PENGALAMAN BELAJAR TRADISI LISAN MELALUI ATL
Catatan Henri Nurcahyo
SEBAGAI seorang otodidak saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), sebuah organisasi yang menghimpun para peminat tradisi lisan sebagai sebuah ilmu tersendiri. Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran yang saya dapatkan selama bergabung di ATL. Saya menjadi berteman dengan para pakar tradisi lisan dan ilmu humaniora lainnya yang menjadi pengurus, anggota, atau narasumber dan peserta seminar yang diselenggarakan oleh ATL. Rata-rata mereka adalah kalangan akademisi dengan gelar minimal S-2, sementara saya sendiri hanya Drop Out perguruan tinggi. (Di lingkungan ATL hanya sedikit yang tahu soal status pendidikan saya ini).
Saya sangat tertarik dengan organisasi ini lantaran secara pribadi saya memang penggemar tradisi lisan. Meski bukan sebagai pakar atau akademisi namun saya menggemari cerita-cerita lisan seperti dongeng, legenda, asal-usul suatu daerah dan sebagainya. Maka ketika ATL mengadakan seminar tradisi lisan di Jakarta tahun 2006 (kalau tidak salah) saya langsung nimbrung begitu saja. Waktu itu keberadaan saya di Jakarta lantaran terlibat dalam tim kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas P & K) Jawa Timur yang sedang ada acara di Jakarta. Acara pertunjukan diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) sedangkan seminar dilaksanakan di Hotel Cikini. Ayu Sutarto, guru besar dari Jember yang datang mewakili Jatim langsung mengklaim sebagai Ketua ATL Jatim, dan menunjuk saya sebagai sekretaris dan FX Darmono Saputro menjadi bendahara.
Tahun 2008 adalah tahun istimewa bagi saya. Pada tahun inilah saya ditunjuk oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (DK Jatim) menjadi koordinator program Konservasi Budaya Panji dan hadir dalam acara Pasamuan Internasional Budaya Panji di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, dan Candi Jalatunda di Mojokerto. Padahal pada saat itu, terus terang saja, saya sama sekali buta apa yang disebut Budaya Panji. Pada tahun yang sama saya juga dikirim oleh DK Jatim untuk mengikuti Kongres Kebudayaan di Bogor. Seingat saya waktu itu saya bukan pengurus inti DK Jatim, melainkan menjadi salah satu anggota Pleno.
Nah pada tahun itu pula ATL menyelenggarakan Festival dan Seminar Internasional Tradisi Lisan di Wakatobi. Ada call paper yang terbuka untuk umum. Bagi yang terpilih akan diundang ke Wakatobi dengan tanggungan panitia. Inilah kesempatan emas yang tidak boleh saya sia-siakan. Saya berusaha membuat karya tulis tentang tradisi lisan dengan harapan bisa terpilih. Kapan lagi saya bisa pergi ke Wakatobi secara gratis. Ternyata makalah saya hanya terpilih sebagai peserta biasa, tidak dipresentasikan, yang berarti panitia tidak menyediakan honor. Gak papa, toh transportasi dan akomodasi saya dapatkan gratis. Ini saja sudah menjadi hadiah yang sangat luar biasa.
Pengalaman di Wakatobi inilah yang sangat berkesan dan menjadi bahan novel saya di kemudian hari, menjadi artikel, dan semua peristiwa masih melekat dalam ingatan. Salah satu pengalaman yang berkesan adalah, peserta festival naik kapal dari Kendari menuju pelabuhan Wangi-wangi di Wakatobi lantaran waktu itu bandara belum selesai dibangun. Begitu kapal mendarat di pelabuhan, langsung dijemput oleh panitia dengan sejumlah mobil Avanza yang semua kursinya masih terbungkus plastik. Ini mobil baru. Dan belakangan saya ketahui, bahwa ternyata saya adalah satu-satunya peserta dari Jawa Timur. Ada kebanggaan tersendiri.
