yang kita lihat sekarang. Pada waktu itu garis batas tersebut berada di kawasan Wonokromo sekarang. Sementara di muara sungainya terdapat delta yang terdiri dari sejumlah pulau kecil dalam bentuk rawa.

Di kawasan itu juga terdapat 9 (sembilan) sungai yang dikenal sebagai; Kali Greges, Kali Anak, Kali Mas, Kali Pegirian, Kali Anda, Kali Palaca, Kali Bokor, dan Kali Pecekan. Diantara sembilan sungai tersebut, maka Kali Mas dan Kali Pegirian merupakan sungai yang terpenting kala itu. (Soerabaia Tempo Doeloe, buku I, hal 9).

Berangkat dari fakta sejarah itulah maka seyogyanya pengelolaan kota ini berdasarkan filosofi Kota Maritim sebagaimana yang sudah dilakukan zaman Majapahit. Keberadaan sungai-sungai di berbagai penjuru kota ini musti disikapi sebagai komponen utama dari kota Surabaya. Diperlukan konsep pemberdayaan sungai sehingga keberadaannya lebih memiliki peran bagi kepentingan warga kota, dan bukan hanya ada namun dianggap tidak ada. Sungai-sungai di Surabaya selama ini hanya diperhatikan ketika ada banjir, sementara ketika musim kemarau menjadi sasaran buang sampah dan jarang dikeruk. Belakangan, malah sejumlah sungai ditutup dengan beton agar bisa dilalui kendaraan bermotor. Misalnya saja sungai di Jalan Menur, Banyuurip, dan Jemursari.

Pada era Poernomo Kasidi sebagai walikota Surabaya, keberadaan sungai sangat diperhatikan sehingga dia dijuluki “Walikota Got”. Poernomo Kasidi punya perhatian tersendiri pada sungai, sampai-sampai juga mendapat julukan “Walikota Joko Tingkir”, karena suka menyusuri sungai dan langsung bertindak ketika ada “WC Helikopter” di tepi sungai. Juga, ketika seorang Trimaryono masih menjadi petinggi provinsi ini, sangat perhatian terhadap kondisi sungai.

Dengan filosofi dan semangat Kota Maritim, bukan berarti menempatkan TNI AL sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap banjir di Surabaya selama ini, melainkan bagaimana pemerintah kota dan seluruh jajarannya mengelola kota ini dengan menjadikan elemen air (laut, pantai, sungai, parit dan anakan-anakannya) sebagai elemen utama yang harus diperhatikan secara serius. Bahwasanya hakekat sungai itu membutuhkan kelengkapan adanya lahan pembuangan lumpur di kanan kirinya, bukan malah dijadikan jalan raya atau didirikan bangunan. Kalau perlu, sebisa mungkin di ruas-ruas sungai tertentu harus dimaksimalkan fungsinya menjadi sarana transportasi dengan perahu. Ini juga sekaligus mengurangi kemacetan lalulintas.

Kalau memang perkembangan kota telah menjadikan sungai-sungai sedemikian terjepit, maka seharusnya pemerintah memberikan kompensasi dengan cara melengkapi dengan sarana pembuangan lumpur endapan (termasuk sampah) dari sungai yang dikeruk secara rutin. Diperlukan sebuah gerakan budaya bagaimana masyarakat kampung menjadikan sungai sebagai urat nadi komunitas mereka sendiri yang harus dijaga dengan baik. Pemerintah kota mungkin bisa memberlakukan prinsip reward and punishmen kepada warga kampung dalam hal memperlakukan sungai di wilayahnya.

Jadi, kalau pemerintah kota Surabaya sekarang mengaku “menyerah” tak bisa mengatasi banjir karena faktor geografis, alangkah naifnya.  Maka muncullah sebuah pertanyaan, dimanakah semangat kepahlawanan (pemerintah dan warga) kota ini sehingga menyerah begitu saja pada musuh yang bernama kondisi geografis? Atau, biarkan saja menyerah pada faktor alam? Kalau memang demikian, jangan heran jika Monkasel nantinya akan betul-betul pindah ke tempat lain karena kota Surabaya memang telah berubah menjadi lautan. (*)

Penulis adalah Ketua Lembaga Ekologi Budaya (ELBUD)

Sumber foto Monkasel: www.bing.com

Catatan Henri Nurcahyo KOTA Surabaya  (Sidoarjo, dan kota lainnya) masih punya masalah besar, yaitu soal banjir. Hal ini harus dituntaskan, bukan jadi polemik ramai hanya ketika banjir melanda, setelah itu terlupakan begitu saja. Walikota (atau Bupati) boleh berganti sekian kali namun masalah banjir masih saja terus terjadi. Sampai kapan hal ini teratasi? Apakah ini ada…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • 10,040
  • 28