Dunia Sunari dalam Pameran Tunggal

Catatan Henri Nurcahyo

DI TENGAH situasi kota Malang yang sepi aktivitas pameran, Sunari menggelar karya-karyanya di Charis National Academy (CNA). Ini sekolah elit yang relatif jauh dari pusat kota. Sunari memang menjadi pengajar seni rupa di situ, bersama istrinya, yang mengajar tari. Selama sepuluh hari (4 – 14 Oktober 2023) pelukis kelahiran Malang 5 Juni 1951 itu mengeluarkan semua ragam karyanya. Mulai dari lukisan, topeng, instalasi, dan Wayang Kancil (yang dinamai Wayang Satwa) dalam pameran tunggalnya yang keempat kalinya. (Saya baru berkesempatan menyaksikan pameran ini dua hari terakhir).

Alumnus IKIP Negeri Malang itu (sekarang disebut Universitas Negeri Malang, UM) lahir dan tumbuh besar di daerah perbatasan antara kota dan kabupaten Malang, tepatnya di desa Gadang. Di mana  kehidupan seni pertunjukan tradisional seperti wayang kulit, wayang topeng, ludruk, wayang orang, tayub, jaranan sangat subur sekitar tahun 1950 sampai 1980. Ragam kesenian yang mengandung nilai estetika dan etika spiritual Jawa itulah yang kemudian merasuk dalam jiwanya, berpadu dengan seni modern yaitu seperti bioskop, orkes, lukisan, patung, dan juga relief. Ditambah lagi lingkungan akademisnya semasa kuliah sehingga berkutat dengan sejarah seni rupa, tinjauan seni, desain, gambar bentuk, mematung, melukis, membuat kolase, dan sebagainya.  

Latar belakang itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang pelukis, penari topeng, serta pecinta budaya Jawa. Dan hal itu tidak dirasakannya bertentangan ketika dalam saat yang sama dia juga menjadi guru seni rupa. Bahkan disebutnya saling melengkapi dan menguatkan. “Saya merasa bangga bisa menjadi seorang senirupawan dan guru, atau sebaliknya,” ujar Sunari.

Dalam posisinya sebagai guru itulah Sunari memanfaatkan beberapa ruang kosong di sekolah itu untuk memajang karya-karyanya. Semua murid sejak tingkat Kelompok Bermain hingga jenjang SMA bergantian memasuki ruang-ruang itu menyaksikan karyanya. Sunari memanfaatkan kondisi ruangan tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari ekspresinya. Seperti misalnya sebuah tempat cuci tangan (yang masih berfungsi) dimanfaatkan menjadi karya instalasi “Cuci Uang” dengan cara merentengi uang tiruan yang digantungkan. Sebuah tempat cucian yang lain dikreasi menjadi karya berjudul “Cuci Hati” di mana beberapa benda berbentuk hati ditempatkan di situ.

Hikmah Pandemi Covid

Ada sejumlah karya yang bertema soal Covid, di mana Sunari mengaku justru lebih produktif berkarya ketika pandemi melanda. Sebuah lukisan menggambarkan Jalan Kayutangan yang sepi. Pemandangan jalanan di sekitar patung Chairil Anwar itu tidak memperlihatkan satupun kendaraan. Malah beberapa ekor kelelawar besar beterbangan di atasnya. Maklum, waktu awal pandemi memang beredar opini bahwa sumber Corona memang berasal dari kelelawar.

Juga lukisan lain dengan tema yang sama memperlihatkan sosok wayang Bima yang tergeletak tak berdaya dengan tiga ekor kelelawar yang menjulurkan lidah panjang ke arahnya. Sementara beberapa sosok wayang lainnya tak mampu menolongnya. Agaknya Sunari hendak mengatakan bahwa sosok sekuat Bima saja tidak sanggup melawan keganasan Corona.

Berbagai persoalan sosial diungkapkan Sunari dalam karyanya. Soal kemacetan lalu lintas yang sangat parah, keserakahan manusia, korupsi, banjir, kesenjangan kaya miskin, semuanya disajikan dalam ekspresi yang gamblang. Betapa korupsi sudah menjadi bahaya laten dalam kekuasaan digambarkan dengan sebuah pemandangan tumpukan kursi  yang dijajah oleh tikus-tikus bertaring ganas yang justru dibiarkan saja oleh beberapa ekor kucing yang tak berdaya.

Soal satwa memang menjadi perhatian tersendiri bagi Sunari. Selain kelelawar dan tikus, dia juga melukiskan binatang-binatang aneh dalam perut bumi yang kemudian menyemburkan lumpur panas Lapindo. Dia lukiskan dua ekor babi yang di dalam perutnya terihat berisi tikus-tikus (silakan ditafsirkan sendiri). Ada juga pemandangan sebuah kota dengan ikon-ikon kota dunia seperti menara Eiffel, Big Ben di Inggris, Kincir Angin yang menjadi ikon Belanda, dan beberapa bangunan lain yang seolah-olah berada di satu lokasi yang sama. Namun di atasnya beterbangan hewan-hewan aneh seperti gurita, ikan piranha, dan beberapa ikan yang terlihat menyeramkan.