Dalam posisi sebagai sekretaris ATL Jatim itu pula saya mendapatkan hak ikut seminar di atas kapal dalam pelayaran dari Wangi-wangi ke Pulau Hoga. Karena hanya pengurus yang boleh naik kapal. Ini juga pengalaman yang sangat berkesan. Tidak penting seminarnya, karena nampaknya peserta lebih menikmati perjalanan di atas kapal kecil itu ketimbang diskusi. Bagaimana menikmati ikan besar yang langsung diambil dari laut dan dimasak di atas kapal. Saya memilih menikmati bagian kepala ikan sehingga kemudian Endo Suanda yang bersama-sama satu kapal meledek saya setiap kali melihat ikan besar. “Ini kesukaan Henri,” ujarnya.
Di pulau Hoga, rencana diskusi juga tak bisa diselenggarakan. Peserta lebih suka jalan-jalan keliling pulau yang penuh dengan pohon Santigi (Pemphis acidula) dalam berbagai ukuran. Tanpa sengaja saya bertemu dengan peserta dari Manado yang ternyata sama-sama penggemar bonsai. Santigi memang bahan ideal untuk bonsai. Saya sempat berfoto dengan pohon Santigi berukuran sangat besar dengan lingkar batang sebesar tubuh manusia.
Di pantai pulau Hoga ini saya juga menyaksikan bagaimana Wardiman Djojonegoro berenang ke tengah laut. Waktu itu saya belum mengenal mantan Mendikbud era Soeharto ini. Sementara saya hanya berani bermain air di pantai yang dangkal. Ah, terlalu banyak kenangan di Wakatobi, meski hanya 3-4 hari di kabupaten yang waktu itu masih baru. Bisa panjang sekali kalau diceritakan semuanya.
Padahal kalau dipikir-pikir konten makalah saya waktu itu “asal-asalan” saja. Saya menulis perihal dialek Surabaya yang sedang populer dan menjadi siaran khusus di JTV, saluran TV Lokal di Surabaya. Sedemikian semangatnya berusaha agar makalah diterima saya sampai belajar kilat pada teman saya, Autar Abdillah, yang menulis tesis perihal dialek Surabayan. Bahkan saya copy tesisnya.
Festival dan seminar tradisi lisan di Wakatobi ini adalah pertama kali diselenggarakan ATL di luar Jakarta. Ternyata setelah itu daerah-daerah lain lantas berebut ingin menjadi tuan rumah acara tersebut yang secara rutin diselenggarakan dua tahun sekali. Giliran berikutnya adalah provinsi Bangka Belitung menjadi tuan rumah taun 2010. Juga ada call paper, dan saya berhasil menembus seleksi panitia sebagai pemakalah yang berarti menjadi pembicara seminar, mendapatkan honor, di samping tentu saja transportasi dan akomodasi. Lagi-lagi saya sangat beruntung bisa mengunjungi Bangka dan berkenalan dengan banyak pakar tradisi lisan.
Di sela sela seminar saya masih ingat diajari oleh teman dari Surabaya, Rohmat Djoko Prakosa, bagaimana caranya bisa mengambang di atas air. “Namanya tapa ngrambang,” katanya. Posisi badan terlentang, kedua lengan dibentangkan, pandangan menatap langit, dan menikmati alunan kecil ombak laut. Namun saya tidak berani berlama-lama karena kuatir terbawa ke tengah laut, sementara saya tidak bisa berenang.
Saya masih ingat makalah yang saya tulis waktu itu adalah mengenai dongeng sebagai simbol peristiwa masa lampau. Saya kaitkan dongeng Timun Mas dengan bencana lumpur Lapindo. “Apabila penciptaan cerita rakyat atau folklor terjadi setelah muncul fakta ataupun fenomena alam, kemungkinan luapan lumpur lapindo pernah terjadi sebelumnya di Jawa Timur. Aktivis Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Timur Henry Nurcahyo menuturkan, cerita Timun Emas adalah varian cerita Panji yang populer pada masa Majapahit. Varian lain dari cerita Panji yang berkembang menjadi dongeng, seperti Keong Mas hingga Ande-ande Lumut. Cerita Panji sendiri bertutur dengan kisah cinta antara Raden Panji Asmarabangun dari Jenggala dan Dewi Sekar Taji dari Kediri,” tulis kompas(dot)com mengutip paparan saya. Jujur, saya sangat bangga sekali dengan berita ini.
Dalam berita yang sama juga disebutkan, “Namun, Henry mengingatkan, folklor tidak bisa menjadi pembenar bahwa luapan lumpur seperti yang terjadi di konsesi milik PT Lapindo Brantas sudah pernah ada sebelumnya. Dia hanya mengingatkan, folklor selalu berarti kebijaksanaan lokal yang dituturkan dari masa ke masa oleh rakyat. ”Sekarang pertanyaannya, di Lumpur Lapindo tersebut siapa yang menjadi raksasanya,” kata Henry.
Di Bangka ini pula ditetapkan kepengurusan ATL Cabang Jawa Timur oleh Pengurus ATL Pusat dengan Surat Keputusan (SK) yang menyebutkan Ayu Sutarto (ketua), Henri Nurcahyo (sekretaris), R. Djoko Prakosa (wakil sekretaris) dan Darmono Saputro (bendahara). SK ini sekaligus mengukuhkan secara formal kepengurusan yang sudah ada sebelumnya.
Saya juga berkenalan dengan arkeolog Ali Akbar yang belakangan namanya naik daun terkait dugaan Gunung Padang sebagai piramida purba yang lebih tua dibanding piramida Mesir. Ketika tahun 2023 (tiga belas tahun kemudian) saya bertemu kembali dengan Ali Akbar dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) di Malang, saya menyapanya, dia malah mengingatkan saya, “oh iya waktu itu kita sekamar kaan?” Saya malah lupa kalau tidur sekamar.
Yang juga masih saya ingat, panitia Festival dan Seminar Tradisi Lisan di Bangka ini bertindak profesional. Semua peserta mendapatkan prosiding dalam bentuk cetak setebal bantal. Alhasil saya harus kena extra charge tiket pesawat karena membawa dua bendel prosiding yang entah berapa kilo beratnya.
Pemakalah Undangan
Tahun 2012, giliran Riau Kepulauan yang menjadi tuan rumah. Kali ini saya tidak mengirim makalah namun berangkat atas nama pengurus ATL Jawa Timur. Ketika sampai di Tanjungpinang, Bu Teti, nama panggilan ketua ATL Pusat, Pudentia, bilang ke saya: “Mas Henri bisa jadi pemakalah?”
Tanpa pikir panjang saya langsung jawab, “siap Bu.” Padahal detik itu sama sekali tidak terpikir oleh saya makalah apa yang akan saya bawakan. Ibarat “dalang gak kurang lakon” saya langsung putar otak tema apa yang sebaiknya saya bawakan. Saya teringat topik makalah saya di Bangka soal kaitan dongeng Timun Mas dengan bencana lumpur panas Lapindo. Waktu itu pendapat saya sudah berubah, tepatnya bergeser menjadi lebih kritis. Saya tidak mengamini begitu saja pendapat seorang geolog bahwa dongeng Timun Mas adalah sebuah sasmita (pertanda) terjadinya bencana lumpur panas di Porong Sidoarjo tahun 2006. Adalah keliru mengaitkan dongeng tersebut dengan bencana Lapindo. Karena dongeng Timun Mas yang populer itu ternyata bukan termasuk Cerita Panji. Ada banyak versi dongeng Timun Mas, di mana hanya salah satunya saja yang menjadi varian Cerita Panji. Versi Panji ini malah tidak dikenal sama sekali, dan itu justru tak ada kaitannya dengan lautan lumpur.
Dengan demikian status saya sudah meningkat. Kalau sebelumnya saya menjadi pembicara melalui seleksi call paper maka kali ini sebagai pemakalah undangan. Henri Nurcahyo yang bukan akademisi ini ternyata diakui sebagai pembicara undangan dalam sebuah seminar internasional. Alhamdulillah. Terima kasih Tuhan.