Agaknya Sunari ingin mengatakan bahwa kehidupan ini dikuasai oleh binatang. Baik dalam makna sebenarnya ataupun makna kiasan. Maka itulah sebabnya dia membuat Wayang Satwa yang berupa sosok-sosok binatang seperti kancil, gajah, kuda, burung, buaya, siput, musang dan beberapa tokoh manusia serta pepohonan. Yang menarik, di atasnya ada bentuk seperti matahari namun malah mengingatkan simbol Corona. (Ternyata jika dibalik menunjukkan wajah raksasa jahat).  Inilah, bahwa ternyata pandemi Corona telah mengubah banyak hal. Deretan satwa-satwa itulah yang ditancapkan di sebuah kayon yang kemudian disebutnya “Wayang Satwa.” Ini memang mengingatkan Wayang Kancil yang dulu pernah ada di Malang namun  kini sudah punah. Ada tiga karya Wayang Satwa yang memanfaatkan white board yang biasa digunakan untuk pembelajaran sebagai back ground.

Tetap Optimistis

Sudah menjadi rahasia umum bahwa binatang seringkali dijadikan alasan oleh manusia untuk hal-hal yang buruk. Mulai sebutan Kambing Hitam, taik kucing, asu (dengan intonasi melecehkan), dan sebagainya. Padahal apa salahnya binatang? Dalam banyak hal sesungguhnya manusia harus belajar dari binatang. “Apapun masalahnya sekarang bersahabat,” bunyi sebuah kalimat di lukisan yang menggambarkan seekor harimau bersantai di dahan. Di bawahnya ada kerbau dan seekor babi yang bercengkerama.

Pada sisi yang lain Sunari juga menunjukkan kecintaannya terhadap seni tradisi dengan menyajikan karya-karya penari topeng, tandak, topeng Malang, jepaplokan jaranan. Sunari juga menawarkan dunia batin yang kontemplatif melalui karya-karya yang mengingatkan ajaran Jawa: Ojo gumun, ojo kagetan, ojo, ojo dumeh, ojo gelo. Juga lukisan yang menampilkan sosok manusia sedang meditasi mengosongkan diri. Serta perlunya introspeksi dengan menyimak bayangan sendiri. Bahwasanya masih ada keindahan yang patut disyukuri sebagaimana keindahan bunga liar.

Juga puluhan topeng karyanya yang disusun menjadi sebuah gunungan. Ini topeng-topeng akrilik yang sengaja dibuatnya untuk pembelajaran. Sunari ingin generasi muda memahami topeng dan seni tradisi. Maka dipajang pula sejumlah asesori wayang topeng Malangan yang ternyata bukan buatannya sendiri melainkan buatan seniman tradisi dari Jatiguwi. 

Lantas, apakah Sunari menjadi pesimistis dengan kesemrawutan persoalan kehidupan ini? Tidak. Dia masih menaruh harapan untuk generasi mendatang. Dia lukiskan seorang anak kecil dengan kostum heroik mirip tokoh komik Naruto, garuda Pancasila di dadanya. Sementara di atasnya tampak topeng-topeng aneka wajah.  Sosok anak kecil juga ditampilkan dalam sebuah karya yang memperlihatkan anak kecil mengenakan busana seperti Pangeran Diponegoro, dengan tulisan di bawahanya: The future leader.

“Itu cucu saya,” ujarnya.

Masih ada beberapa lukisan yang belum diwedar di sini. Yang jelas melalui pameran ini Sunari agaknya ingin menunjukkan sikap hidupnya sebagai seniman, guru, dan juga warga bangsa yang baik dan bertanggungawab. Dia bukan tipe seniman menara gading yang asyik dengan dunianya sendiri. Dia terus berkarya tanpa mengandalkan pasar. Dia berpihak pada seni tradisi dan budaya yang harus dipertahankan dan dikembangkan. Statusnya sebagai guru juga menunjukkan komitmennya untuk menyelamatkan anak-anak muda (yang sering diklaim sebagai “generasi harapan bangsa”) agar mencintai budaya bangsa. Agar anak-anak tidak silau dengan budaya asing yang memabukkan. Negara Indonesia adalah negara adidaya dalam hal budaya.

Selamat Cak Sunari. Terus bergerak. Sejarah mencatat dedikasimu. (*)

Catatan Henri Nurcahyo DI TENGAH situasi kota Malang yang sepi aktivitas pameran, Sunari menggelar karya-karyanya di Charis National Academy (CNA). Ini sekolah elit yang relatif jauh dari pusat kota. Sunari memang menjadi pengajar seni rupa di situ, bersama istrinya, yang mengajar tari. Selama sepuluh hari (4 – 14 Oktober 2023) pelukis kelahiran Malang 5 Juni…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • 9,935
  • 50