Pada kesempatan presentasi itulah saya sampaikan bahwa dalam dongeng Timun Mas mengandung simbol-simbol tersendiri. Mulai dari buah mentimun, simbol seorang gadis, juga benda-benda yang dilemparkan sosok Timun Emas berupa jarum, garam, dan terasi. Itu semua memiliki makna tertentu. Saya mengakui bahwa ini memang othak-athik gathuk, alias mencocok-cocokkan sebagaimana budaya Jawa. Saya kemudian diserang peserta seminar bahwa pendapat saya itu tidak ilmiah. Hanya asal-asalan saja. Jujur, saya sempat grogi. Namun di sela-sela seminar seorang Doktor akademisi dari UI mengatakan pada saya, “teruskan Mas, itu pendapat bagus. Bagi saya itu ilmiah, temuan Mas sendiri.”
Waktu itu memang saya berusaha menafsirkan sendiri simbol-simbol tersebut di atas menurut logika saya sendiri. Tidak ada landasan literatur. Tidak ada rujukan dari pakar manapun. Kalau toh hal itu dianggap othak-athik gathuk, apa salahnya? Toh saya tidak mengklaim sebagai satu-satunya penafsiran. Silakan orang lain menafsirkan sendiri makna yang berbeda. Bukankah kebenaran makna simbol tidak tunggal? Bagi saya, othak-athik gathuk adalah menciptakan konteks terhadap sebuah teks. Manakala sebuah teks tidak menemukan konteksnya maka ia akan menjadi gangguan dalam lingkaran ekosistem. Begitulah pemahaman saya yang sederhana.
Makalah seminar di Tanjung Pinang itulah yang kemudian saya bahas lebih detil dan saya terbitkan menjadi buku dengan judul: “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Panas Lapindo” dengan kata pengantar Ayu Sutarto. Perihal othak-athik gathuk saya tuliskan dalam bab tersendiri. Buku ini sempat diresensi di Jawa Pos oleh Anton Novenanto yang sedang studi doktoral di Jerman. Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya ini juga tertarik mengkaji Lumpur Lapindo dari perspektif budaya. Nino, panggilannya, juga membantah tanggapan geolog yang tidak terima atas pendapat saya dalam buku itu. “Tenang saja Mas, biar saya yang menanggapi,” ujarnya.
Di tangan Nino, buku saya yang sebetulnya hanya berupa tuturan lisan itu menjadi sangat bagus ketika dikerangka dengan teori-teori yang jujur saja saya tidak memahaminya. Saya hanya bercerita sebagai seorang otodidak, tanpa berlandaskan teori ilmiah sama sekali. Namun Nino berhasil memformatnya sedemikian rupa sehingga tulisan saya memiliki nilai tersendiri. (Terimakasih Nino !).
Peristiwa kecil di Tanjung Pinang adalah ketika saya dan beberapa peserta seminar berburu sayuran di rumah makan. Maklum sebagai daerah pulau menu utama di Tanjung Pinang adalah ikan laut. Saya kangen sayuran. Ternyata di sebuah restoran harga sayur kangkung malah lebih mahal dibanding ikan laut. “Wah ini peluang bisnis yang bagus, bisa jadi petani sayuran di sini,” gurau saya.
Saya menyesal tidak bisa menyeberang ke Pulau Panyengat, tempat makam Raja Ali Haji yang terkenal itu, gara-gara pengemudi perahu yang hendak mengangkut rombongan tidak berani menyeberang. Katanya ombak sedang tidak bersahabat. Padahal sepenglihatan saya ombaknya biasa-biasa saja. Toh jarak pulau itu lumayan dekat.
Dua tahun berikutnya, Seminar dan Festival Tradisi Lisan diadakan di Manado. Saya tidak bisa ikut. Begitu juga ketika diselenggarakan di Kendari. Ada persoalan internal panitia sehingga tidak memungkinkan membiayai peserta. Sementara saya yang tidak bisa memiliki instansi resmi tidak bisa mendapatkan biaya transport sebagaimana peserta yang juga dosen di perguruan tinggi bisa mendapatkan beaya perjalanan dinas.
Karena ATL pula saya berkesempatan mengikuti Bimtek Warisan Budaya Takbenda (WBTB), pelatihan Asesor Pengelola Tradisi Lisan, bahkan berkesempatan terlibat dalam penyusunan Materi Uji Kompetensi (MUK) Asesor Kebudayaan.
Tradisi Tanpa Sebut Gelar
Satu hal yang saya suka di ATL adalah tradisi tanpa menyebut gelar akademis di namanya. Ketua ATL Pusat, Pudentia MPSS, semula saya kira MPSS adalah nama gelar di belakang namanya. Belakangan baru tahu MPSS itu singkatan dari nama lengkapnya yaitu Maria Purenti Sri Suniarti. Meski rata-rata semua anggota ATL adalah kalangan akademis dengan gelar-gelar tertentu namun semuanya tidak mencantumkan dan tidak pernah dipanggil Profesor misalnya. Cukup dipanggil Bapak atau Ibu saja.
Tradisi tanpa menyebut gelar ini tentu saja membawa keberuntungan tersendiri bagi saya. Dikiranya saya sengaja menyembunyikan gelar akademis. Padahal saya memang tidak punya gelar sama sekali. Bahkan tidak S-1 sekalipun. Kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak saya selesaikan karena sibuk berteater, sibuk demo, ikut proyek penelitian, dan aktif dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang waktu itu mulai tumbuh seusai Dewan Mahasiswa dibubarkan pemerintah.
Karena waktu itu saya dikenal sebagai ketua ATL Cabang Jember maka saya dikira menjadi dosen di Universitas Negeri Jember (Unej). Padahal status sebagai ketua ATL Jember ini hanya “akal-akalan” Ayu Sutarto sebagai ketua ATL Jatim supaya saya bisa ikut diundang dalam acara-acara yang diselenggarakan ATL Pusat. Karena hanya posisi ketua saja yang mendapatkan jatah transportasi dan akomodasi gratis dari panitia. Pak Ayu ingin saya sering terlibat dalam berbagai acara ATL. (Al Fatihah buat almarhum). Anggapan bahwa saya adalah dosen Unej dan tinggal di Jember ini masih terus berlanjut sampai dengan Ayu Sutarto meninggal dunia tahun 2016. Saat itu saya diminta Bu Teti (Pudentia) pesan karangan bunga atas nama ATL. Saya jawab bahwa saya tidak tinggal di Jember. Akhirnya tugas itu saya limpahkan ke Ilham Zoebasary yang memang dosen Unej dan tinggal di Jember.
Terkait dengan tradisi tanpa menyebut gelar ini, sampai suatu ketika diselenggarakan Prakongres Kebudayaan di Surakarta, di mana ATL sebagai panitia pelaksananya, mengundang saya sebagai salah satu pembicara. Dalam undangan itu jelas-jelas tertulis nama saya: Dr Henri Nurcahyo. Aha, saya dianggap Doktor rupanya. Ya sudahlah. Toh bukan saya sendiri yang menuliskannya. Itulah tradisi di ATL, menganggap semua orang setara, tidak dibedakan berdasarkan gelar akademis. Namun belakangan tradisi itu sudah luntur sehingga dirasa kurang sopan kalau hanya menyebut nama tanpa didahului dengan “Prof” bagi yang Profesor. Ini terjadi di daerah.
Memang rata-rata anggota ATL adalah alumni studi Kajian Tradisi Lisan (KTL) dari lima Universitas yaitu UI, UPI, UGM, Udayana dan Unhas Makasar. Karena itu bisa jadi organisasi ATL ini menjadi semacam ikatan alumni KTL di seluruh Indonesia. Hanya sebagian kecil yang bukan alumni KTL, dan jumlah yang langka adalah dari kalangan otodidak, termasuk saya (!)
Keberadaan program studi KTL ini lahir berkat kerjasama yang baik antara ATL dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjendikti) Kemendikbud RI. Tersedia beasiswa studi S-2 dan S-3 di 5 perguruan tinggi tersebut. Bahkan untuk tingkat S-3 sampai mendapatkan beasiswa di Napoli Italia. Atas dasar itulah maka saya mendorong anak kedua saya, Layli Ramadani, mengambil studi S-2 KTL di UI tahun 2014. Semester pertama dan kedua memang bayar sendiri sebagai piutang yang nantinya dikembalikan pada semester ketiga. Tetapi celakanya, pergantian Presiden dan penghilangan Ditjen Dikti dari Kemendikbud yang digabungkan dengan Kemenristek, menjadikan fasilitas beasiswa itu ikut hilang. Terpaksa saya bekerja keras mencari beaya sendiri membayar SPP agar Layli dapat meneruskan studinya.
Saya mendorong Layli mengambil studi KTL dengan maksud agar melanjutkan minat saya belajar tradisi lisan secara akademis. Setidaknya dia menempuh jalur yang benar. Bukan seperti saya, “tersesat di jalan yang benar.” Kalau toh kemudian dia ternyata tidak berminat lagi berkecimpung dalam dunia tradisi lisan, saya tidak bisa memaksanya. Biar saja. Itu pilihannya.
Terkait dengan gelar ini sudah seringkali saya “dipaksa” menyebutkan gelar kesarjanaan tetapi mereka tetap saja tidak percaya bahwa saya bukan sarjana. Maka ketika berlangsung Seminar Internasional Budaya Panji di Perpusnas Jakarta taun 2018 nama saya ditulis Drs Henri Nurcahyo. Demikian pula ketika belakangan ini saya menjadi dosen luar biasa mata kuliah Kajian Panji di Universitas Adi Buana Surabaya, nama saya juga ditulis dengan gelar Drs. Ya sudahlah, biar saja.
Personal Branding Panji
Anggota ATL ataupun orang-orang yang terlibat dalam banyak kegiatan ATL berasal dari berbagai disiplin ilmu. Saya bersyukur bisa berkenalan dengan orang-orang yang selama ini hanya pernah mendengar namanya, membaca bukunya, tapi kali ini berjumpa langsung dan terlibat dalam perbincangan yang akrab. Tidak semua yang spesialis tradisi lisan, ada juga yang antropolog, ahli sastra, arkeolog, etnomusikolog, sejarawan, bahkan ada yang arsitek dan ahli tataboga. Menyebut nama mereka otomatis langsung terkait dengan bidang ilmu atau keahliannya. Sedangkan Henri Nurcahyo, siapa dia? Apa sekadar disebut sebagai pengurus ATL Jatim, atau “aktivis tradisi lisan” sebagaimana yang ditulis di Kompas yang disebutkan di atas?
Kemudian terpikir bagaimana menciptakan personal branding untuk diri saya sendiri sehingga kalau orang bertanya atau menyebut nama saya langsung teringat branding tersebut. Pertanyaannya, branding apakah? Mengapa tidak Panji saja? Meskipun saya sudah terlibat dengan aktivitas Budaya Panji sejak tahun 2008 namun masih belum terpikirkan untuk menjadikannya branding. Padahal pascaacara di Seloliman Mojokerto itu saya lanjutkan dengan menggelar Focus Discussion Group (FGD) tentang Panji yang didanai oleh DK Jatim hingga terbit buku Panji saya yang pertama tentang Panji yaitu Konservasi Budaya Panji (2009).
Setelah itu saya menginisiasi Festival Budaya Panji di Blitar (2010), Festival Seni Rupa Panji di Candi Penataran (2011), keduanya didanai oleh DK Jatim. Berbagai acara terkait Panji, baik seminar atau pertunjukan saya datangi, diundang atau tidak diundang. Soeprapto Suryodarmo (alm) pernah mengadakan acara Panji di Pasar Windu Solo, saya datang dan diminta bicara soal Panji. Pada kesempatan ini saya terkesima bahwa ternyata kota Solo malah lebih Panji dibanding Kediri yang mengklaim tempat kelahiran Panji. Di Pasar Windu inilah terpajang sepasang topeng Panji berukuran besar. Sementara di beberapa tempat juga terpasang topeng-topeng Panji di dinding pembatas jalan, juga di kawasan Manahan, bahkan ada yang namanya Taman Sekartaji di mana dipajang beberapa topeng Panji berukuran besar dan juga reliefnya.
Ketika Soeprapto mengadakan acara di Borobudur, saya juga diminta berbicara tentang Panji yang dihadiri oleh seniman berbagai negara. Lydia Kieven yang menjadi penerjemah dalam bahasa Inggris. Begitu pula ketika dilangsungkan acara Srawung Seni di Candi Sukuh, Karanganyar.
Tahun 2014, saya mendaftarkan diri menjadi peserta seminar naskah Panji di Perpusnas Jakarta, waktu itu masih di Jalan Salemba, yang berlangsung dua hari. Di acara inilah saya bertemu dengan tokoh-tokoh di antaranya Edi Sedyawati, Soemaryono, Hadi Sidomulyo, Manu Jaya Atmaja, dan sebagainya. Saya hanya peserta biasa. Namun saya sempatkan mengajukan pertanyaan di forum dengan harapan agar para pembicara itu suatu ketika ingat diri saya.
Singkat cerita semakin mantaplah saya memilih Panji sebagai personal branding. Maka ketika Perpusnas menyelenggarakan seminar Panji di Disbudpar Jatim, saya diminta menjadi pembicara. Ketika ATL kembali menyelenggarakan Seminar dan Festival Tradisi Lisan di Mataram tahun 2016, saya menjadi salah satu pembicara utama. Tentu saja bicara Panji. Demikian pula dalam acara ATL di Makassar saya sampaikan presentasi dengan topik “Aspek Edukasi dalam Cerita Panji.” Tahun 2018 saya merasa tersanjung menjadi pembicara bersama para profesor doktor dari berbagai negara dalam acara seminar internasional budaya Panji di Perpusnas Jakarta. Acara yang menjadi bagian dari Festival Panji Internasional ini menghadirkan pembicara Noriah Mohamed (Malaysia), Roger Tol (Belanda), Lydia Kieven (Jerman), Rujaya Abhikom dan Thaneerat Jathutasri dari Thailand. Sementara tokoh-tokoh dalam negeri antara lain Agus Aris Munandar, Karsono Hadiputro, I Made Bandem, Wardiman Djojonegoro dan beberapa nama lain. Di antara para pakar itu sayalah satu-satunya yang otodidak. Ketika panitia menuliskan nama saya Drs Henri Nurcahyo, Lydia sempat bergurau pada saya soal gelar ini, sebab Lydia tahu saya bukan sarjana. Maka saya bilang ke panitia agar menghapus pencantuman gelar tersebut.
Begitulah dalam banyak forum di berbagai tempat saya selalu bicara Panji. Di Yogyakarta, Bandung, Malang, Blitar, Kediri, beberapa kali di Jakarta lagi, dan sebagainya. Bahkan ketika membuat akun instagram (sudah pernah membuat namun saya hapus karena alasan tertentu) maka saya menggunakan nama @henri.panji. Sengaja kata Panji saya letakkan di belakang karena sudah banyak orang bernama Panji yang diikuti oleh kata lainnya. Dengan menyebut henri.panji maka diharapkan orang akan mudah membedakan Henri yang Panji dengan Henri lainnya. Begitulah. (bersambung)
Catatan Henri Nurcahyo SEBAGAI seorang otodidak saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), sebuah organisasi yang menghimpun para peminat tradisi lisan sebagai sebuah ilmu tersendiri. Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran yang saya dapatkan selama bergabung di ATL. Saya menjadi berteman dengan para pakar tradisi lisan dan ilmu humaniora lainnya yang menjadi…